Masyarakat Adat: Pengakuan MK sudah 12 Tahun, UU masih Nol Tahun
Penulis : Gilang Helindro
Masyarakat Adat
Rabu, 28 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dua belas tahun setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat masih jauh dari harapan. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MHA) yang seharusnya menjadi payung hukum implementasi putusan tersebut hingga kini belum juga disahkan. Situasi ini memperpanjang penderitaan komunitas adat yang terus mengalami perampasan wilayah, kriminalisasi, dan minimnya perlindungan hukum.
Padahal, berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2023, terdapat 26,9 juta hektare wilayah adat yang telah teregistrasi. Namun, hanya 14% yang telah mendapatkan pengakuan resmi dari negara. Sementara itu, AMAN mencatat, pada tahun 2024, sebanyak 2,8 juta hektare wilayah adat dirampas, meningkat dari 2,5 juta hektare pada 2023. Terdapat pula 121 kasus kriminalisasi yang menimpa 140 komunitas adat.
Hingga kini, pengakuan terhadap masyarakat adat masih bergantung pada produk hukum daerah, seperti Perda dan SK Bupati, yang cenderung lemah dalam perlindungan substantif. Hal ini diperparah oleh kebijakan pemerintah pusat yang justru memperkuat kepentingan korporasi melalui UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU Ibu Kota Negara.
Siti Rakhma Mary dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengungkapkan bahwa putusan MK 35 belum memberikan dampak signifikan. “Konflik agraria tetap eksis, dan masyarakat masih terancam baik oleh intimidasi maupun kriminalisasi,” ujarnya.

Sementara itu, Erasmus Cahyadi dari AMAN mengkritik regulasi kehutanan yang justru membelokkan semangat putusan MK 35. “Hutan adat dikategorikan terpisah dari hutan hak, bertentangan dengan mandat MK. Tanpa UU khusus, perlindungan tidak akan optimal,” katanya.
Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, menyatakan bahwa secara prinsip DPR telah menyepakati urgensi RUU MHA. Ia mendorong kolaborasi lintas pihak agar proses legislasi segera rampung. “Kita sudah sepakat bahwa UU MHA dibutuhkan sebagai payung hukum agar pengaturan hak masyarakat adat tidak lagi terpencar dalam undang-undang sektoral,” katanya.
Sementara itu, akademisi UGM Yance Arizona menekankan perlunya pendekatan baru. Ia mengusulkan agar RUU MHA lebih menekankan aspek perlindungan ketimbang sekadar pengakuan. “Diskresi terlalu besar untuk pemerintah dalam mengakui atau tidak mengakui. Perlu pendekatan layanan administrasi seperti pembuatan KTP,” dia menjelaskan.
Yance juga menyarankan penyusunan RUU MHA dengan pendekatan Omnibus Law untuk mengatasi tumpang tindih dengan lebih dari belasan UU sektoral.
Namun, pendapat ini ditanggapi berbeda oleh Siti Rakhma. Ia menekankan bahwa pengakuan harus menjadi dasar utama sebelum perlindungan bisa dijalankan. “Tanpa pengakuan, tidak akan ada perlindungan yang efektif. Restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi juga harus diatur sebagai bentuk pemulihan,” ujarnya.
Masyarakat adat, sebagai bagian dari kelompok rentan, semestinya menjadi prioritas perlindungan negara, sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Nasional HAM. Namun tanpa undang-undang yang kuat, kata Siti, janji itu hanya menjadi retorika kosong.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, tekanan terhadap pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat semakin menguat. "UU ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal keadilan, eksistensi, dan kelangsungan hidup masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum republik ini berdiri," ujarnya.