Baru 5,3 Juta Ha Wilayah Adat yang Mendapatkan Penetapan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 19 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Luas wilayah adat di Indonesia setidaknya sekitar 32,3 juta hektare. Itu berdasarkan hasil registrasi 1.583 wilayah yang dilakukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hingga Maret 2025. Namun, dari total tersebut, pemerintah daerah baru menetapkan 302 wilayah adat dengan luas 5,3 juta hektare. Capaian ini menunjukkan bahwa pengakuan oleh pemerintah daerah masih sangat rendah, hanya sekitar 19,08% dari total wilayah adat yang telah teregistrasi di BRWA.

Menurut BRWA, kompleksitas penyelenggaraan yang bersyarat dan berliku serta minimnya alokasi dana untuk pengakuan wilayah adat menjadi faktor utama lambannya proses pengakuan ini. Tanpa adanya komitmen nyata dari pemerintah, masyarakat adat terus menghadapi ketidakpastian hukum atas wilayah yang mereka kelola secara turun-temurun.

“Lambat dan sedikitnya pengakuan wilayah adat berimplikasi pada meningkatnya potensi konflik tenurial di wilayah adat. Selain itu, deretan Proyek Strategis Nasional dan perizinan berusaha berbasis lahan yang mengubah bentang alam berpotensi mengancam keanekaragaman hayati, sumber pangan lokal, dan kebudayaan masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan ruang hidupnya di darat, pesisir dan laut,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA, dalam sebuah keterangan tertulis.

Selain pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, lanjut Kasmita, penetapan hutan adat juga masih jauh dari harapan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35) telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara, melainkan bagian dari hak masyarakat adat.

Masyarakat Adat saat mengikuti gerak aksi "Menagih Janji Politik untuk Masyarakat Adat" di depan gedung DPR RI. Foto: AMAN

Namun, hingga saat ini, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat dengan luas 322.505 hektare sebagai hutan adat. Padahal, berdasarkan data BRWA, potensi hutan adat yang dapat ditetapkan mencapai 24,5 juta hektare.

Kesenjangan ini mencerminkan masih besarnya pekerjaan rumah pemerintah dalam menjalankan mandat MK-35. Diperlukan langkah strategis yang lebih konkret dan keberpihakan politik yang lebih kuat untuk mempercepat pengakuan dan perlindungan hutan adat.

Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2025. Sumber: BRWA.

Kondisi terkini RUU masyarakat adat

Kasmita melanjutkan, selain lambannya pengakuan wilayah dan hutan adat, legislasi yang menjamin hak-hak masyarakat adat juga masih mengalami stagnasi. Rancangan undang-undang (RUU) masyarakat adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari satu dekade belum kunjung disahkan. Padahal, RUU ini menjadi landasan penting bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk kepastian hukum atas wilayah adat yang mereka tempati.

Hingga saat ini, proses legislasi RUU masyarakat adat masih terhambat di parlemen dengan berbagai dinamika politik dan tarik ulur kepentingan. Kasmita bilang, tahun 2025 adalah momen yang paling tepat bagi DPR RI dan pemerintah untuk menjadikan RUU masyarakat adat sebagai undang-undang.

BRWA bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyerukan kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU masyarakat adat agar hak-hak masyarakat adat dapat diakui secara komprehensif dan berkeadilan. Undang-undang masyarakat adat kami yakini merupakan salah satu pilihan jalan bagi bangsa Indonesia agar dapat keluar dari krisis global yang sedang dihadapi semua orang, yakni soal pangan, energi, dan air.

Anggi Putra, Ketua Tim Kampanye Koalisi, mengatakan, Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi di 2030 dengan disahkannya undang-undang masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dalam mengelola, menjaga, dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia dengan penuh bijaksana.

“Karena wilayah masyarakat adat menyimpan hutan, lautan dan ekosistem sebagai sumber pangan, simpul keanekaragaman hayati, obat-obatan, budaya, dan lainnya yang dimaknai sebagai sumber penghidupan,” kata Anggi.

Percepatan pengakuan wilayah adat

Kasmita menuturkan, pengakuan ini bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi soal keadilan, perlindungan hak, dan keberlanjutan ekosistem yang telah mereka jaga selama berabad-abad. Pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih nyata dan sistematis untuk mempercepat pengakuan wilayah adat dan hutan adat.

Ini mencakup perancangan kebijakan yang lebih progresif, memperkuat implementasi MK-35, serta memberikan dukungan anggaran dan mekanisme yang lebih jelas bagi pemerintah daerah agar proses pengakuan dapat berjalan lebih efektif dan cepat.

Tak kalah penting, pengesahan RUU masyarakat adat harus menjadi prioritas agar masyarakat adat mendapatkan perlindungan hukum yang kuat dan tidak lagi terpinggirkan oleh kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka. Dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, pengakuan wilayah adat di Indonesia dapat menjadi kenyataan yang membawa manfaat bagi masyarakat adat, lingkungan, dan masa depan bangsa ini.

“Untuk kepala daerah dan anggota parlemen yang terpilih di provinsi dan kabupaten/kota, momentumnya sangat tepat untuk memulai tugas pemerintahan dengan memperkuat pelaksanaan pengakuan wilayah adat sesuai dengan amanat UU Pemerintah Daerah. Jangan tunggu mau selesai jabatan baru mulai, bisa terlambat tanpa legacy yang baik untuk masyarakat adat,” ucap Kasmita.