Warga Atakore, Lembata, Tolak Proyek Geotermal di Tanah Ulayat 

Penulis : Kennial Laia

Masyarakat Adat

Jumat, 23 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geotermal di Lembata, Nusa Tenggara Timur, mendapatkan penolakan dari masyarakat adat. 

Warga yang berasal dari Desa Atakore, Kecamatan Atadei, melayangkan surat protes usai kunjungan oleh Tim Satuan Tugas Penyelesaian Masalah PLTP bersama pemerintah kabupaten pada Rabu, 21 Mei 2025. 

Surat protes itu, yang ditandatangani oleh tokoh adat, pemilik lahan dan warga lainnya, menyatakan proyek geotermal akan merusak lingkungan dan sumber air di wilayah desa dan sekitarnya.

PLTP Atadei dikembangkan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra), dengan kapasitas 10 MW. Pembangkit ini juga masuk dalam proyek strategis nasional, dan direncanakan mulai beroperasi pada 2027. Dikutip dari pemberitaan media, saat ini PLN tengah menjalani proses pembebasan lahan, termasuk di Desa Atakore. 

Foto udara PLTP Mataloko, salah satu proyek panas bumi yang dikembangkan PLN di Flores. Dok. PLN

Dalam pernyataannya, warga mengklaim bahwa forum tersebut “jauh dari prinsip dialog yang setara”. 

“Warga yang hendak membacakan pernyataan sikap tidak diberi ruang. Pertanyaan kami diabaikan. Yang terjadi justru kami diarahkan untuk mendengar presentasi sepihak soal definisi teknis geotermal, seakan kami tidak mengerti apa yang sedang dipertaruhkan: hutan kami, air kami, hidup kami,” tulis para warga dalam surat pernyataan yang diterima redaksi, Kamis, 22 Mei 2025. 

“Melihat forum yang dikendalikan sepihak dan tanpa ruang bagi suara kritis, kami memilih meninggalkan pertemuan. Kami menolak menjadi pendengar pasif dalam pembicaraan yang menyangkut masa depan kampung kami sendiri.” 

“Kami, warga Atakore — baik pemilik lahan maupun bukan — telah bersuara jelas: penolakan ini bukan soal harga ganti rugi lahan. Ini soal nyawa, tanah warisan, dan kehidupan generasi mendatang,” tulis mereka. 

Warga mengkritisi proses proyek yang minim sosialisasi dan mengabaikan hak warga. “Sejak awal tidak pernah ada forum musyawarah yang terbuka dan inklusif. Informasi datang sepihak, tanpa konsultasi yang adil. Ini bentuk pengabaian terhadap prinsip demokrasi dan hak rakyat untuk didengar.” 

Warga menuliskan bahwa proyek geotermal tersebut berpotensi merusak lingkungan maupun sumber air. “Wilayah Atakore adalah ekosistem pegunungan yang rentan terhadap longsor, krisis air, dan bencana ekologis. Proyek PLTP berisiko merusak keseimbangan alam yang telah dijaga turun-temurun.’” 

Surat protes itu juga menyatakan bahwa warga dan pemilik lahan mengalami tekanan psikologis. 

"Wilayah yang direncanakan sebagai lokasi proyek adalah tanah ulayat yang sakral secara budaya dan spiritual. Proyek tanpa persetujuan adat adalah pelanggaran terhadap konstitusi, nilai luhur, dan peraturan nasional maupun internasional tentang hak masyarakat adat."

Dalam surat protesnya, warga Atakore mendesak agar rencana pengembangan geotermal itu dihentikan. Mereka juga menyerukan agar pemaksaan terhadap pemilik lahan dihentikan. “Hentikan pemaksaan terhadap warga, baik secara halus maupun struktural.”