Aliansi Jaga Alam Raja Ampat Tolak Tambang Nikel
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Tambang
Selasa, 27 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) kembali menggelar aksi penolakan terhadap ekspansi dan eksploitasi pertambangan nikel yang dilakukan PT Mulia Raymond Perkasa di pulau-pulau kecil Manyaifun dan Batang Pele, Kabupaten Raja Ampat. Aksi ini menyoroti konflik kepentingan antara industri tambang dan pelestarian lingkungan di salah satu kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia itu.
Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, yang terdiri dari lebih dari 610 pulau kecil dengan garis pantai sepanjang 753 km, dikenal sebagai surga bawah laut dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Perairannya yang jernih dan kaya spesies, termasuk 540 jenis karang dan 1.511 spesies ikan, menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi wisata bahari kelas dunia dan rumah bagi ribuan biota laut langka.
Namun, di balik keindahan alam dan kekayaan hayati itu, ancaman serius muncul dari aktivitas pertambangan nikel yang telah berlangsung di beberapa pulau seperti Gag, Kawei, dan kini mulai menggerus pulau Manyaifun dan Batang Pele.
Menurut catatan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, deforestasi akibat pembukaan lahan tambang menimbulkan sedimentasi tinggi yang terbawa sungai hingga ke laut. Endapan lumpur ini menutupi terumbu karang, habitat penting bagi berbagai spesies laut termasuk penyu sisik yang dilindungi. Limbah tambang juga berpotensi mencemari ekosistem mangrove yang berperan krusial dalam mitigasi perubahan iklim dan melindungi garis pantai dari abrasi.
“Pohon-pohon ditebang, lubang-lubang tambang terbuka dengan tanah berwarna jingga-coklat merusak pulau-pulau kecil. Sedimen tambang terbawa arus laut dan menumpuk di sepanjang pantai, mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi keajaiban Raja Ampat,” kata Yoppy L. Mambrasar, Koordinator Aksi ALJARA dalam keterangan resminya yang diterima BETAHITA di Jayapura, Senin, 26 Mei 2025.

Dalam aksi yang berlangsung 26 Mei 2025, ALJARA menegaskan penolakannya terhadap PT Mulia Raymond Perkasa yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Mereka mendesak pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, dan Pemerintah Pusat untuk menghentikan segala bentuk aktivitas tambang nikel dan fokus melindungi kawasan konservasi dan destinasi wisata bahari ini.
Yoppy menegaskan, “Kami tidak bisa diam melihat kehancuran alam di Raja Ampat atas nama pembangunan dan hilirisasi nikel yang katanya untuk energi bersih. Ini adalah rantai pasok berdarah yang merusak surga bahari kita.”
ALJARA juga mengecam pemerintah yang dinilai belum serius menjalankan fungsi perlindungan lingkungan, meskipun Mahkamah Konstitusi RI telah memutuskan pada Maret 2024 agar pulau-pulau kecil mendapatkan perlindungan khusus dari aktivitas berbahaya seperti pertambangan.
“PT Mulia Raymond Perkasa terang-terangan beroperasi di kawasan Geopark Raja Ampat dan hutan lindung, menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pemerintah daerah mengaku tidak bisa berbuat banyak, sementara para pemimpin pusat seolah hanya memberi janji tanpa tindakan nyata,” ujar Yoppy.
Kerusakan ekosistem laut dan darat akibat pertambangan nikel bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tapi juga bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada pariwisata dan perikanan. Penurunan kualitas air laut dan sedimentasi mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan ikan, yang secara langsung memengaruhi kehidupan ribuan warga. “Perjuangan kami adalah melawan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan alam. Kami ingin Raja Ampat tetap menjadi surga bahari, bukan daerah yang dirusak untuk keuntungan segelintir orang,” tutur Yoppy.
Aliansi Jaga Alam Raja Ampat berkomitmen untuk terus mengawal perjuangan ini, menyerukan agar pemerintah memperkuat perlindungan lingkungan dan mengutamakan keberlanjutan di wilayah yang diakui UNESCO sebagai Geopark Global. Mereka menuntut penghentian ekspansi tambang dan implementasi kebijakan yang mengedepankan konservasi dan kesejahteraan masyarakat lokal. "Kami Menolak dengan tegas ekspansi dan eksploitasi pertambangan nikel di Pulau-pulau kecil termasuk di pulau Manyaifun dan Batang Pele karena akan mengancam kelestarian ekosistem darat dan laut di wilayah Raja Ampat," kata Yoppy.
Selain itu, mereka meminta pemerintah kabupaten Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk transparan dan menghadirkan pihak pemilik PT Mulia Raymond Perkasa untuk bertanggung jawab menyelesaikan konflik antar masyarakat pro dan kontra,serta berhenti melakukan rencana aktivitas bisnis tambang nikel di pulau Batang Pele dan Manyaifun. "Karena akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam secara tradisional untuk menopang kebutuhan sehari-hari dari sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata secara berkelanjutan," ujarnya.
Menurut ALJARA, Gubernur Provinsi Papua Barat Daya, Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua,DPRD Papua Barat Daya, dan Bupati Raja Ampat harus menyampaikan secara terbuka kepada Presiden, DPR RI dan Menteri ESDM untuk segera melakukan evaluasi tuntas terhadap izin-izin pertambangan dan "segera mencabut semua Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Raja Ampat dan fokus pada pelestarian kawasan konservasi bahari dan menerbitkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memberikan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat Papua."