Baku Tipu Pemerintah Demi Kebun Merauke
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat Adat
Senin, 30 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dalam ingatan Yasinta Moiwend, perampasan tanah leluhurnya bermula pada Juni 2024. Perempuan 60 tahun dari suku Marind-Anim ini mengatakan orang-orang di kampungnya mendengar kedatangan kapal pesiar di perairan laut Wogikel, Distrik Ilwayab, Merauke.
“Kami kaget saat pagi-pagi sudah ada kapal di pelabuhan kami. Kami bertanya-tanya kenapa ada kapal datang. Setelah kami mendengar dari Merauke, ada demo penolakan di kantor DPR, kami baru tahu kalau PSN hadir di Merauke,” ujarnya dalam sebuah dialog media di Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Menurut catatan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, kapal tersebut milik konglomerat dari Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Pusaka menyebut, PT Jhonlin Group, perusahaan swasta milik Haji Isam, berperan dalam proses pembukaan hutan alami di Merauke untuk pengembangan proyek strategis nasional (PSN) lumbung pangan dan bioetanol dengan luas total 2 juta hektare.
Proyek tersebut mengorbankan kampung-kampung suku asli Merauke yang telah hidup dan bergantung pada hutan leluhurnya secara turun-temurun. Rumah Yasinta di Kampung Wanam di Distrik Ilwayab pun telah digusur. Wilayah adat suku Marind-Anim yang mencakup hutan, kebun, hingga tempat keramat, hilang oleh roda ekskavator.

“Kami kehilangan semuanya. Kehilangan alam, kehilangan hewan, kehilangan air. Ikan sudah tidak ada lagi, hewan-hewan seperti rusa, babi, kanguru, kasuari sudah lari jauh, tidak tahu ke mana,” kata Yasinta.
Kabupaten Merauke adalah rumah bagi suku asli Papua seperti Yeinan, Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Suku-suku ini memiliki relasi yang dalam dengan tanah leluhur dan bergantung pada makanan dan praktik tradisionalnya, termasuk situs keramat, dusun, kebun buah-buahan, rawa, dan hutan, yang merupakan bagian integral dari identitas budaya dan spiritual mereka.
Menurut badan PBB di bidang HAM, Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), PSN Merauke akan berdampak secara langsung pada lebih dari 40 masyarakat Yeinan dan Malind – 80% dari populasi masyarakat adat Papua di Merauke.
Sejak Mei 2024, proyek tersebut telah menghilangkan lebih dari 6.000 hektare hutan untuk pengembangan dan penanaman.
Sebagai catatan, PSN Merauke rencananya akan mencakup lebih dari dua juta hektare, yang terdiri atas lima klaster, dan tersebar di 13 distrik. Menurut data dalam dokumen cetak biru pengembangan kawasan sentra produksi pangan (KSPP) Kementerian Pertanian pada Desember 2024, rencana pengembangan lumbung pangan memiliki luas sekitar 1,1 juta hektare. Yang meliputi enam distrik: Ilwayab, Kaptel, Kimaam, Ngguti, Okaba, dan Tubang.
Sementara itu proyek swasembada gula dan bioetanol dikuasai 10 perusahaan, dengan total luas 563.661 hektare. Delapan distrik yang terdampak di antaranya Tanah Miring, Kurik, Animba, Jagebob, Elikobel, Malind, Muting dan Ulilin.
Menurut Direktur LBH Papua Pos Merauke, Johnny Teddy Wakum, Solidaritas Merauke baru saja menerima aduan dari masyarakat adat. Penggusuran wilayah masyarakat adat di Merauke akibat PSN Merauke terus berlangsung hingga kini.
“Kemarin 75 keluarga datang mengadu kepada Solidaritas Merauke. Mereka terancam digusur, yang tercatat memiliki kepemilikan sejak tahun 1990. Bisa dibayangkan berapa ratus orang yang akan tergusur,” katanya.
Dalam setahun terakhir, LBH Papua yang tergabung dalam Solidaritas Merauke melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat yang terdampak proyek lumbung pangan Merauke. Teddy mencatat banyak kampung atau distrik telah terdampak, termasuk Ngguti, Muting, Okaba, Tubang, dan Ilwayab.
“Dari pendampingan kami, masyarakat adat tidak tahu menahu soal informasi proyek ini, investasinya apa. Tetapi tanah mereka dirampas. Karena itu hari ini kita kembali sampaikan ke publik bahwa terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia di Merauke,” kata Teddy.
Pelanggaran HAM dalam surat pelapor khusus PBB
Dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan akibat PSN lumbung pangan Merauke tercantum dalam surat sembilan pelapor khusus PBB kepada pemerintah Indonesia. Bertanggal 7 Maret 2025, surat ini juga ditujukan kepada PT Global Papua Abadi dan anak perusahaannya PT Murni Nusantara Mandiri. Kedua perusahaan ini masing-masing mengelola konsesi seluas 30.777 hektare dan 52.395 hektare di Merauke, menurut catatan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Dalam dokumen yang diunggah di situs resmi OHCHR. “Proyek-proyek ini dilaporkan telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat yang terkena dampak atas pangan, air, kesehatan, lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan serta hak-hak budaya, dan perempuan dan anak-anak menjadi sangat rentan terhadap dampaknya.”
“Selain itu, masyarakat adat dilaporkan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi, dengan tingginya kehadiran personel militer di wilayah tersebut yang mendukung perusahaan dalam pembukaan lahan hutan. Tokoh adat dan tokoh masyarakat, serta pembela hak asasi manusia di bidang lingkungan hidup, terus menghadapi ancaman dan kriminalisasi karena melakukan advokasi untuk hak-hak mereka.”
“Selain laporan mengenai kurangnya analisa dampak lingkungan untuk proyek itu sendiri, masyarakat adat juga tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan, dan tanah adat mereka diduga telah dirampas tanpa konsultasi terlebih dulu.”
Pelapor khusus PBB juga menyebut izin usaha pemanfaatan lahan dan hutan diberikan tanpa konsultasi, musyawarah, atau persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan sebelumnya (FPIC) dari masyarakat adat pemilik lahan.
Foto udara deforestasi akibat pengembangan PSN lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan. Dok. Yayasan Pusaka
PBB juga mencantumkan respons pemerintah Indonesia, bertanggal 6 Mei 2025, yang menyatakan: “Pemerintah telah memulai dialog inklusif dengan masyarakat lokal yang terkena dampak proyek dan mendorong mereka untuk melaporkan dugaan intimidasi atau kekerasan, didukung oleh data atau bukti yang dapat diverifikasi, agar pihak berwenang terkait dapat menindaklanjuti dengan penyelidikan dan tindakan perbaikan yang tepat.”
Namun apa yang dialami Vincen Kwipalo berlawanan dengan pernyataan tersebut. Vincen, yang berasal dari suku Yei dan tinggal di Kampung Domande di Distrik Malind, mengaku terkena dampak dari proyek tersebut. “Di kampung saya ada satu sungai kecil, dan kita selalu cari makan, pancing di situ, ambil air di situ. Sekarang air yang jernih berubah coklat,” tutur Vincen.
Vincen kini harus menyaksikan pembalakan hutan besar-besaran akibat PSN Merauke. “Kalau pemerintah bilang pernah ada sosialisasi, saya kaget karena kami tidak pernah mengalaminya. Yang sebenarnya terjadi, tanah marga kami diambil marga lain dan dipakai untuk pembangunan kodam. Pohon jati kami juga dirubuhkan.”
“Pemerintah menipu dunia, kami berharap PBB turun ke Papua biar mereka lihat sendiri.”
Mama Yasinta pun mengaku tidak pernah menerima sosialisasi dari perusahaan ataupun dimintai persetujuan perihal proyek yang mencaplok tanah adatnya. “Kami juga palang sesuai adat dan budaya kami. Kami gosok lumpur putih itu tanda duka. Tapi perusahaan dan pemda tidak peduli dan tanggapi suara masyarakat. Mereka malah datangkan 300 ekskavator untuk menggusur hutan kami,” tuturnya.
Dus, Yasinta gusar saat mendengar klaim pemerintah, yang menyatakan telah melakukan sosialisasi ataupun dialog kepada masyarakat adat di Merauke. “Tidak pernah ada itu, buat saya itu baku tipu.”
"Kami tetap menolak PSN, dan kembalikan tanah kami," kata Yasinta.
Masyarakat adat Merauke memegang kertas bertuliskan penolakan terhadap PSN Merauke di tanah adat mereka. Dok. Pusaka
Respons masyarakat sipil
Masyarakat adat dan jaringan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Merauke juga mengkritisi klaim pemerintah Indonesia terhadap permintaan klarifikasi PBB.
Dorthea Wabiser, peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan bagian dari Solidaritas Merauke, menilai tanggapan pemerintah Indonesia terhadap surat pelapor khusus PBB tidak menjawab permintaan klarifikasi tentang PSN Merauke. “Tanggapan pemerintah tidak benar-benar membahas tentang PSN.”
Kartini Samon, koordinator organisasi nonprofit untuk petani kecil GRAIN mengatakan, respons pemerintah hanya seputar perizinan PSN Merauke yang dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Di sisi lain Kartini menilai pemerintah abai pada persoalan utama yang diangkat oleh sembilan pelapor khusus PBB tersebut. “Mereka melihat adanya dugaan pelanggaran HAM yang luas, mulai dari kehilangan sumber pangan, kerusakan ruang hidup, akses perempuan dan anak terhadap sumber penghidupan, air, sanitasi, termasuk pembela HAM,” katanya.
“Pemerintah juga menulis bahwa ada pengakuan terhadap hutan adat, tetapi memberikan contoh yang ada di Jayapura. Jadi seperti tidak nyambung apa yang ditanyakan dan apa yang ditanggapi,” katanya.
“Kami mendesak pelapor khusus PBB melakukan pemantauan secara langsung terhadap informasi pelanggaran HAM yang mereka miliki, agar mereka bisa melihat langsung apa yang terjadi di Merauke yang menjadi lokasi food estate baru ini,” ujar Kartini.
Sementara itu Teddy mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi keterlibatan militer dalam pengembangan proyek tersebut. “Saya secara khusus mendesak Presiden Prabowo mengevaluasi pendekatan militer dalam PSN. Sekalipun ada klaim masyarakat tidak melakukan pelaporan, tetapi faktanya, banyaknya aparat militer di salah satu desa membuat masyarakat takut secara psikis.”
Pembukaan lahan menggunakan buldoser di area PSN lumbung pangan dan bioetanol di Merauke, Papua Selatan. Dok. Pusaka