Masa Depan Biodiversitas Ada di Tangan Masyarakat Adat - WGII

Penulis : Gilang Helindro

Konservasi

Senin, 09 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Working Group ICCAs Indonesia (WGII) meluncurkan edisi terbaru data wilayah kelola konservasi masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories/ICCAs) dalam diskusi media bertema “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang digelar di Jakarta pada pekan lalu (4 Juni 2025). Kegiatan ini sekaligus menjadi ruang penting untuk memperkuat sinergi lintas sektor dalam mendukung target nasional maupun global konservasi keanekaragaman hayati.

Koordinator WGII, Kasmita Widodo, menyampaikan bahwa peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati tidak bisa diabaikan. “Perlindungan keanekaragaman hayati tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat adat yang telah menjaga wilayah mereka secara berkelanjutan dan berbasis nilai budaya,” ujarnya dikutip Kamis, 5 Juni 2025.

Menurut data yang disampaikan oleh Lasti Fardilla Noor dari Knowledge Management WGII, hingga Mei 2025, total wilayah ICCAs yang telah terdaftar secara nasional mencapai 647.457,49 hektare, dengan Kalimantan menjadi wilayah terbesar yakni 385.744,26 hektare. Potensi wilayah ICCAs di Indonesia pun terus meningkat, dari 22 juta hektar pada 2024 menjadi 23,82 juta hektare pada 2025, dengan wilayah Papua menyumbang potensi terbesar, yakni 9,37 juta hektare.

Analisis terbaru WGII menunjukkan wilayah ICCAs berkontribusi besar terhadap pelestarian keanekaragaman hayati nasional. Sebanyak 66,4% spesies burung dan 22,8% spesies reptilia di Indonesia ditemukan di dalam wilayah-wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Praktik konservasi ini juga mendukung pemanfaatan berkelanjutan terhadap tumbuhan yang penting untuk obat-obatan tradisional, pangan lokal, hingga kosmetik alami.

Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menggelar diskusi media bertema “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang juga digunakan sebagai momentum peluncuran Data ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories) edisi terbaru, Mei 2025, pada Rabu, 4 Juni 2025 di Jakarta. Foto: Istimewa.

Program Manager WGII, Cindy Julianty, menegaskan bahwa pendekatan konservasi yang selama ini bersifat top-down perlu didekolonisasi. “Sudah saatnya kita menempatkan masyarakat adat sebagai subjek konservasi, bukan sekadar objek. Akar konservasi justru berasal dari kearifan tradisional mereka,” tegasnya.

Senada dengan itu, Farwiza Farhan dari Yayasan HAkA Aceh menyoroti kesalahan historis pendekatan konservasi yang memisahkan manusia dari alam. Menurutnya, pemindahan masyarakat dari kawasan konservasi tidak menyelesaikan konflik, justru membuka ruang benturan baru dengan satwa. “Negara kerap tidak mampu melindungi kawasan yang sudah ditetapkan sebagai konservasi,” ujarnya.

Dari sisi pemerintah, Ir. Inge Retnowati, M.E., Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian LHK, menyampaikan apresiasi terhadap data WGII yang dianggap krusial untuk penyusunan National Report ke-7sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap Convention on Biological Diversity (CBD). Ia menegaskan pentingnya membangun roadmap bersama untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap kearifan lokal.

Pentingnya representasi masyarakat adat juga disuarakan oleh Kynan Tegar, pembuat film sekaligus pemuda Dayak Iban dari Sungai Utik, Kalimantan Barat. Ia menekankan bahwa data konservasi harus dibangun bersama masyarakat adat dan mewakili kebutuhan serta pandangan mereka secara utuh. “Kami bukan hanya penjaga hutan, kami manusia yang berhak atas pengakuan dan perlindungan,” ujarnya.

Direktur Forest Watch Indonesia, Mufti F. Barri, turut memberi penekanan pada ironi hilangnya keanekaragaman hayati bahkan di kawasan konservasi, akibat masuknya konsesi tambang dan perkebunan. Ia mencontohkan kasus hilirisasi nikel di Raja Ampat yang merusak wilayah dengan biodiversitas tinggi.

“Masyarakat adat adalah garda terdepan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati yang tersisa. Kita butuh lebih banyak data seperti ICCA ini sebagai bukti bahwa kita memiliki budaya konservasi yang kuat dan efektif,” ungkapnya.

WGII berharap data dan diskusi ini menjadi pijakan konkret untuk memperkuat pengakuan, perlindungan, dan pelibatan penuh masyarakat adat dalam kebijakan konservasi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.