Kritik Energi Fosil dalam Rencana PLN Terbaru
Penulis : Kennial Laia
Energi
Rabu, 28 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dari energi fosil dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia mengatasi krisis iklim. Hal ini terdapat dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.
Dalam RUPTL tersebut, yang disosialisasikan Senin, 26 Mei 2025, pemerintah dan PLN berencana menambah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 6,3 gigawatt dan pembangkit listrik energi fosil sebesar 10,3 gigawatt. RUPTL merupakan dokumen perencanaan acuan bagi PLN untuk pengembangan dan penyediaan tenaga listrik di Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun.
“Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, Selasa, 27 Mei 2025.
Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri mempertanyakan jika penambahan kapasitas PLTU tersebut merupakan penerusan (carry over) dari RUPTL sebelumnya, yang terakhir dipublikasi pada 2021, atau seluruhnya baru.

“Selain itu, angka pembangkit dari gas naik di dalam dokumen baru tersebut. Kita perlu hati-hati karena gas hanya akan menjebak kita dalam pelepasan emisi,” katanya kepada redaksi.
Menurut Novita, dokumen RUPTL terbaru semakin menunjukkan komitmen pemerintah yang tidak sejalan dengan komitmen iklim. Dia menyoroti draf rencana peraturan pemerintah tentang kebijakan energi nasional (KEN) yang mencantumkan penggunaan batu bara dan gas. Tahun lalu PLN juga menargetkan pembangunan 22 gigawatt pembangkit listrik gas baru hingga 2040 mendatang.
“Kedua dokumen tersebut masih memuat penggunaan batu bara dan turunannya, dan gas. Di dalamnya juga memuat solusi palsu seperti cofiring biomassa, green ammonia, dan hidrogen,” ujarnya.
Indonesia memiliki target 44% energi terbarukan pada 2030. Tahun lalu pada KTT G20 di Brasil Presiden Prabowo Subianto juga berkomitmen membangun 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan dan mencapai net zero emission pada 2050 atau 10 tahun lebih cepat dari komitmen sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah dinilai masih sulit menjalankan transisi energi, termasuk rencana pensiun dini PLTU batu bara. Bauran energi terbarukan saat ini juga hanya mencapai 15% pada 2024, dengan laju penambahan pembangkit energi terbarukan pada 3,2 gigawatt dari 2018 hingga 2023. Sementar itu penambahan pembangkit listrik energi fosil mencapai 18.4 gigawatt, atau enam kali lipat dari energi terbarukan.
Studi terakhir dari Greenpeace dan CELIOS mengungkap, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil berpotensi menaikkan emisi karbon secara signifikan, mencapai 49,02 juta ton per tahun. Penelitian lainnya menunjukkan pengembangan gas fosil di Indonesia akan semakin menjauhkan Indonesia dari pencapaian target iklim, dan membutuhkan pendanaan US$32,42 miliar yang akan menjadi beban keuangan negara di masa depan.
Untuk mencapai target iklimnya, kebijakan harus sepenuhnya meninggalkan bahan bakar fosil, dan fokus membangun energi terbarukan.
“Pemerintah seharusnya memberikan ruang bagi energi terbarukan, seperti surya dan angin, untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia, sejalan dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Prabowo”, kata Adila.