Jatam Sulteng: 100 Hari Gubernur Belum Nyata Atasi Tambang

Penulis : Gilang Helindro

Tambang

Kamis, 12 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah menilai pemerintahan Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reny A. Lamadjido belum menunjukkan komitmen nyata dalam menangani persoalan pertambangan selama 100 hari pertama masa kerja mereka.

Penilaian ini disampaikan oleh Koordinator Jatam Sulteng, Moh Taufik, dalam keterangan resmi yang dikutip pada Selasa, 10 Juni 2025. Menurut Taufik, sejumlah persoalan krusial terkait aktivitas pertambangan belum tersentuh, bahkan terkesan diabaikan oleh pemerintah provinsi.

“Selama 100 hari pemerintahan Anwar-Reny, kami belum melihat langkah konkret untuk menyelesaikan berbagai masalah tambang. Semuanya masih sebatas wacana tanpa tindakan tegas,” kata Taufik.

Sejak pelantikan pasangan Anwar-Reny, Jatam Sulteng telah menyampaikan berbagai persoalan pertambangan. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda penyelesaian yang signifikan.

Penampakan kegiatan PETI di Kelurahan Poboya, Kota Palu, pada Agustus 2024. PETI ini diduga berada di dalam Kontrak Karya PT CPM. Foto: Jatam Sulteng.

Aktivitas tambang pasir dan batuan di sepanjang pesisir Palu-Donggala menjadi sorotan utama. Jatam menilai kegiatan ini telah merusak lingkungan pesisir dan berdampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar, termasuk warga Kota Palu.

“Meskipun dampaknya sudah dirasakan langsung oleh warga, belum ada langkah evaluasi, apalagi pencabutan izin dari pemerintah provinsi,” kata Taufik.

Jatam juga menyoroti potensi kerusakan lingkungan akibat rencana tambang batu gamping di Banggai Kepulauan. Taufik menekankan bahwa sekitar 97 persen wilayah Bangkep merupakan kawasan karst yang memiliki fungsi ekologis penting dan menjadi penyangga kawasan konservasi laut. “Izin pencadangan tambang masih terus dibiarkan, padahal ancamannya sangat serius terhadap keberlanjutan ekosistem,” tegasnya.

Aktivitas tambang nikel di berbagai wilayah Sulawesi Tengah disebut telah merusak lahan pertanian dan mencemari sumber air warga. Jatam mendesak pemerintah provinsi agar segera merekomendasikan evaluasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Kerusakan di pesisir menyebabkan hilangnya mata pencaharian warga. Pemerintah seharusnya bertindak cepat sebelum dampaknya makin meluas,” ungkap Taufik.

Jatam juga mengkritik lambannya penanganan terhadap praktik pertambangan tanpa izin (PETI) yang semakin marak di sejumlah wilayah seperti Palu, Parigi Moutong, Buol, dan Donggala. Bahkan, dalam temuan Jatam awal tahun lalu, terdapat dugaan keterlibatan Warga Negara Asing (WNA) sebagai pemodal dalam aktivitas tambang ilegal.

“Salah satu contohnya adalah di Desa Tirta Nagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, Parigi Moutong, di mana kami menemukan indikasi keterlibatan WNA dalam operasi PETI,” ungkap Taufik.

Jatam mendesak agar Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reny A. Lamadjido segera mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan lingkungan dan melindungi masyarakat terdampak tambang.

“Pemerintah tidak bisa terus berdiam diri. Masalah tambang ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga menyangkut hak hidup dan keselamatan warga Sulawesi Tengah,” ungkap Taufik.