PT Batu Licin Diminta Stop Menambang Pulau Kei Besar

Penulis : Gilang Helindro

Tambang

Rabu, 18 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Batu Licin Beton Asphalt (BBA) di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, menuai kecaman luas dari masyarakat dan pegiat lingkungan. Operasi tambang ini dinilai tidak hanya menabrak berbagai ketentuan hukum nasional, tetapi juga merusak ruang hidup masyarakat adat dan ekosistem pesisir yang telah dijaga secara turun-temurun.

PT BBA diketahui menjalankan kegiatan pertambangan mineral non-logam berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 147.K/MB.01/MEM.B/2022, yang mengatur klasifikasi mineral seperti dolomit, feldspar, dan kuarsit. Namun, operasi perusahaan ini diduga tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Izin Usaha Produksi (IUP), yang seharusnya menjadi syarat mutlak bagi kegiatan pertambangan. Hal ini diperkuat dengan tidak ditemukannya informasi terkait PT BBA di laman resmi Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian ESDM.

Lebih lanjut, masyarakat setempat menegaskan bahwa aktivitas pertambangan tersebut tidak pernah melalui proses sosialisasi secara partisipatif. “Pertambangan yang saat ini berlangsung di Kei Besar dilakukan dengan mengenyampingkan aspek hukum termasuk hak-hak masyarakat adat Kei. Ini pencurian,” tegas Fadel Notanubun, warga Pulau Kei Besar dikutip Selasa, 17 Juni 2025.

Pulau Kei Besar sendiri merupakan bagian dari wilayah pulau-pulau kecil yang secara hukum wajib dilindungi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 junto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah pulau kecil. Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 juga menetapkan Kei Besar sebagai salah satu dari 111 Pulau-Pulau Kecil Terluar yang strategis dan harus dijaga dari kegiatan eksploitatif.

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Batu Licin Beton Asphalt (BBA) di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto: Istimewa

Syarif Renhoat, tokoh masyarakat adat setempat, menambahkan bahwa keberadaan tambang telah mengancam tatanan budaya dan sosial masyarakat. “Tambang hanya akan menyisakan luka, merusak ekosistem, dan menggeser adat-istiadat orang Kei. Atas nama tanah, adat, dan masyarakat Kei, tambang di Kei Besar wajib dihentikan,” ujarnya.

Selain potensi kerusakan lingkungan seperti banjir, degradasi sumber air, dan perubahan bentang alam, masyarakat juga menyoroti ancaman konflik sosial yang muncul akibat perebutan lahan dan ketimpangan sosial ekonomi. Situs-situs sakral dan makam leluhur pun terancam tergusur.

Masyarakat dan organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Provinsi Maluku dan DPRD Provinsi Maluku untuk mencabut seluruh izin pertambangan di wilayah Pulau Kei Besar dan pulau kecil lainnya di Maluku; menghentikan seluruh aktivitas PT Batu Licin Beton Asphalt secara permanen; memanggil pihak perusahaan dan menuntut pertanggungjawaban hukum; mengusut dugaan keterlibatan aparat militer dalam aktivitas pertambangan; dan membuka informasi publik terkait dokumen izin, peta konsesi, dan hasil AMDAL.

“Tidak ada lokasi tambang di Indonesia yang benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal kecuali segelintir elite dan korporasi,” demikian pernyataan sikap masyarakat. Mereka menegaskan bahwa pulau kecil bukan wilayah yang layak untuk aktivitas ekstraktif. Sebaliknya, pulau-pulau seperti Kei Besar harus dilindungi sebagai ruang hidup masyarakat adat dan penyangga ketahanan ekologis wilayah kepulauan.