Roadmap Pengurangan Sampah oleh Produsen: 6 Tahun Tak Ke Manapun

Penulis : Gilang Helindro

Sampah

Jumat, 04 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Enam tahun setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, pelaksanaan kebijakan tersebut dinilai masih jauh dari harapan. Greenpeace Indonesia menyoroti lemahnya penegakan hukum, minimnya target sistem guna ulang, dan rendahnya komitmen produsen dalam mengurangi kemasan plastik sekali pakai.

Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, mengatakan bahwa krisis plastik tidak bisa terus diatasi dengan solusi tambal-sulam di hilir. Menurutnya, akar persoalan terletak di hulu, yaitu pada produksi plastik sekali pakai yang terus meningkat. “Saatnya industri mengambil tanggung jawab penuh dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan berkelanjutan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu 2 Juli 2025.

Data World Bank 2021 mencatat Indonesia menghasilkan 7,8 juta ton sampah plastik per tahun, dengan 4,9 juta ton tidak tertangani dengan baik. Sekitar 83 persen dari sampah plastik yang mencemari laut berasal dari aliran sungai, sementara sisanya langsung berasal dari wilayah pesisir.

Greenpeace mendesak penguatan skema Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen tidak lagi lepas tangan dalam pengelolaan sampah dari produk mereka. Dalam skema ini, tanggung jawab produsen mencakup seluruh siklus produk dari desain, distribusi, hingga pengelolaan pascakonsumsi. “Tanpa transparansi dan sanksi nyata, peta jalan pengurangan sampah hanya akan menjadi janji kosong di atas kertas,” tambah Ibar.

Greenpeace Indonesia menggelar aksi bersih pantai (Beach Clean Up) dan Brand Audit di Pantai Loang Baloq, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 29 Oktober 2022 lalu. Foto: Greenpeace

Greenpeace juga mendorong KLHK untuk memperkuat implementasi Permen LHK No. 75 Tahun 2019. Dalam audiensi bersama kementerian, Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLHK, Agus Rusly, mengakui bahwa pelaksanaan aturan tersebut masih menghadapi kendala. Salah satu hambatannya, menurut Agus, adalah persepsi sebagian produsen bahwa KLHK tidak memiliki otoritas untuk mengatur industri.

“KLHK tidak hanya mempertimbangkan aspek ekologis, tetapi juga dampak sosial dari kebijakan. Sektor lingkungan harus bersinergi dengan sektor perdagangan, industri, dan sosial agar kebijakan pengurangan sampah berjalan efektif,” ujar Agus seperti dikutip dari laporan Greenpeace Indonesia.

Greenpeace menekankan bahwa solusi guna ulang dapat menjadi langkah strategis untuk menggantikan kemasan sekali pakai seperti sachet dan pouch. Riset Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) 2024 memperkirakan bahwa sistem guna ulang yang didukung oleh infrastruktur dan kebijakan yang tepat dapat menciptakan nilai ekonomi bersih sebesar Rp 1,5 triliun pada 2030.

Selain itu, riset Bappenas bersama UNDP dan Kedutaan Besar Denmark menunjukkan bahwa ekonomi guna ulang dapat menciptakan hingga 4,4 juta lapangan kerja bersih selama 2021–2030, dengan 75 persen peluangnya berpotensi diisi oleh perempuan.

“Kita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” tegas Ibar.

Greenpeace menyatakan bahwa penyelesaian krisis sampah plastik memerlukan kolaborasi nyata antara pemerintah, sektor industri, dan masyarakat sipil agar kebijakan yang dihasilkan adil dan berkelanjutan.