Hujan Kritik atas Revisi Undang-Undang Kehutanan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Sabtu, 12 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) yang tengah dibahas DPR RI dianggap sebagai momen penting untuk mengakhiri warisan kolonial dalam tata kelola hutan Indonesia. Sejumlah pengamat menilai, sudah saatnya Indonesia meninggalkan paradigma lama yang memandang hutan sebagai komoditas negara semata.
Menurut para pengamat, Undang-Undang (UU) Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sudah tidak lagi relevan menghadapi kompleksitas dan konflik kehutanan saat ini. Pakar Kehutanan bahkan menyebut UUK bias daratan dan tidak memiliki perspektif pulau-pulau kecil (kepulauan).
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Difa Shafira, mengatakan pokok materi revisi UUK yang digulirkan oleh Badan Keahlian DPR RI dan Panja RUUK Komisi IV tidak menjawab masalah substansial dan masih mempertahankan pendekatan negara-sentris. Menurutnya, deforestasi atau kehilangan hutan alam seharusnya dapat dicegah dengan memperkuat sistem pemantauan dan penegakan hukum.
Lebih lanjut ia mengatakan, UUK harus menjadi safe guarding atas kekayaan sumber daya alam Indonesia. Fungsi hutan seharusnya hanya mengatur fungsi hutan pokok dan fungsi hutan cadangan untuk dipulihkan.
“Ini penting karena Indonesia punya komitmen di tingkat global untuk menekan laju deforestasi, yakni National Determined Contribution,” kata Difa, dalam sebuah keterangan tertulis, 11 Juli 2025.
Akademisi Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona, mengatakan dekolonisasi hutan mensyaratkan perubahan cara pandang, dari negara sebagai pengelola utama menjadi rakyat sebagai pilar utama. Baginya, rule of law kehutanan harus berlandaskan keadilan sosial dan ekologis, bukan sekadar legalisasi kontrol negara.
Yance menilai, UUK bertentangan dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria (UUPA). UUPA secara tegas membongkar asas domein verklaring—doktrin kolonial yang mengklaim tanah tak berpemilik sebagai milik negara. UUPA juga menawarkan pandangan holistik yang mencakup tanah, air, ruang angkasa, dan isi bumi, serta menghubungkan manusia dengan ruang hidupnya.
“Sebaliknya, UUK memisahkan masyarakat adat dari tanahnya melalui pengaturan status hak,” ujarnya.
Kiagus M. Iqbal dari Sajogyo Institute menambahkan, UUPA tidak melihat alam sebagai sekadar sumber daya teknokratis, tetapi sebagai sumber-sumber agraria (SSA) yang merepresentasikan hubungan sosial, ekologis, dan kultural antara manusia dan lingkungan. UUPA tidak hanya mengatur soal kepemilikan, tapi juga relasi antarmanusia dalam pengelolaan SSA. Ia mempertanyakan kenapa asas domein verklaring masih digunakan dalam UUK.
“Asas ini adalah cara kolonial merampas tanah rakyat. Bagaimana mungkin tetap digunakan di era kemerdekaan?” kata Kiagus.
Erwin Dwi Kristianto dari HuMa juga ikut mengkritik konsep Hak Menguasai Negara, yang justru melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat. Menurutnya, konsep ini memperkuat asas kolonial. Padahal, banyak wilayah yang tidak pernah dikuasai raja maupun negara.
“UUK seharusnya tidak mengatur penguasaan negara atas hutan, tapi fungsi ekologis hutan yang harus dilindungi. Bukan justru hutan untuk dibagi-bagi dan dieksploitasi,” ucap Erwin.
Pendapat lainnya datang dari Mohamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan dari Yayasan Kehati. Burhanudin menyebut revisi UUK menjadi momentum penting untuk mengubah paradigma hukum menuju keadilan ekologis. Hutan, katanya, harus dipandang sebagai bagian penting dari sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar objek produksi.
Pendekatan hukum yang baru harus mengakui peran masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem. Mereka memiliki pengetahuan dan praktik hidup yang lebih selaras dengan alam.
“Mengintegrasikan ecological law dalam revisi UU Kehutanan akan memastikan hutan dikelola untuk keberlanjutan, bukan untuk pertumbuhan jangka pendek,” ujarnya.
Menurut Burhanudin, sejauh ini masyarakat adat masih sangat sulit terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait wilayahnya sebagai ruang hidup. Burhanudin berharap Revisi UU Kehutanan bisa menjadi instrumen membongkar kekuasaan tertutup tersebut dan membuka ruang partisipasi aktif bagi masyarakat adat dalam tata kelola hutan.
Ia juga menyoroti bahwa tata kelola sektor kehutanan menghadapi masalah serius dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Praktik perizinan yang koruptif, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan, serta absennya mekanisme partisipatif yang bermakna dalam proses pengambilan keputusan menjadi persoalan laten yang memperburuk kondisi hutan Indonesia.
“Kasus-kasus tumpang tindih izin, penerbitan izin di kawasan rawan bencana, hingga lemahnya pengawasan atas korporasi besar menunjukkan bahwa tata kelola sektor kehutanan belum berpihak pada keberlanjutan dan keadilan,” ujarnya.
Martua T. Sirait dari Samdhana Institute, mempertanyakan bagaimana semangat dekolonisasi bisa dijalankan dalam UUK. Ia menekankan pentingnya perubahan paradigma yang tidak sekadar menjadi tambal sulam. UUK baru, menurutnya, harus secara eksplisit menjabarkan asas-asas yang mendasari, termasuk jaminan keterbukaan informasi, terutama dalam proses penetapan kawasan hutan—pihak yang menandatangani berita acara tata batas, dan bagaimana masyarakat bisa mengakses dokumen tersebut.
Martua bilang, perencanaan hutan adalah kunci. Selama ini, penjabaran UUK hanya menggunakan pendekatan teknis administratif, mengabaikan aspek sosial, yang jelas di amanatkan dalam UUK.
Ia mencontohkan, belum dijalankannya inventarisasi hutan secara sosial budaya melalui survei etnografi dll sebagai basis penunjukan kawasan hutan, penandatanganan berita acara tata batas kawasan hutan dilakukan sepihak, pendekatan etnografis diperlukan agar perencanaan mencerminkan realitas sosial dan menjadi pijakan penyelesaian konflik batas kawasan.
“Meski proses pengukuhan kawasan hutan selesai secara teknis administratif, kawasan hutan ini seringkali tidak mendapat legitimasi sosial dari masyarakat sekitar, sehingga tidak memberikan dasar bagi pengelolaan hutan yang adil dan lestari,” ucapnya.
O.Z.S. Tihurua dari KORA Maluku berbagi cerita ketika masyarakat tempat tinggalnya kaget saat tapal batas kawasan hutan dipasang pada 2020–2022 di rumah-rumah, kebun-kebun, dan hutan-hutan. Dia bilang, selama sosialisasi, masyarakat hanya diajak bicara soal taman nasional, bukan status keseluruhan kawasan.
Dia bilang, penunjukan kawasan pada hutan lindung dan produksi sudah dilakukan serentak pada era 1980–1990-an. Namun pada 2020-an, masyarakat baru sadar bahwa hutan yang telah lama mereka kelola masuk ke kawasan hutan negara.
“Dan sekarang mereka harus kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan,” ucap Tihurua.
Guru Besar Universitas Pattimura, Agustinus Kastanya, menuturkan bagi masyarakat adat di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua, UUK merupakan ancaman atas hutan, sumber-sumber pangan dan air masyarakat adat. Ia menjelaskan, UUK membuka jalan eksploitasi bagi korporasi-korporasi, baik itu konsesi kehutanan, pertambangan, bahkan perkebunan.
“Padahal kita hidup di kepulauan, yang memiliki daerah aliran sungai yang pendek-pendek dan sempit. Karakter dan topografinya sangat berbeda dengan pulau besar. Mengelola pulau kecil harus penuh dengan kehati-hatian dan tidak bisa disamakan dengan pulau besar di tengah dampak besar perubahan iklim, dan kehilangan biodiversitas,” kata Agustinus.
Juru Kampanye dari Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, berpendapat bahwa UUK harus berubah secara total menjadi UUK yang baru karena telah memenuhi seluruh aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis. UUK yang baru merupakan jawaban komprehensif atas persoalan tata kelola hutan saat ini.
“DPR RI dan Pemerintah harus terbuka atas segala jenis kritik terhadap bisnis kawasan hutan yang nyatanya tidak berkontribusi banyak terhadap Produk Domestik Bruto. Sub Sektor Kehutanan menyumbang paling kecil meski dampaknya paling luas,” ucapnya.