KPA: Stop Main Kriminalisasi kepada Petani Pakuweru

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Rabu, 11 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak kriminalisasi terhadap para petani anggota Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS) dari Desa Pakuweru, Kecamatan Tengah, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (Sulut), segera dihentikan. Desakan tersebut muncul setelah Yola Nifta Rompas ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pencurian oleh kepolisian, pada 20 Mei 2025.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika, menguraikan, kriminalisasi dan berbagai ancaman dari pihak PT SM terus dihadapi petani SPMS, bahkan sejak 23 Juni 2022 lalu. Kala itu, Yola bersama 13 petani lainnya dilaporkan oleh seorang bernama Sendra Laoh, yang mengaku sebagai pemilik PT SM. Para petani itu dituduh melakukan pencurian tanpa ada bukti yang jelas.

“Laporan yang dilakukan pihak perusahaan sejatinya tidak berdasar. Sebab HGU PT Sidatek Murni telah habis masa berlakunya sejak 2008. Bahkan lahan seluas 94 hektare tersebut telah menjadi tanah garapan masyarakat sejak 1970-an,” kata Dewi, 3 Juni 2025.

Penggarapan lebih massif oleh masyarakat di wilayah tersebut dilakukan pada 1990-an, karena tanah ditelantarkan oleh PT SM. Tanah ini telah menjadi sumber penafkahan bagi petani anggota SPMS selama 3 generasi.

Ilustrasi konflik agraria. Foto: Internet

Dewi bilang, kriminalisasi ini terus menambah catatan buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang selalu mengedepankan pendekatan represif dan diskriminatif secara hukum terhadap masyarakat. KPA mencatat, dalam kurun 7 tahun terakhir (2018-2024), sebanyak 531 orang dikriminalisasi, 89 orang dianiaya, 5 orang ditembak, dan 9 tewas di wilayah konflik agraria sektor perkebunan.

Tindakan perusahaan dan aparat kepolisian, imbuh Dewi, tidak mempunyai dasar hukum. Alasannya, yang pertama, HGU PT SM telah berakhir pada 2008 dan bahkan perusahaan itu telah menelantarkan tanah tersebut sejak periode 1970-an.

“Artinya pihak perusahaan atau pihak yang mengaku ahli waris tidak memiliki hubungan hukum lagi dengan tanah yang mereka klaim tersebut,” kata Dewi.

Kedua, lanjut Dewi, para petani telah menggarap tanah tersebut dan membangun pemukiman sejak 1970-an, dan bahkan lokasi tersebut telah berstatus sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Artinya tanah tersebut dalam proses penyelesaian konflik agraria untuk diberikan hak atas tanahnya kepada masyarakat.

Kemudian yang ketiga, aparat kepolisian kembali menjadi kaki tangan pihak perusahaan untuk mengintimidasi dan meneror masyarakat. Sebab langsung menetapkan status tersangka, alih-alih mempelajari terlebih dahulu duduk perkara konflik agraria yang terjadi. Selain itu, pihak kepolisian tidak mempunyai dasar hukum dan bukti yang jelas untuk menetapkan warga sebagai tersangka.

“Sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan kriminalisasi dan teror terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya,” ujar Dewi.

Selanjutnya, yang keempat, KPA menilai upaya kriminalisasi ini menunjukkan lemahnya komitmen negara untuk menyelesaikan konflik agraria dan mengakui hak atas tanah masyarakat. Sebab, kejadian ini terus berulang tanpa ada tindakan tegas dari negara terhadap pihak perusahaan. Alih-alih mempercepat upaya penyelesaian, pemerintah justru berdiam diri atas peristiwa kriminalisasi dan intimidasi yang berulang ini.

Alasan kelima, konflik agraria ini seharusnya tidak terjadi jika Kementerian ATR/BPN berani menetapkan eks-HGU sebagai tanah terlantar untuk diredistribusikan kepada para petani. Saat ini terdapat 7,14 hektare tanah terlantar yang tidak kunjung ditertibkan oleh pemerintah. Sehingga pihak pengusaha bekas pemilik HGU tersebut terus melakukan intimidasi terhadap masyarakat yang telah menggarap di atasnya.

“Atas situasi tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan dan mendesak Kapolres Minahasa Selatan segera membebaskan para petani yang menjadi korban kriminalisasi,” ucap Dewi.

Dewi juga mendesak Kapolda Sulawesi Utara segera menindak tegas tindakan pelanggaran yang dilakukan Kapolres Minahasa Selatan dan pihak PT SM. Selain itu, ia juga mendesak Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Gubernur Sulawesi Utara untuk mengawal dan mendorong proses penyelesaian konflik LPRA Pakuweru.

“Mendesak Kementerian ATR/BPN segera mempercepat redistribusi tanah dan pengakuan hak atas tanah masyarakat Pakuweru,” ujarnya.