Indonesia Warga Sachetan!

Penulis : Gilang Helindro

Sampah

Sabtu, 28 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) merilis temuan hasil riset tiga tahun bertajuk Sensus Sampah Plastik yang dilakukan di 32 provinsi. Riset ini membongkar sumber utama pencemaran sungai dan laut di Indonesia, serta menyebutkan nama-nama perusahaan produsen barang konsumsi yang paling banyak menyumbang limbah plastik.

Dalam peluncuran buku Sensus Sampah Plastik: Mengungkap Fakta, Menggerakkan Aksi di Riset Center Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan disiarkan secara virtual Kamis, 26 Juni 2025. Koordinator Riset BRUIN M Kholid Basyaiban menyampaikan bahwa dari 2022 hingga 2024 timnya berhasil mengumpulkan 76.999 potong sampah plastik dari 35 sungai di 49 kota/kabupaten dan 40 titik ekosistem mangrove.

“Problematika saat ini, hampir semua sungai terbanjiri oleh sampah plastik,” ujar Kholid dikutip Kamis, 26 Juni 2025. Kholid menambahkan, sebagian besar pencemaran berasal dari kemasan sekali pakai seperti sachet dan styrofoam yang banyak digunakan masyarakat berpenghasilan rendah di negara berkembang.

BRUIN mencatat bahwa secara global, laut telah menampung sekitar 150 juta ton sampah plastik. Di Indonesia sendiri, produksi sampah plastik mencapai 3,2 juta ton per tahun, dengan industri makanan dan minuman (FMCG) menyumbang hampir 60 persen dari jumlah tersebut.

Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Foto: Istimewa/Falahi Mubarok

Melalui riset kolaboratif bersama 167 mitra dari kalangan akademisi, mahasiswa, hingga pemerintah, BRUIN menggunakan metode transek, identifikasi merek, tipe produk, serta lapisan plastik untuk memetakan sumber pencemaran secara rinci. Buku tersebut juga mengungkap 10 perusahaan consumer goods yang menjadi pencemar plastik terbesar di kawasan perairan Indonesia, terutama produsen minuman, sabun cuci, mie instan, dan bumbu dapur. “Ada lima brand yang paling banyak kita temukan,” ungkap Kholid.

Riset ini juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan pengelolaan sampah oleh perusahaan, meski Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 dan PP Nomor 22 Tahun 2021 telah mewajibkan produsen mengelola limbah pasca-produksi. Target pengurangan 30 persen material plastik oleh produsen juga disebut tidak tercapai.

Minimnya infrastruktur pengelolaan sampah seperti bank sampah dan lemahnya peraturan daerah turut memperparah krisis sampah plastik. “Keterbatasan bank sampah menjadi salah satu masalah krusial yang belum tersentuh,” tambah Kholid.

Prigi Arisandi peneliti senior dan juga Founder Ecoton, mengatakan sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk dan menempatkan Indonesia sebagai negara pencemar plastik kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.

“Paling banyak penyumbangnya adalah sampah sachet,” kata Prigi. Ia juga mengkritik masih minimnya kepedulian pemerintah daerah terhadap persoalan plastik, karena tidak semua memiliki perda khusus pembatasan atau pengelolaan sampah.

Meski demikian, Prigi mengapresiasi langkah BRUIN yang dinilai penting dalam mendorong kebijakan dan kesadaran publik berbasis riset. “Saya sangat mengapresiasi BRUIN atas peluncuran buku ini,” ungkapnya.

BRUIN berharap perusahaan lebih bertanggung jawab terhadap limbah yang mereka hasilkan dan masyarakat semakin sadar pentingnya pengelolaan sampah plastik demi menjaga keberlanjutan ekosistem perairan Indonesia.