Tambang Nikel di Raja Ampat akan Dibawa ke DPR RI
Penulis : Gilang Helindro
Tambang
Rabu, 04 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Keberadaan aktivitas tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat kembali menjadi sorotan menyusul kunjungan kerja reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke Provinsi Papua Barat Daya. Dalam kunjungan tersebut, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi izin pertambangan yang dinilai berpotensi merusak lingkungan alam Raja Ampat. “Apakah ini akan diteruskan kalau kehadirannya hanya mengancam ekosistem alam di Raja Ampat?” kata Evita seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, Senin 2 Juni 2025.
Evita menegaskan komitmennya untuk membawa isu ini ke pembahasan di DPR RI bersama Komisi XII dan kementerian terkait. Ia menyoroti pentingnya menjaga kelestarian alam Raja Ampat yang dikenal sebagai kawasan dengan kekayaan hayati laut terbesar di dunia.
Sebelumnya dalam pemberitaan Betahita pada 27 Mei 2025, Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) juga menggelar aksi penolakan terhadap ekspansi tambang nikel yang dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Aksi ini dilakukan untuk menyoroti konflik antara kepentingan industri tambang dan pelestarian lingkungan di kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.
“Pohon-pohon ditebang, lubang-lubang tambang terbuka dengan tanah berwarna jingga-coklat merusak pulau-pulau kecil. Sedimen tambang terbawa arus laut dan menumpuk di sepanjang pantai, mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi keajaiban Raja Ampat,” ujar Yoppy L. Mambrasar, Koordinator Aksi ALJARA, dalam keterangannya di Jayapura, Senin 27 Mei 2025.

Raja Ampat memiliki lebih dari 610 pulau kecil dan garis pantai sepanjang 753 km. Perairannya menjadi rumah bagi lebih dari 1.511 spesies ikan dan 540 jenis karang, menjadikannya salah satu destinasi wisata bahari terbaik dunia. Namun, menurut ALJARA, aktivitas tambang menyebabkan deforestasi, sedimentasi tinggi, dan pencemaran laut yang mengancam habitat penyu sisik, ekosistem terumbu karang, serta mangrove yang berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Ancaman Tambang terhadap Raja Ampat
Menurut Greenpeace, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi khas telah dibabat di tiga pulau kecil di Raja Ampat: Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Ketiganya merupakan bagian dari pulau-pulau kecil yang menurut UU No. 1 Tahun 2014 sebenarnya dilindungi dari aktivitas pertambangan.
Pembukaan lahan dan pengerukan tanah oleh tambang itu menyebabkan limpasan tanah ke pesisir, yang mengakibatkan sedimentasi. Hal ini berpotensi besar merusak terumbu karang dan ekosistem laut yang menjadi pusat biodiversitas dan sumber mata pencaharian masyarakat lokal.
Menurut Ronisel Mambrasar, pemuda aliansi dari kampung Manyaifun, kehadiran tambang mengganggu tatanan sosial masyarakat adat. Kehidupan yang sebelumnya harmonis pun menjadi rentan konflik akibat perebutan sumber daya, batas wilayah, dan pengaruh pihak luar. "Penduduk lokal menggantungkan hidup pada laut dan hutan yang sehat. Dengan masuknya tambang, menurut Greenpeace, akses terhadap sumber pangan dan mata pencaharian berkurang drastis, memicu kerentanan ekonomi dan sosial.