UU Antideforestasi Uni Eropa Bahayakan Hutan Papua
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Rabu, 16 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Keputusan terbaru Uni Eropa terkait daftar negara berisiko tinggi menuai kritik dari penggiat hutan Indonesia. Pasalnya kebijakan tersebut dinilai mengabaikan kompleksitas risiko deforestasi dalam sebuah negara.
Dalam penilaian risiko deforestasi, Undang-Undang Anti-Deforestasi Terbaru Uni Eropa (EUDR) menetapkan Belarus, Korea Utara, Myanmar, dan Rusia sebagai negara berisiko tinggi. Sementara itu Indonesia masuk dalam kategori berisiko standar.
“Penilaian risiko (country benchmarking) yang digunakan Uni Eropa dalam implementasi EUDR berisiko mengabaikan kompleksitas risiko deforestasi yang sangat berbeda antar wilayah dalam satu negara. Dalam konteks Indonesia, misalnya, wilayah Papua menghadapi tekanan deforestasi yang sangat tinggi akibat ekspansi perkebunan dan konsesi skala besar, termasuk dalam rantai pasok kelapa sawit,” kata Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, Senin 14 Juli 2025.
Beberapa tahun terakhir deforestasi di Tanah Papua konsisten terjadi. Data Hansen Global Forest Change versi 1.12 mencatat, Bumi Cenderawasih kehilangan tutupan hutan seluas 76.079 hektare dalam rentang waktu 2021-2024. Deforestasi tertinggi terjadi pada 2022, dengan luas 21.397 hektare. Disusul kehilangan hutan seluas 19.655 hektare pada 2024.

Risiko deforestasi di Tanah Papua juga dikhawatirkan meluas pada tahun-tahun mendatang, menyusul kebijakan dan program pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Salah satunya proyek strategis nasional lumbung pangan dan energi Merauke dengan luas lebih dari dua juta hektare.
Menurut Andi, benchmarking EUDR seharusnya mampu menjadi salah satu langkah untuk melindungi sekitar satu juta hektare hutan alam di Papua dari ekstraksi perkebunan sawit.
Penilaian risiko yang adil untuk Indonesia: subnasional dan per komoditas
Kajian sejumlah organisasi masyarakat sipil pada 2024 mengungkap, penegakan hukum dan pengaturan atas konflik lahan, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi tidak bisa dipisahkan dari penilaian benchmarking EUDR. Pasalnya isu-isu itu dinilai mempercepat laju deforestasi di Indonesia. “Prekondisi ini penting untuk memastikan pendekatan yang tepat untuk memastikan akuntabilitas,” kata Andi.
Selain itu, parlemen Uni Eropa juga harus mempertimbangkan adanya perbedaan laju dan proyeksi deforestasi antar provinsi di Indonesia, di mana sejumlah provinsi mengalami angka yang lebih tinggi. Memasukkan perbedaan antar provinsi tersebut akan memungkinkan penilaian masalah tata kelola yang lebih akurat. Andi mengatakan, tolok ukur subnasional ini juga mendorong sistem yang transparan dan mudah dipantau oleh masyarakat umum, serta menghindari keterlambatan pada pengumpulan data terpusat.
Selain itu, Competent Authorities diminta mempertimbangkan tiga provinsi yang menempati posisi teratas dalam deforestasi hutan primer setelah tanggal batas akhir (2021 hingga 2022), yakni: Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara.
“Meskipun kami yakin bahwa hasil benchmarking tersebut tidak mencerminkan situasi di lapangan, kami tetap berharap Komisi Uni Eropa dapat mempertimbangkan aspek deforestasi dan legalitas,” jelas Andi.
Selain itu, tolok ukur harus dibuat berdasarkan komoditas yang spesifik, karena laju perluasan perkebunan karet, kopi, dan cokelat jauh lebih rendah dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Supaya adil, produsen komoditas yang berbeda tidak dapat diperlakukan dengan sama rata.
Andi mengatakan, Uni Eropa harus mengevaluasi pendekatan benchmarking EUDR. Penilaian risiko deforestasi juga harus berbasis pada data objektif terkait dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang telah disuarakan oleh puluhan organisasi masyarakat sipil sebelumnya.
“Kami mengajak Uni Eropa untuk membuka ruang dialog lebih luas dengan masyarakat sipil dari negara-negara penghasil komoditas, termasuk Indonesia, agar pelaksanaan EUDR benar-benar mendorong praktik produksi berkelanjutan yang transparan, adil, dan tidak meninggalkan wilayah yang sedang berada dalam ancaman krisis ekologis seperti Papua,” ujarnya.