Ancaman Tambang di Pulau Kecil: Tak Cukup Hanya Cabut 4 IUP
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 12 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pencabutan 4 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, di Provinsi Papua Barat Daya, dinilai tidak cukup. Karena, masih banyak lagi wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia yang juga berada di ambang kehancuran. Demikian menurut para aktivis.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa ada 35 pulau kecil di Indonesia yang dieksploitasi dengan 195 izin pertambangan. Menurut Trend Asia, hal tersebut cukup ironis, sebab hukum Indonesia melindungi pulau-pulau kecil, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Kelompok masyarakat sipil yang kerap menyoroti kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan ini mengatakan, bahwa pulau kecil dilindungi karena ia memiliki daya tampung yang lebih kecil, daya pulih yang rendah dan rentang terhadap segala aktivitas yang mengubah lansekap ekologis. Tapi, berbagai celah hukum dimanfaatkan untuk mengizinkan perusahaan tetap menambang pulau kecil.
“Banyak pulau-pulau kecil yang dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakah semua izin tambang di pulau kecil harus viral dulu?” ujar Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, Rabu (11/6/2025).
Arko bilang, ketegasan pemerintah harusnya tidak sekadar aksi kosmetik. Apalagi, izin PT Gag Nikel juga masih dibiarkan berlanjut di pulau kecil, yang perlindungannya dijamin oleh hukum Indonesia.
“Pulau kecil seharusnya mutlak tidak boleh ditambang, apalagi atas nama investasi yang menyengsarakan masyarakat lokal. Presiden Prabowo harus hadir memberikan kepastian atas keberlangsungan semua ekosistem di pulau-pulau kecil,” ucapnya.
Arko merasa ragu sekaligus khawatir pencabutan 4 IUP nikel di Raja Ampat itu hanya akal-akalan saja. Sebab, sejarah menunjukkan kasus serupa seringkali berujung pada dihidupkannya kembali izin-izin tambang atau tetap beroperasinya tambang secara ilegal, seperti di Pulau Wawonii. Ia berpendapat, tanpa komitmen dan regulasi yang kuat, nasib Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya tetap terancam.
Melihat kondisi tersebut, Trend Asia mendesak Presiden Prabowo, yang mengaku sebagai patriot tanah air, untuk segera mengambil langkah lebih fundamental guna menjamin perlindungan mutlak bagi pulau-pulau kecil dan ekosistem vitalnya. Arko bilang, semua izin tambang seharusnya dihapus dari pulau-pulau kecil di Indonesia, bukan hanya Raja Ampat.
“Begitu juga dengan Perda RT/RW(Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan segala instrumen perizinan lain. Regulasi UU WP3K juga harus diperkuat untuk mencegah kembalinya izin tambang,” ucap Arko.
Kontrak karya bukan tameng hukum hancurkan pulau kecil
Adapun Jatam, menganggap dalih Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, tidak mencabut IUP PT Gag Nikel karena perusahaan itu adalah pemegang Kontrak Karya (KK) dan mayoritas sahamnya dimiliki BUMN (PT Aneka Tambang-Antam), serta menyebut aktivitas tambang berjalan baik sesuai Amdal, hanyalah alasan yang manipulatif dan menyesatkan.
“Kontrak Karya bukanlah tameng hukum untuk menghancurkan pulau kecil dan ruang hidup masyarakat adat. Bahkan jika itu BUMN, tetap tak bisa membenarkan perampasan wilayah adat dan perusakan ekosistem Raja Ampat yang menjadi warisan dunia,” kata Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, Rabu (11/6/2025).
Melky mengatakan, langkah pemerintah yang membiarkan PT Gag Nikel beroperasi justru menunjukkan konflik kepentingan yang mencolok dalam tubuh perusahaan itu. Dalam struktur komisaris perusahaan terdapat nama-nama yang dekat dengan kekuasaan, termasuk Ahmad Fahrur Rozi--Ketua PBNU, Lana Saria--Staf Ahli Menteri ESDM Bahlil, serta orang dekat lingkaran Menteri Bahlil sendiri.
Dengan tokoh-tokoh itu duduk sebagai pengawas perusahaan, lanjut Melky, publik berhak mencurigai bahwa PT Gag Nikel kebal hukum, bukan karena legalitasnya kuat, tapi karena dilindungi jejaring kekuasaan politik dan ormas besar.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap etika publik dan kepentingan rakyat,” ujar Melky.
Jatam, lanjut Melky, menilai tindakan Menteri Bahlil dan pembiaran oleh Presiden Prabowo terhadap operasi tambang di Pulau Gag adalah pelanggaran terhadap UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, termasuk Putusan MK RI Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana (anak perusahaan Harita Group) untuk menghapus ketentuan pasal 35 huruf K yang melarang kegiatan penambangan di Pulau Kecil dan telah dimenangkan warga Pulau Wawonii.
Lebih jauh, Presiden Prabowo dan Menteri Bahlil juga melanggar ketentuan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, terutama Pasal 134 ayat (2) yang menyatakan, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Selain itu, siasat licik ini bentuk nyata persekongkolan kekuasaan dan korporasi, sekaligus preseden buruk bagi pengelolaan sumber daya alam di masa depan,” ujar Melky.
Dalam hal ini, Jatam menuntut agar pemerintah mencabut segera izin PT Gag Nikel dan hentikan seluruh operasi tambang di Pulau Gag, melakukan audit lingkungan dan sosial secara independen terhadap dampak operasi tambang di Raja Ampat.
Kemudian, mengembalikan hak pengelolaan wilayah adat kepada masyarakat setempat sebagai pemilik sah Pulau Gag dan wilayah sekitarnya, dan terakhir Presiden Prabowo bertanggung jawab secara politik dan moral atas pembiaran kerusakan ekologi yang berlangsung.
“Jika Prabowo dan Bahlil terus memfasilitasi perusakan pulau kecil, melindungi korporasi perusak lingkungan, dan menjadikan tambang sebagai alat eksploitasi politik, maka mereka sedang mempersiapkan kehancuran Indonesia dari pinggir, dimulai dari Raja Ampat,” katanya.
Gara-gara regulasi tidak ditegakkan
Penampakan areal tambang nikel di Pulau Manoram, Raja Ampat. Foto: Auriga Nusantara.
Sementara itu, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore, berpendapat seluruh problem yang tengah terjadi di Raja Ampat ini muncul akibat regulasi yang tidak ditegakkan. Jika merujuk pada peraturan yang ada, pertambangan di pulau-pulau kecil seharusnya tidak terjadi.
“Sekalipun pemerintah berdalih bahwa Pulau Gag tidak masuk dalam Kawasan Geopark Raja Ampat, namun aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel di sana tetap melanggar ketentuan UU No. 27 Tahun 2007,” kata Rere, sapaan akrab Fanny Tri Jambore.
Karena, imbuh Rere, Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil—luasnya sekitar 6.500 hektare. Kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K UU No. 27 Tahun 2007.
Selain itu, Walhi mencatat, terdapat beberapa preseden Putusan MA dan MK yang secara jelas menegaskan bahwa kegiatan penambangan di pulau kecil dilarang, karena merupakan bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya (abnormally dangerous activities) yang berdampak serius serta kerusakannya tidak dapat dipulihkan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 dan PutusanMK No. 35/PUU-XXI/2023.
Dari preseden tersebut, Direktur Walhi Papua, Maikel Peuki, menganggap kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel haruslah dikatakan sebagai kegiatan yang bertentangan dengan UU dan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup wilayah pesisir dan pulau kecil. Apalagi Indonesia merupakan negara yang sangat rentan peristiwa ekstrim yang diakibatkan perubahan iklim, maka kegiatan penambangan di pulau kecil akan sangat berdampak buruk kelangsungan pulau kecil itu sendiri serta masyarakat yang bermukim.
“Kekhawatiran kami, jika aktivitas PT Gag Nikel dibiarkan berlanjut maka pembongkaran gunung, penggalian lubang-lubang tambang di Pulau Gag ini akan semakin masif,” kata Maikel.
Bila itu terjadi, lanjut Maikel, masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak ulayat akan dipaksa mengungsi ke tanah besar, masyarakat adat akan kehilangan wilayah adatnya, terutama anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas, kampung halaman, budaya lokal dan keindahan kekayaan alam Papua.
Walhi menuntut Pemerintah Indonesia untuk melakukan review menyeluruh terhadap semua izin tambang di pulau-pulau kecil, bukan hanya mencabut sebagian kecil izin saja. Dalam catatan Walhi, masih terdapat setidaknya 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di Indonesia.
“Apabila ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal akan semakin terancam serta menambah catatan pulau-pulau kecil Indonesia yang tenggelam atau hilang,” kata Rere.
Rere menjelaskan, pulau-pulau kecil memiliki daya dukung dan daya tampung yang jauh lebih terbatas dibandingkan pulau besar. Kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), apalagi jika dibarengi dengan hilangnya kekayaan biodiversitas.
Menurutnya, jika pemerintah serius dalam menerapkan prinsip pencegahan bahaya lingkungan, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan seluruh aktivitas tambang di pulau-pulau kecil dan memastikan regulasi ditegakkan tanpa pengecualian. Langkah ini bukan sekadar keharusan ekologis, tetapi juga bentuk keadilan bagi masyarakat pesisir yang telah lama menjadi korban eksploitasi lingkungan.
“Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem bagi generasi mendatang,” ucap Rere.
Pemerintah jangan terbitkan lagi izin tambang di Raja Ampat
Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai juga punya pendapat terhadap isu tambang nikel di Raja Ampat ini. Kelompok masyarakat sipil ini menganggap sejak awal pemerintah memang tidak serius memperhatikan dan mengawasi pemberian izin-izin kepada perusahaan-perusahaan tambang di Raja Ampat.
Menurut mereka kebijakan pemerintah hingga saat ini masih belum mengedepankan kepentingan rakyat, terutama masyarakat adat. Namun sebaliknya, hanya mengamankan kepentingan segelintir orang (korporasi) atau para pemodal.
“Oleh karenanya, kami mendesak agar pemerintah atau kementerian untuk segera mencabut izin PT Gag Nikel, yang juga mengancam lingkungan dan alam Raja Ampat,” kata Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai, dalam sebuah pernyataan tertulis, Selasa (10/6/2025).
Mereka juga meminta agar pemerintah, termasuk pemerintah daerah, tidak lagi menerbitkan dan memberikan IUP kepada PT Raja Ampat Nikel Abadi, yang dikabarkan sedang memproses izin tambang di Raja Ampat. Koalisi ini mendesak pemerintah segera mengevaluasi seluruh perizinan tambang di Papua Barat Daya, serta mencabut izin-izin tambang yang mengancam dan merusak alam dan lingkungan.
“Segera lakukan investigasi mendalam terkait dengan izin-izin pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, yang sarat korupsi di sektor perizinan,” kata mereka.
Tak hanya itu, mereka meminta pula agar pemerintah sesegera mungkin menetapkan kebijakan untuk menjamin agar pemanfaatan sumber daya alam memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan penghormatan terhadap HAM.
“Hentikan semua proyek strategis nasional (PSN) di seluruh Tanah Papua,” tulis mereka.
Pencabutan 4 IUP bagian dari penertiban kawasan hutan
Salah satu sudut Pulau Kawei, di Raja Ampat, yang terbuka akibat aktivitas pertambangan. Foto: Auriga Nusantara.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan mencabut 4 IUP nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat. Keputusan ini diambil setelah keempat perusahaan, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Nurham dinilai melakukan pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan hidup.
"Mempertimbangkan semua yang ada secara komprehensif, Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar PT Gag Nikel (izin) dicabut. Saya langsung melakukan langkah-langkah teknis berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup (LH) maupun Kementerian Kehutanan," kata Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dalam Konferensi Pers di Istana Negara Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Pencabutan IUP 4 perusahaan tersebut, lanjut Bahlil, merupakan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto berdasarkan keputusan rapat terbatas serta hasil koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah setempat, baik Gubernur Papua Barat Daya maupun Bupati Raja Ampat.
Selain mempertimbangkan hasil Ratas, masih kata Bahlil, pencabutan 4 IUP nikel merupakan bagian proses panjang pemerintah dalam mengimplementasikan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, dengan menjalankan kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
Menurut Bahlil, salah satu dasar pertimbangan Presiden adalah upaya menjaga kawasan geowisata Raja Ampat sebagai salah satu prioritas utama, dengan tujuan menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati laut agar terus terjaga, sekaligus mengembangkan potensi wisata kelas dunia secara berkelanjutan.
"Setelah kita turun mengecek ke lapangan, kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi dengan tetap memperhatikan biota laut dan juga ke arah konservasi. Bapak Presiden juga punya perhatian khusus untuk ini dan secara sungguh-sungguh untuk bagaimana menjadikan Raja Ampat tetap menjadi wisata dunia," kata Bahlil.