Berkat Menteri Nusron Wahid, Rawa Tripa Kian Terancam
Penulis : Aryo Bhawono
SOROT
Jumat, 16 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyebutkan akan memenangkan Hak Guna Usaha (HGU) yang terbit lebih dulu dari penetapan kawasan hutan dalam kasus tumpang tindih kawasan. Rawa Tripa di Nagan Raya, Daerah Istimewa Aceh pun kian terancam karena HGU yang merusak kawasan gambut itu terbit sebelum penetapan kawasan hutan.
Pernyataan Nusron ini terucap saat pembinaan kepada jajaran Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Riau pada Kamis (24/04/2025). Surat Edaran Sekjen Kementerian ATR/BPN No. 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, terdapat 126 perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), namun belum memiliki HGU.
“Dilakukan identifikasi dari 126 itu yang HGU-nya terbit lebih dulu daripada peta kawasan hutan mana saja. Mana yang HGU-nya terbit setelah ditetapkan kawasan hutan. Terkait MoU dengan Kementerian Kehutanan, jika HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang,” ucap Nusron
Kebijakan ini mengancam kawasan dengan fungsi ekologi penting yang rusak karena aktivitas perusahaan perkebunan meski mereka memiliki HGU. Salah satu contoh kawasan itu adalah Rawa Tripa.
Rawa Tripa merupakan hutan rawa gambut dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan luas 61.803 hektare dan ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pelestarian lingkungan hidup. Pemerintah Aceh memfungsikan area rawa gambut ini sebagai Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (KLLKH) melalui SK Gubernur Aceh No 19 Tahun 1999 Tentang Arahan Fungsi Hutan Provinsi Aceh. Selain itu Qanun No 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Aceh tahun 2010-2030 menetapkan sebagai kawasan lindung.

Pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 170 Tahun 2000 dan SK Menteri Kehutanan No 941/ Menhut-II/ 2013 menetapkan Rawa Tripa sebagai Areal Penggunaan Lain (APL), areal di luar kawasan hutan negara yang diperuntukkan bagi pembangunan di luar bidang kehutanan.
Pun begitu Rawa Tripa memiliki fungsi ekologis penting. Gambut di sana berkedalaman lebih dari 3 meter. Tempat ini menjadi rumah orangutan sumatera (Pongo abelii) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan rawa tripa membentangkan spanduk d
Namun aktivitas perambahan dan tumpang tindih kawasan kian membuat Rawa Tripa semakin terdesak. Data Apel Green Aceh menunjukkan luas tutupan hutan yang tersisa hanya sekitar 6.428,37 hektar pada Oktober 2024.
Sisa hutan gambut terakhir di Nagan Raya ini juga masih tumpang tindih dengan HGU dua perusahaan, yakni PT Kallista Alam (KA) dan PT Surya Panen Subur (SPS) II. Tumpang susun citra satelit menunjukkan HGU dua perusahaan itu tumpang tindih dengan kawasan lindung gambut Rawa Tripa seluas 8.086,04 hektar, yakni PT STS II seluas 7.565,26 hektar dan PT KA seluas 520,78 hektar.
“Ini menunjukkan betapa rentan dan rusaknya Rawa Tripa. Sekarang pun banyak satwa, terutama orangutan yang kehilangan habitatnya sehingga berpindah ke kebun masyarakat dan menimbulkan konflik satwa dengan manusia,” ujar Direktur Eksekutif Apel Green Aceh, Rahmad Syukur, dalam diskusi ‘Gambut, Orangutan, dan Krisis Iklim: Mengapa Rawa Tripa Harus Diselamatkan?” di Bogor pada Rabu (14/5/2025).
Perusahaan itu pun meninggalkan jejak buruk dalam pengelolaan lahan. Pada 2012, keduanya membakar lahan gambut, PT KA membakar 1.000 ha dan PT SPS II membakar 1.200 ha hutan gambut Tripa. Kebakaran besar ini turut membunuh satwa yang ada di dalamnya.
Proses hukum yang panjang dan berakhir dengan kekalahan dua perusahaan itu pun masih nihil dalam menyelamatkan Rawa Tripa. Keduanya digugat melakukan perbuatan melawan hukum oleh Kementerian Kehutanan pada 2013.
Pada 2018, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan permohonan kembali dan menyebutkan PT SPS II tidak boleh menanam di lahan yang terbakar, memberikan ganti rugi materiil sebanyak 136,9 miliar, dan melakukan pemulihan lahan terbakar dengan biaya Rp 302,1 miliar. Hingga Juni 2024, perusahaan itu baru membayar ganti rugi Rp 68 miliar.
Proses hukum PT KA berjalan lebih berbelit karena diwarnai dengan pengajuan perlindungan hukum, penundaan eksekusi, perlawanan terhadap lelang. Hingga pada November 2023 perusahaan itu melunasi sisa pembayaran ganti rugi sebesar Rp 57 miliar dari total ganti rugi sebesar 114 miliar.
Proses panjang ini bukan berarti ancaman terhadap Rawa Tripa berakhir. Syukur menyebutkan HGU dua perusahaan dengan hutan gambut Rawa Tripa masih aktif. Jika kebijakan Menteri Nusron dilaksanakan maka HGU PT KS dan SPS II didahulukan daripada kawasan lindung gambut Rawa Tripa.
Peta HGU PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II di kawasan Lindung Gambut. Sumber: Koalisi Sela
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adam Putra Firdaus, menyebutkan Menteri Nusron seharusnya mengedepankan pendekatan ekologis dalam mengatasi tumpang tindih HGU dengan kawasan lindung. Pada masalah Rawa Tripa, kawasan ini merupakan kawasan lindung dalam tata ruang dengan status kawasan APL.
“Pendekatan ekologi ini memandang bahwa kegiatan HGU membuat daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Rawa Tripa terlampaui. Makanya justru HGU seharusnya diciutkan dan dikurangi, jadi bukan hitam-putih untuk menentukan siapa yang dimenangkan. Tanpa pertimbangan ekologis maka penentuan seperti itu bisa membahayakan ekologi, dalam kasus ini Rawa Tripa,” kata dia.
Ia menjelaskan Rawa Tripa memiliki fungsi ekologis yang kompleks, dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, termasuk satwa dilindungi. Pertimbangan seperti inilah seharusnya menjadi pertimbangan menteri.
Pendekatan ekologis dapat menggunakan acuan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan PP 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan PPLH.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebutkan jika pertimbangan menentukan status dan hak kawasan adalah mana yang terlebih dahulu ada sangat rentan. Data lembaganya menunjukkan 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan alam terjadi di luar kawasan konservasi, yakni berupa Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hutan Produksi Tetap, Kawasan Hutan Produksi Dikonversi, dan Area Penggunaan Lain.
Hal ini mengindikasikan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati justru di luar area yang dikonservasi secara formal.
Selain itu simpul-simpul lokasi keanekaragaman hayati ditemukan di dalam areal HGU. Tercatat sebanyak 19,16 persen dari total areal HGU (analisis tidak termasuk Tanah Papua) secara signifikan merupakan kawasan ekosistem esensial (KEE).
Tumpang tindih ini memicu eksploitasi sumber daya alam oleh rezim HGU. Operasional usaha perkebunan besar seperti sawit dapat mengancam ekosistem yang menjadi keanekaragaman hayati. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola lahan masih menghadapi tantangan serius antara kepentingan bisnis dan pelestarian alam.