Pandangan Iklim Menteri Raja Dikritik

Penulis : Gilang Helindro

Iklim

Senin, 23 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyayangkan proses penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang dinilai minim transparansi dan partisipasi publik. Kritik ini disampaikan menyusul pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang menyebut SNDC harus “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi.”

ARUKI mengingatkan bahwa prinsip-prinsip tersebut hanya akan bermakna jika diwujudkan melalui proses terbuka, partisipatif, dan berpihak pada keadilan iklim. Alih-alih menjadi justifikasi penurunan ambisi mitigasi emisi, pemerintah diminta menjadikan SNDC sebagai alat transformasi menuju ketahanan iklim yang berkeadilan.

Menurut ARUKI, Indonesia kini menghadapi dampak nyata krisis iklim yang semakin intens: banjir, kekeringan, tanah longsor, badai, hingga kenaikan muka air laut. Sayangnya, dalam penyusunan SNDC yang menjadi acuan arah kebijakan iklim nasional, akses publik terhadap rancangan dokumen ini sangat terbatas.

“Minimnya transparansi membuat partisipasi bermakna sulit terwujud, terutama dari kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, dan nelayan tradisional,” tulis ARUKI dalam pernyataan resminya dikutip Kamis, 19 Juni 2025. Ketiadaan ruang partisipasi tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip inklusivitas yang dijanjikan pemerintah.

Spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis! dibentangkan di atas lahan food estate di Kalteng. Foto: Greenpeace Indonesia

Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL menegaskan bahwa keadilan iklim tidak akan tercapai jika suara kelompok rentan terus diabaikan. “Mengabaikan mereka adalah bentuk ketidakadilan struktural. Justru mereka membawa pengetahuan lokal dan strategi adaptif yang krusial bagi ketahanan komunitas,” ujarnya.

ARUKI juga menyoroti penggunaan narasi “realistis” oleh pemerintah yang dikhawatirkan menjadi dalih untuk menurunkan ambisi iklim. Sebagai negara dengan hutan tropis terluas, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga iklim global. Karenanya, dokumen SNDC seharusnya memperkuat, bukan melemahkan, komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi, terutama melalui target FOLU Net Sink 2030.

“Krisis iklim sudah di depan mata. Target 1,5°C akan terlampaui. Maka SNDC tidak boleh lebih lemah dari komitmen sebelumnya. Justru harus lebih ambisius,” ujar Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL. Ia juga menekankan pentingnya integrasi komitmen peningkatan energi terbarukan dalam SNDC sebagai bagian dari kesepakatan global.

ARUKI menilai terdapat kontradiksi serius antara pernyataan komitmen iklim pemerintah dengan praktik pembangunan yang justru memperparah krisis iklim. Program food estate, hutan tanaman industri, perluasan tambang, dan proyek pariwisata skala besar dinilai mendorong deforestasi, mengancam keberlanjutan lingkungan, dan memperburuk kerentanan masyarakat.

Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional mengkritik program food estate di Merauke yang membongkar hutan dan wilayah adat atas nama ketahanan pangan nasional. “Program ini membunuh resiliensi rakyat Papua di tengah krisis iklim. Pemerintah tidak boleh mengorbankan wilayah adat dan ekologi demi ambisi ekonomi jangka pendek,” tegasnya.

ARUKI mendesak pemerintah untuk segera membuka rancangan dokumen SNDC secara luas melalui berbagai kanal informasi agar dapat diakses publik secara transparan. Selain itu, pemerintah diminta membuka ruang dialog publik yang partisipatif dan inklusif, dengan menjamin keterlibatan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan.

ARUKI juga menuntut agar ambisi tinggi dalam penurunan emisi tetap dipertahankan dan ditingkatkan, sesuai dengan urgensi krisis iklim yang tengah dihadapi serta kontribusi konkret yang telah dilakukan oleh komunitas di tingkat akar rumput. Terakhir, ARUKI menekankan pentingnya pengakuan dan integrasi terhadap kontribusi masyarakat lokal di tingkat tapak sebagai fondasi nyata dari aksi iklim yang transformatif.