RUU Kehutanan Diharapkan Hapus Cara Pandang Kolonial
Penulis : Gilang Helindro
Lingkungan
Rabu, 11 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) dinilai harus menjadi momentum penting untuk mengubah paradigma pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan anggota legislatif menekankan pentingnya meninggalkan cara pandang kolonial yang selama ini menempatkan hutan hanya sebagai komoditas negara dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta lokal.
Dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) minggu lalu, juru kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menyampaikan bahwa UU Kehutanan saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun, serta minimnya perlindungan terhadap masyarakat adat.
“UU Kehutanan harus berubah total. Kalau tidak, kita akan gagal mencapai target pengurangan emisi sektor kehutanan dan lahan (FoLU),” kata Anggi, dikutip Selasa, 10 Juni 2025.
Anggi menekankan tiga hal penting dalam revisi UU tersebut. Pertama, mengubah paradigma kolonial dalam penguasaan negara atas kawasan hutan. Ia mengkritisi klaim sepihak Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah yang dijadikan kawasan hutan negara tanpa proses penetapan yang sah secara sosial.

“Penetapan kawasan hutan selama ini tidak melibatkan legitimasi masyarakat adat dan lokal. Bahkan, dalam setahun terakhir, penetapan kawasan melonjak hingga 20 kali lipat dari biasanya,” tambahnya.
Kedua, RUUK harus menolak kamuflase pembangunan berkelanjutan seperti program swasembada pangan dan energi yang justru menjadi alat perampasan hutan. Ketiga, UU harus mengimplementasikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terutama Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95 yang memperkuat hak-hak masyarakat adat.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono, menegaskan bahwa revisi UU Kehutanan harus berpihak pada keadilan bagi masyarakat adat serta mengintegrasikan pengelolaan hutan dan ketahanan pangan.
Suara dari berbagai daerah pun menguatkan desakan tersebut. Raden dari WALHI Kalimantan Selatan menyebutkan masyarakat adat Meratus terus dikorbankan karena hutan dianggap sebagai milik negara. Hal senada diungkapkan A. Syukri dari Link-Ar Borneo yang menyoroti bahwa hutan tanaman industri sejatinya hanyalah kebun monokultur yang tidak bisa disebut hutan. “RUUK bukan sekadar soal regulasi, tapi menyangkut keadilan dan masa depan,” ujarnya.
Darwis dari Green of Borneo Kalimantan Utara memperingatkan bahwa tanpa perlindungan sosial dan implementasi prinsip PADIATAPA, revisi hanya akan memperparah konflik dan kerusakan ekologis.
Afifuddin dari WALHI Aceh menilai, jika revisi hanya melegitimasi krisis yang sudah ada, maka rakyat akan semakin dirugikan. Sementara itu, Sulfianto dari Panah Papua menyebut pendekatan eksploitatif dalam RUUK sebagai bentuk penjajahan baru, terutama melalui program food estate tanpa transparansi.
Oscar Anugrah dari WALHI Jambi mengungkap bahwa transisi energi di dalam konsesi kehutanan hanya menjadi kedok baru perampasan hutan dan perluasan tambang ilegal. Ia mengingatkan agar narasi hijau tidak digunakan untuk mengabaikan hak ulayat.
Di Gorontalo, Defri Setiawan dari WALHI menyoroti proyek bioenergi dan monokultur yang meminggirkan masyarakat lokal. Di Maluku, Zul dari KORA menuntut pengakuan penuh terhadap hak masyarakat adat di tengah ancaman proyek biomassa di Pulau Buru.
Kondisi serupa juga terjadi di Maluku Utara, di mana Faizal Ratuela dari WALHI menyoroti bahaya proyek strategis nasional yang mengorbankan pulau-pulau kecil tanpa mempertimbangkan ekologi dan identitas lokal.
Dr Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menegaskan bahwa revisi UU harus mencerminkan pemahaman baru tentang makna hutan dan tata kelola yang adil. Hal ini juga ditekankan oleh Dessy Eko Prayitno, SH., MH. dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa pengakuan hak masyarakat dan tata kelola yang transparan dan akuntabel harus menjadi roh utama dalam UU Kehutanan yang baru.