Akamsi Desak Gubernur Jatim Selidiki Kematian Ikan Massal
Penulis : Aryo Bhawono
Polusi
Kamis, 22 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pasca kematian ikan massal di Kali Surabaya, di wilayah Wringanom, Gresik, Jawa Timur, pada Senin lalu (19/5/2025) , sejumlah lembaga pegiat sungai di Surabaya mendesak Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Selain melakukan aksi demonstrasi, mereka menyerahkan hasil penelitian atas kondisi Kali Surabaya.
Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai (Akamsi) ini terdiri dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON), Aksi Biroe, dan Surabaya River Revolution. Mereka menggelar aksi demonstrasi dan menyerahkan hasil riset ekologi Kali Surabaya di depan Kantor Gubernur Jawa Timur pada Rabu (21/5/2025).
Dua hari sebelum aksi digelar, kematian massal ikan terjadi di Kali Surabaya. Uji air yang dilakukan menyebutkan oksigen terlarut dalam air 0,1 mg/L jauh di bawah standar baku mutu air kelas dua yaitu 4 mg/L sesuai PP 22 Tahun 2021 lampiran VI.
Karakteristik fisik air yang berlendir dan keruh dan kecilnya kadar oksigen ini diduga menjadi biang kematian ikan.

Laporan dari ECOTON menyebut kejadian ini berulang hampir setiap tahun, tanpa investigasi yang tuntas.
“Saat kita diam, secara tidak langsung, kita sudah menjadikan air sungai menjadi kuburan ikan.” Yosua Asa Firdaus dari Akamsi.
Sementara pengukuran kualitas air dari segmen hulu (Wringinanom), tengah (Cangkir), hingga hilir (Karangpilang) menunjukkan tren penurunan Dissolved Oxygen (DO) dari 4,69 mg/L menjadi hanya 1,95 mg/L.
Sementara itu, nilai Biotik menunjukkan:
- Stasiun 1 (Hulu): Skor 2,8 — Sehat
- Stasiun 2 (Tengah): Skor 2,0 — Kurang Sehat
- Stasiun 3 (Hilir): Skor 1,6 — Tidak Sehat
Hasil penelitian yang diserahkan juga menunjukkan mikroplastik telah terdeteksi dalam berbagai organisme sungai, mulai dari plankton, kepiting air tawar, hingga udang. Mikroplastik jenis fiber yang paling dominan ditemukan di seluruh titik pengambilan sampel — dengan konsentrasi tertinggi di hilir (Karangpilang dan Kramat Temenggung).
Uji laboratorium yang dilakukan oleh AKAMSI dengan Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR) menunjukkan kandungan polimer berbahaya seperti Polyethylene (PE), Polypropylene (PP), dan PET, yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri.
“Semakin banyaknya organisme perairan yang terpapar oleh mikroplastik, dapat disimpulkan kondisi ini disebabkan kondisi Kali Surabaya yang terabaikan. Karena itu, kita harus siap akan dampaknya saat mikroplastik masuk ke tubuh ikan, lalu dikonsumsi oleh kita,“ kata Mas Ilham, tim peneliti mikroplastik.
Ia menyebutkan mikroplastik sudah ditemukan pada plankton, yang merupakan produsen primer. Fitoplankton yang berhasil diidentifikasi menggunakan mikroskop fluoresensi diantaranya Teballaria flocculosa dan Suriella linearis
Suhu air yang meningkat dan hilangnya vegetasi sempadan memperburuk kemampuan sungai untuk mendukung kehidupan akuatik. Pada hilir, dominasi beton dan bangunan menggantikan zona penyangga alami.
Limbah Domestik dan Sistem Sampah Desa yang Gagal
Nurillan Bulan dari Akamsi menyebutkan sebagian besar desa yang dilewati Kali Surabaya telah memiliki fasilitas pengelolaan sampah terpadu. Hampir semua desa yang dialiri Kali Surabaya, terdapat 33,3 persen segmen yang tidak memiliki TPS dan sebanyak 86,67 persen desa masih mengolah sampah dengan cara dibakar.
“Tidak heran lagi saat membuang sampah langsung ke sungai sudah menjadi kebiasaan, orang TPS-nya tidak ada. yang mengangkut siapa dan memilah siapa?” ujarnya.
Berdasarkan pemetaan spasial dengan citra satelit (2015—2025), AKAMSI mengidentifikasi adanya 4641 unit bangunan ilegal yang berdiri tepat di atas sempadan Kali Surabaya, wilayah yang seharusnya steril menurut PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Bangunan-bangunan ini tidak hanya mengambil ruang resapan air, tapi juga menjadi sumber langsung pencemaran limbah rumah tangga dan industri.
Rio Ardiansa selaku salah satu anggota komunitas Akamsi menyebutkan bangunan ilegal tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Kota Surabaya. Pertumbuhan hunian terpesat berada di segmen tengah aliran sungai (wilayah Gresik dan Sidoarjo).
“Bangunan liar ini bukan hanya soal melanggar aturan tata ruang. Ini adalah wujud gamblang dari ketidakpeduliannya system terhadap kondisi sungai” ungkap.
Mereka pun mendesak Gubernur Khofifah menginvestasi kematian ikan massal dan sumber pencemaran, penertiban bangunan ilegal di bantaran Kali Surabaya, merestorasi fungsi ekologis, menerapkan sistem pengelolaan sampah di DAS Kali Surabaya, monitoring kualitas air secara rutin, dengan publikasi terbuka, serta menerbitkan regulasi perlindungan dan penataan sempadan sungai.