Kenaikan Pungutan Ekspor Rugikan Petani Sawit Swadaya

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Kamis, 22 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Peraturan terbaru mengenai kenaikan pungutan ekspor sawit dan turunannya dinilai akan merugikan petani sawit swadaya. Kebijakan baru ini, menurut para pengamat akan mengakibatkan penurunan harga tandan buah segar yang dijual petani sawit kepada perusahaan sawit. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 tahun 2025 meningkatkan pungutan ekspor produk sawit dan turunannya terhadap tandan buah segar (TBS), dari 7.5% menjadi 10%. Kebijakan ini berlaku sejak 17  Mei 2025. 

“Kebijakan tarif pungutan ekspor sejak awal membebani petani, karena harga minyak sawit mentah atau CPO lokal akan ikut tertekan dan berakibat pada harga TBS kelapa sawit dari petani sawit,” kata Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Marselinus Andry, Rabu, 21 Mei 2025. 

SPKS menghitung, petani kehilangan keuntungan Rp500 per kilogram TBS akibat adanya tarif pungutan ekspor untuk CPO. Petani juga kehilangan potensi keuntungan dalam rantai pasok kelapa sawit. 

Seorang petani sawit swadaya di sebuah desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, mengumpulkan tandan buah segar dari kebunnya. Foto: SIAR Nusantara

“Model rantai pasok TBS kelapa sawit yang panjang di tingkat petani sawit swadaya, sangat rentan, dan tidak memungkinkan mereka mendapatkan nilai tambah dari hasil produksinya. Terdapat sekitar 20-30% keuntungan yang hilang dari harga di tingkat pabrik kelapa sawit, yang seharusnya mereka terima,” kata Andry. 

Kepala Departemen, Riset, Kampanye dan Kebijakan Publik Sawit Watch Hadi mengatakan penurunan pendapatan ini akan membatasi petani dalam mengelola kebunnya secara maksimal, termasuk melakukan perawatan. “Padahal faktor ini penting, karena perawatan kebun memengaruhi hasil dan produktivitas,” kata Hadi. 

Hadi mengatakan kebijakan pungutan ekspor hanya menguntungkan pihak tertentu. Dia menyebut salah satunya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Badan ini memiliki amanat mengelola dana hasil dari pungutan ekspor. 

“Padahal dalam realisasinya selama ini, dana yang ada BPDPKS ini sangat sulit sekali diakses dan dinikmati petani, melainkan dinikmati pemain besar industri biodiesel,” kata Hadi. 

Andry mengatakan, sistem kompensasi untuk petani saat ini belum dilakukan pemerintah. SPKS mencatat hampir 90% dana BPDPKS disalurkan untuk pemberian subsidi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memproduksi biodiesel. 

“Sedangkan untuk beberapa program untuk petani sawit sangat minim, termasuk program peremajaan sawit rakyat yang jadi andalan, penyerapannya tak mencapai target hampir setiap tahunnya,” kata Andry. “ Di sisi lain, subsidi kepada industri biodiesel terus meningkat tiap tahun, mengikuti peningkatan bauran serta kuota yang dibutuhkan guna produksi biodiesel.” 

Andry mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif pungutan tersebut tersebut. “Selain itu pemerintah tetap perlu membangun instrumen kompensasi atas risiko kerugian petani dari pengenaan tarif ekspor seperti ini. Salah satunya dengan mengembalikan prioritas utama penggunaan dana sawit untuk petani, lewat berbagai program yang sudah ada,” ujarnya.