Nama Kabaena Menggema di Eropa, untuk Hal Buruk

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Senin, 12 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Nama Kabaena, sebuah pulau kecil di Sulawesi Tenggara, menggema di Eropa. Para penggiat lingkungan nasional dan internasional menunjukkan bagaimana pulau yang dihuni Orang Bajo itu menjadi “episentrum dampak krisis nikel” akibat ekspansi industri kendaraan listrik global. 

Menurut Satya Bumi, saat ini Kabaena dibebani 15 Izin Usaha Pertambangan dengan total konsesi mencapai 655 kilometer persegi, atau 73% dari keseluruhan pulau seuas 891 kilometer persegi itu. 

Sepanjang 2001-2022, pulau ini telah kehilangan 3.374 hektare tutupan hutan dalam rentang 2001-2022. Diantaranya 24 hektare hutan lindung, akibat deforestasi masif untuk membuka jalan bagi pertambangan nikel, Satya Bumi mencatat. 

Kabaena menjadi cerminan penderitaan masyarakat lokal dan krisis lingkungan di Indonesia, menurut Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra. 

Kondisi perairan di sekitar pemukiman warga di Pulau Kabaena, Sultra. Foto: Satya Bumi.

“Apakah benar bijih nikel dan baja tahan karat dari negara kami memang digunakan untuk transisi energi? Bukan untuk perang atau mendukung pendudukan dan genosida? Bagaimana kami, rakyat Indonesia, bisa mengetahui hal itu jika tidak ada informasi rantai pasok yang transparan?” kata Hayaa dalam forum yang juga dihadiri perwakilan perusahaan kendaraan listrik dunia tersebut. 

Laporan Satya Bumi sebelumnya mengungkap pencemaran berat di perairan Kabena. Kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, arsen, merkuri, dan timbal ditemukan dalam sampel air laut dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi.

Uji laboratorium terhadap urin warga menunjukkan konsentrasi nikel berkisar antara 4,77 hingga 36,07 mikrogram per liter—5 hingga 30 kali lipat lebih tinggi dari populasi umum. Kadar logam berat dalam air laut mencapai 200% hingga 7000% di atas ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO dan EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS). Paparan ini telah dikaitkan dengan tingginya kasus kanker, gangguan pernapasan akut, hingga kebutaan sebagian.

“Inilah kondisi faktual di mana mereka yang paling banyak mendapat keuntungan jarang sekali mengambil tanggung jawab secara tulus,” kata Hayaa, yang hadir bersama Sagori, LSM dari Pulau Kabaena, Fern, dan Rainforest Norway. 

“Sejauh ini, kami melihat belum ada upaya nyata untuk memastikan akuntabilitas keterlacakan di hulu, menggabungkannya dengan uji tuntas yang transparan, atau memulihkan lingkungan yang rusak dan komunitas yang terusir,” ujarnya. 

Hayaa menekankan urgensi penerapan standar internasional di tempat-tempat yang paling membutuhkan—yaitu di lokasi tambang ekstraktif. Pihaknya juga mendorong komunitas internasional untuk menekan pemerintah Indonesia mereformasi sistem perlindungan hukum, mulai dari tahap perencanaan proyek hingga mekanisme pengaduan. 

Satya Bumi juga menyerukan pentingnya mekanisme pemulihan wilayah yang terdampak parah akibat ekstraksi nikel. Diantaranya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sulawesi, Halmahera, dan Papua.

“Hentikan eksploitasi nikel Indonesia demi keuntungan ekonomi atau politik, yang dibungkus dengan narasi transisi energi yang adil,” kata Hayaa. “Transisi yang benar adalah yang tidak mengorbankan masyarakat dan lingkungan lokal.”