16 Tambang masih Mengancam Raja Ampat, 12 di Area Geopark
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Jumat, 13 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Meski empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya sudah dicabut, tapi kawasan konservasi penting dunia tersebut masih belum aman. Sebab, masih ada sejumlah izin tambang nikel lainnya, yang berpotensi “dihidupkan” kembali di Raja Ampat.
Hal tersebut diungkap Greenpeace Indonesia dalam laporannya yang berjudul Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia, yang dirilis Kamis (12/6/2025).
Dalam laporan itu, Greenpeace membeberkan keberadaan 16 izin tambang nikel di Raja Ampat, meliputi 5 izin pertambangan aktif dan 11 izin yang sebelumnya pernah diterbitkan–tetapi sudah dibatalkan atau kedaluwarsa. Sebanyak 12 dari 16 izin yang ditemukan tersebut berada dalam kawasan Geopark Global UNESCO.
Berikut beberapa poin kunci temuan Greenpeace Indonesia:
- Dua izin yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa, tapi diterbitkan kembali pada 2025.
- Tiga izin lain yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa yang aktif kembali setelah perusahaan menggugat ke pengadilan dan menang.
- Izin yang sebelumnya diterbitkan untuk pertambangan nikel di Kepulauan Fam. Izin ini mencakup area tujuan wisata terkenal Piaynemo.
- Sejumlah politically exposed persons (PEPs) di balik tambang nikel aktif di Raja Ampat.
- Rantai pasok bijih nikel dari Raja Ampat ke PT IWIP di Maluku Utara.
- Rencana pembangunan smelter di Sorong, yang secara tak langsung menandakan bahwa ancaman tambang nikel di Raja Ampat belum berlalu.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan, pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh pemerintah tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung.
Sebab, lanjut Arie, preseden pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah terjadi di Raja Ampat. Hal ini, menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan izin.
Arie bilang, Greenpeace khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi.
“Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie, dalam sebuah diskusi peluncuran laporan tersebut, Kamis (12/6/2025). Arie juga menuebut, pemerintah semestinya juga mencabut izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.
Dalam peluncuran laporan ini, Angela Gilsha, aktris yang awal Mei lalu ikut menyaksikan kerusakan akibat tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat bersama Greenpeace Indonesia, mengaku kaget dengan keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.
“Saya sempat kaget, karena saya berpikir, ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela. Aktris yang juga pecinta wisata bawah laut ini mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.
Masih dalam acara itu, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ahmad Aris, menegaskan bahwa semua pulau yang dilaporkan dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil, tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi oleh peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif.
“Sehingga kegiatan yang sifatnya eksploitatif mengubah bentang alam, tidak boleh di lakukan, karena pasti akan berdampak ke laut,” kata Aris, yang bergabung dalam diskusi itu secara virtual.
Dian Patria, Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga hadir dalam peluncuran laporan Greenpeace itu, mengungkapkan berbagai tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait dengan indikasi temuan kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.
“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin enggak seberapa,” katanya.
“Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian. Pernyataannya ini menegaskan kembali pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai keran investasi.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, mengapresiasi aksi Greenpeace Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia untuk membenahi sektor penegakan hukum lingkungan.
Ia berharap proses pengawasan, terutama terkait izin-izin yang dikeluarkan pemerintah, bisa dibenahi. “Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat kua. Ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke depannya,” ujarnya.