Jalan Panjang Pencabutan Izin Lingkungan Tambang PT DPM di Dairi

Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ario Wicaksono

Hukum

Sabtu, 24 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kementerian Lingkungan Hidup/ Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/ BPLH) mencabut izin kelayakan lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Mereka memastikan perusahaan itu tak lagi beraktivitas. 

Pencabutan izin kelayakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri LH/ Kepala BPLH No 888 Tahun 2025 Tentang Pencabutan Atas Keputusan Menteri LHK No SK 854/ Menlhk/ Setjen/ Pla.4/ 8/ 2022 Tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pertambangan Seng Dan Timbal Di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara oleh PT DPM. 

"Saat ini Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup sudah mencabut SK tersebut," kata Sekretaris Utama KLH/BPLH Rosa Vivien Ratnawati dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/5/2025). 

Ia menyebutkan pencabutan ini dilakukan setelah Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan gugatan warga Dairi atas Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup diberikan kepada korporasi tambang PT DPM pada 2022. Putusan Kasasi No 277/ K/ TUN/ 2024 itu menyatakan Izin Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pertambangan Seng dan Timbal di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara oleh PT DPM melalui SK Menteri LHK No  854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 batal atau tidak sah. 

Warga Dairi menggelar aksi teatrikal mangandung meminta MA cabut izin lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Foto: Jatam

Pencabutan izin kelayakan lingkungan PT DPM ini melalui proses persidangan yang cukup panjang. Proses hukum tingkat pertama ditempuh oleh masyarakat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 2023 yang mengabulkan gugatan warga. KLHK kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang membatalkan putusan PTUN. 

Vivien menjelaskan putusan MA berkekuatan hukum tetap (inkrach) dan berlaku sejak tanggal diputuskan, 12 Agustus 2024.

"Dengan Keputusan Menteri LH/ Kepala BPLH No 888 tahun 2025 yang menetapkan pencabutan resmi. Artinya apa? Artinya adalah bahwa memang yang pertama tentu saja kami menghormati putusan dari Mahkamah Agung tersebut dan melakukan tindak lanjut karena memang dari putusan MA itu diminta untuk SK tersebut dicabut," kata dia.

Sebelumnya warga Dairi melakukan aksi demonstrasi mendesak KLH/ BPLH untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Mereka juga sudah menyurati lembaga itu agar melaksanakan putusan MA karena PT DPM terus melakukan aktivitas meski sudah ada putusan hukum tetap. 

Koordinator Divisi Pengorganisiran Yayasan Diakonia Peduli Kasih (YDPK), Monica Siregar, yang turut melakukan pendampingan warga Dairi, menyebutkan senang dengan pencabutan ini. Namun ia menekankan, perjuangan masyarakat untuk menolak tambang di Dairi belum selesai. 

Pasalnya PT DPM masih terus melakukan aktivitas meski sudah ada putusan hukum MA. Mereka akan melakukan pemantauan pasca keluarnya pencabutan Izin Kelayakan Lingkungan PT DPM ini. 

“Pasca putusan MA kami dua kali  mengirimkan lembar fakta soal aktivitas PT DPM. Terbukti mereka masih beraktivitas. Makanya pasca pencabutan ini kami akan fokus ke monitoring,” ucapnya melalui telepon. 

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum warga Dairi yang tergabung dalam Tim Hukum Sekretariat Bersama Tolak Tambang, mengatakan meski patut diapresiasi tapi pencabutan kelayakan lingkungan PT DPM ini bukan hadiah pemerintah. Pencabutan ini sudah seharusnya dilaksanakan sebab berkekuatan hukum tetap.

Seharusnya KLH/ BPLH memastikan PT DPM tidak melakukan kegiatan pertambangan di areal perizinan kontrak karyanya (KK). Selain itu lembaga itu juga tidak boleh menerbitkan lagi izin kelayakan lingkungan untuk PT DPM. 

“Salah satu pertimbangan Majelis Hakim PTUN dalam membatalkan kelayakan lingkungan PT DPM itu adalah bahwa wilayah Dairi tidak layak untuk ditambang karena rawan bencana,” kata Judianto. 

Pertimbangan lainnya, kata dia, adalah Pasal 53 Ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Dairi No 7 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi 2014-2034 menyebutkan kecamatan Silima Pungga-Pungga sebagai kawasan lahan sawah fungsional yang tidak dapat beralih fungsi. 

“Sebetulnya, sebelum keluar kelayakan lingkungan hidup PT DPM itu, warga sudah menyampaikan penolakan. Tapi menteri masih saja mengeluarkan izin,” ujarnya.

Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh Jamil, mengingatkan majelis hakim kasasi pencabutan izin kelayakan lingkungan PT DPM memberikan dua pertimbangan, yakni formil dan materiil. Pada pertimbangan formil proses 

Pertimbangan formil adalah pemenuhan syarat instrumen Free and Prior Informed Consent (FPC)/ Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa). Hakim menyebutkan kehadiran perwakilan masyarakat pada rapat penyusunan Adendum Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) PT DPM tidak mewakili partisipasi masyarakat yang terkena dampak langsung. 

Sementara secara materiil, selain soal fungsi kawasan yang diatur dalam RTRW Kabupaten Dairi, hakim menyebutkan kawasan tersebut merupakan daerah rawan bencana. Izin kelayakan lingkungan untuk pertambangan di daerah itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Artinya dengan pertimbangan ini maka Kementerian Lingkungan Hidup tak boleh lagi memberikan izin kelayakan lingkungan untuk industri ekstraktif di kawasan itu, termasuk jika PT DPM melakukan pengajuan baru,” kata dia. 

Ia pun menjelaskan keterbukaan pemerintah memberikan akses terhadap dokumen lingkungan dan perizinan PT DPM berliku. Masyarakat selama ini kesulitan mendapatkan dokumen tersebut. Pada 2018 mereka harus mengajukan gugatan sengketa informasi untuk mendapatkan dokumen Amdal dan pada 2020 mereka melakukan langkah yang sama pada 2020. 

“Ini anehnya, jadi tidak ada keterbukaan sama sekali perusahaan ini. Bahkan pemerintah selaku regulator malah melindunginya untuk menyembunyikan dokumen. Sampai sekarang saja kami belum dapat dokumen kontrak karya,” jelasnya.

Parahnya lagi, terbitnya izin kelayakan lingkungan dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat. Dokumen itu tiba-tiba saja terbit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ketika masyarakat mendapatkan dokumen ini, kata dia, perisapan gugatan dilakukan. 

Lokasi gudang bahan peledak PT DPM yang berjarak hanya 50 meter dari permukiman warga./Foto: Jatam

PT DPM memiliki sepak terjang panjang di Dairi, perlawanan warga pun terus dilakukan sepanjang umur perusahaan itu bercokol. Data Bantuan Hukum dan Advokasi dan Advokasi Rakyat Sumatera (Bakumsu) menyebutkan perusahaan itu merupakan pemegang Kontrak Karya generasi VII berdasarkan perjanjian kerjasama antar PT. DPM dengan pemerintah melalui Surat Persetujuan Presiden No B.53/ PRES/1/1998 tertanggal 19 Januari 1998. Wilayah Kontrak Karya meliputi Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat dan sebagian Kabupaten Singkil Baru Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Mereka melakukan pertambangan bawah tanah dengan luas wilayah konsesi 27.420 hektare, yang terdiri dari: Hutan Lindung seluas 16.050 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 7.480 ha dan Areal Masyarakat seluas 3.890 ha.

Aktivitas pertambangan dilakukan di hutan dan ladang masyarakat, seperti pengeboran di 372 titik, pembangunan basecamp, pembangunan perumahan karyawan, pembangunan jalan, sehingga terjadi perubahan fungsi hutan untuk pertambangan.

Namun berbagai pelanggaran dan kerusakan lingkungan marak terjadi seperti jebolnya pembuangan limbah pada masa eksplorasi pada 28 Februari 2012, konflik jual beli lahan, sosialisasi yang baru dilakukan setelah keluarnya izin, perusakan akses masyarakat terhadap air.