Alasan Uji Formil UU KSDAHE: Konservasi Ancam Pelaku Konservasi
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Selasa, 13 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Regulasi konservasi dalam UU No 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dinilai kelompok masyarakat sipil masih membawa ancaman kriminalisasi masyarakat adat. Regulasi inipun menjadi ironi karena selama ini masyarakat adat terbukti sebagai penjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
Ancaman kriminalisasi inilah yang menjadi salah satu alasan bagi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengajukan permohonan gugatan uji formil UU No 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, menyebutkan ditinggalkannya masyarakat adat dalam proses pembuatan perundangan itu membuat posisi mereka rentan.
Ia menyebutkan terdapat 3 alasan utama prinsipal mengajukan judicial review UU KSDAHE, yaitu karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur di dalam UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain melanggar azas pembentukan UU yang baik, pembentukan UU KSDAHE juga melanggar ketentuan tentang meaningful participation sebagaimana telah ditetapkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
“Dari sekitar 20 kali pembahasan hanya dua kali yang terbuka untuk publik, sisanya dilakukan secara tertutup sebagaimana diakui oleh pemerintah dalam persidangan di MK dan diperkuat dengan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yaitu Masyarakat Adat Tamblingan yang hadir dalam RDPU di DPR dan Indonesia Parliamentary Center semakin menegaskan ketidakpatuhan Pemerintah dan DPR terhadap Putusan MK No. 97/PUU‑XIX/2021 tentang meaningful participation.” Ujar Muhammad Arman dalam diskusi "Urgensi dan perkembangan uji formil terhadap UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE)" di Jakarta pada Rabu (8/5/2025).
Tim Kuasa Hukum Uji Formil UU KSDAHE, Victor Santoso Tandiasa menyatakan proses uji formil JR termasuk proses cepat (‘speedy trial’) yang dilakukan selama 60 hari sejak keterangan Presiden diterima sampai batas maksimal adalah pada tanggal 28 Juni 2024. Mahkamah Konstitusi seharusnya memaksimalkan jangka waktu ini dengan menyediakan kesempatan penuh bagi pemohon untuk menghadirkan saksi dan ahli.
“Namun hingga kini Pemerintah belum dapat menunjukkan daftar hadir siapa saja yang mengikuti pembahasan RUU KSDAHE. Lebih jauh, ahli yang diundang dalam RDPU pun tidak diberikan naskah akademik, sehingga terbukti bahwa DPR dan Pemerintah hanya menjalankan formalitas tanpa benar‑benar mewujudkan meaningful participation,” ucap dia.
Knowledge Management Working Group ICCA Indonesia, Lasti Faradilla Noor, menyebutkan secara empiris, praktik konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal secara turun temurun sangat mencerminkan praktik konservasi yang holistik, adil, dan lestari.
Saat Rancangan Undang-Undang KSDAHE masuk prolegnas, tim koalisi menyusun masukan untuk mendorong keterlibatan formal dalam RDPU. Sayangnya, masukan dalam bentuk daftar inventaris masalah (DIM) dan catatan kritis tidak diakomodir oleh pemerintah.
“Pemerintah dan DPR mengebutkan bahwa DIM hanya bisa disusun oleh pembentuk undang, dan masukan dari masyarakat sifatnya hanya dipertimbangkan. artinya DIM yang kami berikan tidak ada maknanya bagi penyusunan UU ini. Lantas untuk apa kami hadir dan dilibatkan?” ucap Lasti.
Alhasil regulasi konservasi itu alih-alih menjadi payung hukum konservasi, justru mengandung substansi yang membuka celah lebih besar bagi perampasan ruang hidup dan hak masyarakat adat.
Hal ini, kata dia, tercermin dalam sejumlah pasal bermasalah, salah satunya terkait pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan geothermal (panas bumi) dan karbon,” tambahnya.
Ketua Tim Kampanye Kawal RUU Masyarakat Adat dari Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebutkan beberapa pasal bermasalah dalam beleid itu. Pasal bermasalah itu diantaranya adalah pasal 8 ayat 4 dan 5 yang mengatur pembagian areal preservasi. Areal preservasi bisa dari Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi, dan Areal Penggunaan Lain (APL).
“Selain itu pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi,” ujarnya.