Roadmap Transisi Energi Belum Menjawab Krisis Iklim
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Rabu, 04 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Peta jalan (roadmap) transisi energi yang telah disusun dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dinilai belum mampu menjawab persoalan krisis iklim. Bahkan, Just Energy Transition Partnership (JETP) juga masih membiayai penggunaan energi fosil batu bara. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema “Krisis Iklim VS Peta Jalan Transisi Energi” yang digelar Kanopi Hijau Indonesia, pada 27 Mei 2025.
Dalam paparannya, Catharine K Wijaya dari Sekretariat JETP, menjelaskan bahwa JETP Indonesia dibentuk untuk melakukan pembiayaan transisi energi. Hingga saat ini, ujarnya, sebanyak USD19,6 miliar dana telah dijanjikan untuk JETP Indonesia. Ada 6 fokus area investasi (IFA) termasuk di dalamnya ada pembangunan geothermal.
Perwakilan Trend Asia, Novita Indri Pratiwi menuturkan, peta jalan transisi energi di Indonesia hingga saat ini masih belum sepenuhnya tegas baik itu dalam segi kebijakan maupun pendanaan. Sebab, kebijakan yang dibuat dalam memilih energi prioritas yang berkeadilan dan bersih, dan pilihan teknologi belum memiliki mitigasi.
“Seperti penggunaan bioenergi yang merupakan solusi palsu transisi energi karena akan memicu deforestasi atau pembabatan hutan. Lalu dałam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga masih mengakomodir batu bara dan gas yang masih dipakai hingga tahun 2060 walaupun dalam proyeksi KEN penggunaannya akan menurun,” kata Novita.

Novita mempertanyakan penggunaan energi fosil dalam peta jalan transisi energi mengingat produksi energi terbarukan sudah jauh lebih mudah dan harganya jauh lebih murah. Ia juga menyoroti emisi karbon yang akan dihasilkan dari penggunaan energi kotor atau fosil dalam kurun waktu 2025 hingga 2060 yang dianggap akan memperparah krisis iklim.
Raditya Yudha W, dari Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, pada 2060 Indonesia menargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE), yang mana dua dokumen telah dirancang untuk menurunkan emisi tetapi hal tersebut belum memperlihatkan upaya yang selaras dengan upaya global. Raditya berpendapat, terdapat beberapa tantangan dalam transisi energi di Indonesia antara lain infrastruktur fisik, kerangka kebijakan, dan perekonomian.
“Kritik terhadap subsidi dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat miskin justru mendorong konsumsi bahan bakar yang seharusnya dialihkan untuk penggunaan energi yang lebih bersih,” kata Raditya.
Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih, M. Ali Akbar, menjelaskan, seminar ini ditujukan untuk mengetahui seperti apa potret transisi energi yang sekarang ini sedang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan sementara dampak dari krisis iklim telah dirasakan oleh masyarakat di Pulau Sumatera, terutama di pantai barat yang mengalami laju abrasi pantai, kerusakan muara sungai, hingga pendangkalan pelabuhan.
Belum lagi aktivitas seluruh PLTU batu bara selain berkontribusi nyata terhadap krisis iklim juga memberikan dampak buruk pada warga yang tinggal di sekitar pembangkit mulai dari dampak kesehatan, ekonomi dan sosial.
“Seminar ini menjadi bahan bacaan dalam rangka menjalankan kampanye melawan krisis iklim salah satunya dengan memperketat operasionalisasi PLTU batu bara Teluk Sepang Bengkulu secara khusus sehingga mampu menekan emisi yang ditimbulkan,” kata Ali.
Pengetatan dimaksud adalah memastikan kewajiban lingkungan korporasi dilaksanakan sesuai dengan kaidah lingkungan yg telah ditetapkan. Tidak dibenarkan ketika PLTU batu bara beroperasi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bermuara pada jatuhnya korban.
Ali mengaku belum menemukan korelasi yang signifikan antara upaya melawan krisis iklim yang salah satu caranya menekan emisi karbon, dengan agenda dan juga skema pembiayaan dari JETP. Hal ini dibuktikan dengan agenda JETP masih mendukung penggunaan energi fosil batu bara.
“Agenda yang sedang kita lakukan untuk menurunkan emisi karbon adalah dengan cara memperketat operasionalisasi PLTU batu bara yang ada di Sumatera secara umum dan PLTU batu bara Teluk Sepang, Bengkulu secara spesifik untuk memastikan bahwa kewajiban lingkungan korporasi dilaksanakan secara benar,” katanya.
Seharusnya kata Ali hal ini juga menjadi agenda JETP, mengingat hingga saat ini operasionalisasi PLTU batu bara terus menerus menimbulkan dampak buruk bagi manusia dan lingkungan.
“Hasil seminar ini akan menjadi landasan diskusi selanjutnya dalam rangka memastikan korporasi pembangkitan energi kotor bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan,” ucap Ali.