Genesida di 48 Pulau Kecil
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Senin, 23 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dia baru ulang tahun ke-15 sekarang. Pertama kali dideskripsikan pada 2010 dan kini menyandang status kritis (critically endangered) dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), dia--spesies tikus niken (Rattus nikenii)--mungkin tak akan pernah merayakan HUT ke-16-nya jika saja Anda tidak meributkan konsesi tambang di Pulau Gag, Raja Ampat, beberapa waktu lalu.
Ya, sengaruh itu protes Anda. Soalnya, tikus niken adalah endemik Pulau Gag, tidak hidup di tempat lainnya, bahkan di pulau terdekatnya. Dan, pulau yang luasnya sekitar 6.500 hektare ini, seluruhnya masuk dalam areal izin pertambangan nikel.
Kabar buruknya adalah: Paling tidak ada 4 lusin pulau kecil lainnya yang menjadi habitat asli spesies endemik di Indonesia, baik satwa dan tumbuhan, yang juga terancam oleh tambang. Pulau-pulau kecil itu, sebutkah, Pulau Bacan yang merupakan habitat asli Diancta batubacan (spesies baru keong darat), Dagho Kadodo/Sangihe dengan sejumlah spesies endemik, salah satunya Eutrichomyias rowleyi (seriwang sangihe), dan Kabaena habitat asli Gardenia kabaenensis (suku kopi-kopian).
Betahita.id menghitung, setidaknya terdapat 48 pulau kecil di Indonesia yang telah dibebani izin pertambangan, yang merupakan habitat asli 130 spesies endemik, baik itu satwa maupun tumbuhan. Beberapa di antara spesies itu bahkan termasuk spesies yang baru ditemukan atau dideskripsikan oleh para peneliti beberapa tahun belakangan.
Mirza Dikari Kusrini, peneliti amfibi sekaligus salah satu Ketua IUCN SSC Indonesia Species Specialist Group, mengatakan, meski cenderung memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah, tapi pulau-pulau kecil biasanya memiliki spesies yang unik dan endemik, yang penting untuk dilindungi.
“Apalagi kalau endemik pulau. Beda hal dengan endemik wilayah. Spesies yang hanya ada di pulau tertentu, kalau spesies itu punah, maka dia akan hilang. Tidak ada cadangannya,” kata Mirza, Kamis (19/6/2025).
Karena pulaunya kecil, lanjut Mirza, satwa-satwa yang tinggal di pulau itu biasanya juga berukuran kecil. Itu dikarenakan daya dukung kehidupan di pulau kecil sangat terbatas.
Dengan lain perkataan, spesies yang hidup di pulau kecil, biasanya miskin. Sehingga, karena sistem pulau kecil sangatlah rapuh itu, fragmentasi habitat hingga gangguan masuknya spesies asing, menjadi ancaman serius bagi spesies endemik pulau kecil.
Mirza mengakui, saat ini masih banyak pulau kecil di Indonesia yang belum sepenuhnya dieksplorasi oleh para peneliti. Alasannya, karena penelitian keanekaragaman hayati di pulau kecil memakan biaya yang sangat besar. Sehingga, tidak heran bila kecepatan penelitian di Indonesia masih kalah jauh dari laju kerusakan di pulau-pulau kecil.
“Sangat besar kemungkinan adanya spesies baru ditemukan. Masih ada celah pengetahuan yang belum banyak diketahui. Jadi mungkin saja ada spesies yang bahkan belum ditemukan yang lebih dulu punah,” ucapnya.
Mirza mengatakan, aktivitas ekstraktif apapun sangatlah jahat dilakukan di pulau kecil. Tapi secara garis besar, terkadang negara memerlukan sumber daya mineral yang ada di pulau itu. Sehingga, konservasi terkadang menjadi pilihan yang sulit.
“Kalau memang ekstraktif, maka harus menggunakan segala cara agar dampaknya minimal. Harus memastikan keanekaragaman hayatinya tetap terjaga,” katanya.
Mirza sependapat dengan anggapan bahwa status perlindungan yang diberikan negara kepada spesies satwa dan tumbuhan tertentu, haruslah pula mencakup perlindungan terhadap habitatnya.
“Karena tidak mungkin melestarikan satwa dilindungi tapi habitatnya hilang. Kalaupun tidak sampai hancur, tapi dampaknya terhadap spesies harus dihitung," ucap Mirza.
Sehingga ia berharap, dalam memberikan izin pemanfaatan pulau kecil, pemerintah perlu memperhatikan daya dukung pulau. Dalam hal ini, studi lingkungan harus dilakukan dengan komprehensif dan mendorong riset-riset tentang kekayaan keanekaragaman hayati di pulau kecil.
Mirza mengatakan, bagi kebanyakan orang kepunahan suatu spesies bisa jadi bukanlah hal yang besar. Tapi kepunahan spesies memiliki konsekuensi yang besar bagi ilmu pengetahuan.
Menurutnya, tiap spesies, satwa maupun tumbuhan, memiliki kegunaan tersendiri bagi umat manusia. Beberapa spesies ular misalnya, memiliki racun atau bisa yang berguna untuk penelitian obat. Apalagi tumbuhan, yang sangat penting untuk obat-obatan dan pangan.
“Biomimikri dan penelitian robot misalnya, itu semua meniru bagaimana satwa-satwa tertentu bergerak. Kita perlu tahu bahwa keanekaragaman hayati itu penting,” katanya.
Terakhir Mirza menekankan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) suatu kegiatan ekstraktif, tak hanya di pulau kecil, menjadi suatu hal yang sangat penting. Amdal haruslah berisi tentang analisis biologinya.
“Hasil assessment biodiversitas, harusnya menjadi dasar sebuah pelaksanaan kegiatan. Dan assessment itu harus dilakukan secara berkala. Masalahnya, kadang data Amdal ini tidak dibuka untuk publik,” ucap Mirza.
Transparansi kajian dampak lingkungan sebuah kegiatan ekstraktif, juga dianggap penting oleh Achmad Ridha Junaid, peneliti biodiversitas di Yayasan Burung Indonesia. Dalam banyak kasus, kata Ridha, terkadang para peneliti bahkan masyarakat, tak dapat mengantisipasi dampak sebuah kegiatan ekstraksi sumber daya alam, karena kurangnya informasi yang didapat.
“Transparansi kajian dampak lingkungan itu sangat penting, dan harus didahulukan. Karena biasanya tahu-tahu ada izinnya, ketika ditanya Amdalnya tidak ditunjukkan,” kata Ridha, Kamis (19/6/2025).
80 spesies burung endemik di pulau kecil terancam
Ridha mengatakan, ada banyak sekali pulau-pulau kecil di Indonesia yang memiliki nilai konservasi sangat tinggi. Sebab memiliki spesies-spesies yang kehadirannya hanya ada di pulau-pulau tersebut.
“Ketika sebuah spesies disebut endemik pulau, maka ketika spesies itu terancam, maka risiko kepunahannya sangat tinggi,” katanya.
Pengetahuan tentang spesies kelompok burung di Indonesia, lanjut Ridha, relatif lebih maju. Sehingga para peneliti bisa mengetahui di mana saja sebarannya, termasuk spesies endemik. Berdasarkan analisis spasial, ia menemukan ada puluhan pulau kecil yang menjadi habitat spesies burung endemik pulau dan endemik wilayah, yang di dalamnya ternyata telah dibebani izin tambang.
“Ada 80 spesies endemik pulau yang berpotensi terdampak aktivitas tambang. Ada di sekitar 20 pulau, contohnya di Sulawesi, itu merujuk pada Pulau Kabaena, Pulau Mamiang, dan Pulau Wawonii. Ada 18 spesies endemis di Sulawesi,” kata Ridha.
Ridha menaruh perhatian penting terhadap Pulau Sangihe. Sebab, selain merupakan pulau kecil terluar, pulau ini juga merupakan rumah bagi 9 spesies endemik.
Ia khawatir, aktivitas tambang di pulau itu akan berdampak pada kehidupan spesies burung endemik di sana. Salah satu burung yang akan diperkirakan terdampak aktivitas tambang di Pulau Sangihe adalah burung madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei). Alasannya karena jenis burung ini memiliki preferensi habitat yang luas.
Tak hanya burung madu sangihe saja. Ada pula seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi) yang juga berada dalam ancaman dampak tambang. Ridha mengatakan, habitat burung berkicau ini hanya terbatas di Gunung Sahendaruman, di Pulau Sangihe saja.
Peta memperlihatkan areal KK PT Tambang Mas Sangihe, di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Sumber: Auriga Nusantara.
Sementara itu, dilihat dari peta yang disediakan Minerba One Map Indonesia (MOMI), Gunung Sahendaruman berada di dalam areal Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe. Perusahaan ini memiliki luas izin sekitar 42 ribu hektare, dengan komoditas tambang berupa emas, tembaga dan LDS.
“Burung Indonesia punya program di sana, di Gunung Sahendaruman. Gunung ini adalah salah satu lansekap penting di Sulawesi. Seriwang sangihe itu hanya ada di gunung itu. Kalau habitatnya rusak, akan memperbesar potensi kepunahannya,” ujar Ridha.
Ridha menguraikan, aktivitas ekstraksi perut bumi seperti tambang, membawa risiko besar bagi spesies burung endemik. Karena jenis endemik biasanya akan sangat ketat terhadap preferensi habitatnya.
Bagi spesies endemik, lanjut Ridha, habitat merupakan tempat berlindung, tempat mencari makan sekaligus tempat berkembang biak. Umumnya, ketika habitatnya rusak dan terjadi fragmentasi, populasi burung endemik akan terbagi kemudian terisolasi. Walhasil, kemungkinan untuk beradaptasi spesies itu akan kecil, sehingga perkembangbiakan dan kemampuan bertahan hidup akan terganggu.
Ridha menjelaskan, burung endemik pulau, seperti burung madu sangihe dan seriwang sangihe, sangat rentan mengalami kepunahan. Sebab, burung-burung ini nyaris tidak memungkinkan akan melakukan perpindahan antarpulau. Sehingga, ketika habitatnya rusak atau justru hilang, burung-burung ini tak mungkin dapat mencari habitat baru di luar pulau.
“Burung-burung ini punya keterbatasan perpindahan antarpulau. Mereka punya kemampuan yang rendah dalam menyeberang. Ada ancaman angin dan lain sebagainya. Penyeberangan burung tidak ada kasus karena terbang,” ucap Ridha.
Pulau-pulau kecil tak hanya penting untuk spesies burung endemik saja, tapi juga bagi spesies burung migran. Pulau Sangihe, adalah salah satunya. Pulau ini bak stepping stone dari dan ke Filipina.
“Ketika dia (burung migran) melewati Sangihe, dia berkumpul. Yang ketika bermigrasi itu mencapai ratusan. Biasanya jenis raptor. Keberadaan hutan dan habitat burung di sana penting,” katanya.
Fenomena migrasi burung ini terjadi tiap tahun. Mereka akan bermigrasi dari benua lain di belahan bumi utara ke belahan bumi bagian selatan. Saat bumi bagian utara sedang musim dingin, burung migran akan bermigrasi ke bagian selatan bumi yang cenderung lebih hangat.
Menurut Ridha, dalam konteks pulau-pulau kecil, seperti Sangihe, biasanya relevan dengan jalur terbang laut. Saat bermigrasi melalui bentang laut yang luas—Asia bagian timur ke Sulawesi atau Kalimantan hingga ke Australia, biasanya burung-burung akan membutuhkan tempat istirahat dan tempat mencari makan, di situlah pulau-pulau kecil berperan.
“Ketika pulau itu jadi tempat singgah, ternyata rusak dan tercemar, kemungkinan burung-burung migran akan kesulitan mendapatkan makan,” katanya.
Dampak pulau kecil yang rusak bagi burung migran beragam. Yang paling signifikan adalah burung migran akan kesulitan mencapai tujuan akhir, dikarenakan saat singgah di pulau kecil yang sudah rusak, burung tidak mendapatkan energi dari makanan, sementara untuk mengeksplorasi jalur baru belum tentu membuahkan hasil.
“Atau meski mencapai tujuan akhir tapi akan sulit untuk kembali karena kesulitan mendapatkan makan di jalan,” ucapnya.
Dari sekian banyak jenis burung migran, sambung Ridha, jenis burung air paling rentan atau terpengaruh oleh aktivitas tambang. Burung-burung jenis ini akan mudah terpapar zat kimia berbahaya, bila limbah tambang mencemari air. Kalaupun tubuhnya tidak terkontaminasi bahan kimia, bahan makanan bagi burung air juga akan sulit didapat, karena lingkungan yang tercemar.
“Kalaupun berhasil kembali (ke tempat asal), burung-burung migran akan membawa partikel pencemar. Itu akan berpengaruh pada kemampuan berkembang biak,” tutur Ridha.
Rayuan Pulau Mineral
Sebelumnya, hasil analisis Auriga Nusantara menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 289 pulau kecil di Indonesia, seluas total 1,9 juta hektare, berada dalam ancaman aktivitas tambang. Sedikitnya ada 380 unit izin tambang yang membebani pulau-pulau kecil itu. Tiga di antaranya berada di Raja Ampat dan telah dicabut oleh pemerintah beberapa waktu lalu.
“Izin-izin tambang itu dipegang oleh sebanyak 325 badan usaha. Izin-izin itu tersebar setidaknya di 21 provinsi di Indonesia. Komoditas pertambangannya mulai dari pasir sampai nikel,” kata Hilman Afif, Juru Bicara Auriga Nusantara, Minggu (15/6/2025).
Hilman menuturkan, ratusan izin tambang itu memiliki luas, sesuai izinnya, sekitar 916 ribu hektare. Sekitar 388 ribu hektare di antaranya beririsan dengan atau berada di pulau-pulau kecil. Tiga pulau kecil dengan areal izin tambang terluas yakni Pulau Harapan seluas 107 ribu hektare, Pulau Mangoli 83 ribu hektare, dan Pulau Kabaena 36 ribu hektare.
“Dari sekian banyak pulau-pulau kecil yang dibebani izin tambang itu, sebanyak 256 pulau masuk dalam kategori pulau sangat kecil. Pulau sangat kecil ini luasnya di bawah 10 ribu hektare,” ujar Hilman.