Walhi Jatim: Sejarah (Banjir) Berulang di Sumenep
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Kamis, 22 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur (Jatim), menyatakan banjir yang melanda Kabupaten Sumenep pada 13 Mei 2025, tidak mengejutkan. Tata ruang yang amburadul dan hilangnya daya tampung lingkungan, yang diperparah krisis iklim, menjadi penyebab bencana ekologi itu.
Walhi Jatim menguraikan, dilihat dari sejarahnya, genangan air yang meluas ke sejumlah desa, seperti Babbalan (Kecamatan Batuan), Kebonagung (Kecamatan Kota), dan Prenduan (Kecamatan Pragaan), bukanlah peristiwa baru di Sumenep. Bahkan dokumen media kolonial seperti Bataviasche Handelsblad mencatat banjir besar yang tejadi pada 1888 dan 1903, di Sumenep dan sekitarnya.
Sungai-sungai utama seperti Karangpanasan dan Kebonagung sudah sejak dulu menjadi sumber luapan air. Artinya, kerentanan ekologis Sumenep terhadap banjir sudah dikenal lebih dari satu abad. Namun sangat sedikit langkah korektif yang diambil dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah.
“Dalam konteks hari ini, risiko banjir semakin diperparah oleh dua faktor utama, yaitu perubahan iklim dan kerusakan lanskap. Hujan yang datang tidak lagi dapat ditampung oleh tanah dan sungai, sebab keduanya telah kehilangan fungsi resapannya akibat perubahan penggunaan lahan,” kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Walhi Jatim, 15 Mei 2025.

Lebih lanjut Wahyu menuturkan, perubahan iklim global menyebabkan peningkatan intensitas hujan secara drastis. Di Sumenep, hujan dengan curah tinggi kini bisa turun dalam waktu yang sangat singkat. Fenomena ini menciptakan banjir bandang, di mana sungai dan tanah tidak lagi mampu menahan laju air.
Merujuk pada paper riset Idung Risdiyanto dari IPB berjudul Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)di Pulau Madura, imbuhnya, secara hidrologis, sistem sungai di Pulau Madura—termasuk Sumenep—sangat dipengaruhi oleh jenis tanah, tutupan lahan, dan morfologi DAS (daerah aliran sungai). DAS Marengan/Patean dan Saroka memiliki luas lebih dari 42.000 hektare dan tergolong sebagai DAS dengan limpasan permukaan tertinggi di Madura. Lebih dari 80% curah hujan tahunan di DAS ini berubah menjadi limpasan—air permukaan yang langsung mengalir menuju sungai atau wilayah rendah.
Tingginya angka ini tidak bisa dipisahkan dari buruknya tutupan lahan. Berdasarkan nilai bilangan kurva aliran permukaan (CN), sebagian besar wilayah di Sumenep memiliki CN > 80, menandakan air hujan hampir tidak diserap tanah. Nilai ini didapat pada lahan sawah, lahan terbangun, serta tambak yang tidak memiliki vegetasi penahan air.
“Tanah-tanah berkapur di wilayah selatan Madura juga berkontribusi pada tingginya limpasan. Wilayah yang sebelumnya memiliki kemampuan menyerap air melalui sistem karst kini justru menjadi kawasan dengan alih fungsi masif—baik untuk industri, tambang, maupun permukiman,” kata Wahyu.
Alih fungsi lahan dan tata ruang yang gagal
Wahyu menguraikan, alih fungsi lahan merupakan salah satu akar dari meningkatnya kerentanan Sumenep terhadap banjir. Kawasan karst yang seharusnya dilindungi sebagai zona tangkapan air, kini tengah terancam aktivitas pertambangan. Padahal, sistem karst menyimpan air dan mengatur pelepasannya ke hilir secara alami. Ketika kawasan ini rusak, maka air hujan akan langsung meluncur deras tanpa sempat tertahan di dalam tanah.
Di sisi lain, kawasan pesisir selatan Sumenep juga kehilangan mangrove akibat konversi untuk tambak dan proyek reklamasi. Mangrove berfungsi sebagai benteng terakhir dalam menyerap limpasan dan melindungi wilayah dari intrusi air laut.
“Ketika mangrove hilang, air permukaan tidak punya lagi jalur pelambatan alami menuju laut,” ujar Wahyu.
Wahyu berpendapat, perencanaan tata ruang di Sumenep jelas gagal mengintegrasikan risiko ekologis. Dalam banyak kasus, kebijakan alih fungsi justru dilegalkan oleh revisi RTRW yang disusun tanpa mengindahkan daya dukung dan daya tampung wilayah.
“Pemerintah daerah terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, dengan mengorbankan kapasitas ekosistem dalam mengatur air, menyerap karbon, dan menjaga iklim mikro,” ujarnya.
Hal ini, sambung Wahyu, diperparah oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Proyek-proyek pembangunan kerap melangkahi dokumen kajian lingkungan, atau bahkan tidak melakukan penilaian lingkungan strategis (KLHS) yang wajib dalam perencanaan jangka panjang.
Menuju pemulihan lanskap dan keadilan iklim
“Walhi Jawa Timur menilai banjir Sumenep adalah sinyal penting bahwa arah pembangunan harus diubah secara menyeluruh. Adaptasi terhadap perubahan iklim tidak bisa hanya dengan membangun drainase atau tanggul. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sistemik untuk memulihkan fungsi ekologis lanskap,” kata Wahyu.
Walhi Jatim, lanjut Wahyu, meminta Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk mengutamakan penanganan berbasis solusi. Walhi Jatim menyodorkan beberapa hal untuk dilakukan untuk memitigasi banjir di Sumenep. Yang pertama, melakukan moratorium alih fungsi kawasan karst dan mangrove. Dua ekosistem ini memiliki fungsi vital dalam menyerap air dan menahan limpasan. Tidak boleh ada lagi izin tambang atau proyek pesisir di kawasan ini.
Kemudian, merehabilitasi DAS secara menyeluruh. Wilayah dengan limpasan tinggi seperti DAS Marengan, Saroka, dan Kemuning perlu direstorasi melalui penanaman vegetasi endemik, konservasi tanah dan air, serta penghijauan kawasan hulu, dan merevisi RTRW dengan prinsip kehati-hatian ekologis. Setiap rencana pembangunan harus melalui kajian risiko ekologis dan krisis iklim, serta membuka ruang partisipasi masyarakat.
Wahyu bilang, penguatan sistem peringatan dini dan infrastruktur berbasis komunitas. Masyarakat harus dilibatkan dalam memantau kondisi lingkungan, memulihkan ruang hidupnya, dan mendapat dukungan teknis untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Menurut Wahyu, banjir di Sumenep bukan semata karena cuaca. Ia adalah konsekuensi dari hilangnya kemampuan lanskap dalam menampung air, karena salah urus tata ruang dan perencanaan pembangunan. Apabila kerusakan ini tidak dihentikan, maka bencana akan menjadi kenormalan baru, dan rakyat kecil akan terus menjadi korban utamanya.
“Sudah seharusnya berhenti menormalisasi bencana. Kita harus memulihkan relasi antara manusia dan alam dengan pendekatan keadilan ekologis dan iklim. Masa depan Sumenep dan wilayah lain di Madura hanya bisa diselamatkan jika pembangunan berpihak pada keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat,” katanya.