Jika Transportasi Umum Naik 40%, Emisi Turun 101 Juta Ton
Penulis : Kennial Laia
Iklim
Selasa, 15 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Strategi mobilitas yang berkelanjutan dan terpadu dinilai dapat menekan emisi sektor transportasi hingga 76 persen. Sementara itu tanpa strategi dan perencanaan yang baik, Indonesia dipastikan menghadapi lonjakan emisi gas rumah kaca serta peningkatan konsumsi bahan bakar minyak, menurut laporan terbaru.
Menurut laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR), pendekatan terpadu dinilai mampu menekan emisi sektor transportasi hingga 76 persen, dari 561 juta ton setara karbon dioksida menjadi 117 juta ton setara karbon dioksida pada 2060.
Laporan tersebut, yang diluncurkan Senin, 14 Juli 2025, mengusulkan strategi Avoid-Shift-Improve atau ASI, yakni dengan pendekatan mengurangi mobilitas (avoid), mengalihkan ke moda transportasi rendah emisi (shift), dan meningkatkan teknologi dan efisiensi (improve).
Chief executive officer IESR Fabby Tumiwa mengatakan, ketiga strategi harus dijalankan secara konsisten dan bersamaan. Menurut dia, emisi dari sektor transportasi menyumbang 202 juta ton setara karbon dioksida atau sekitar 25 persen dari total emisi sektor energi nasional pada 2024. Tanpa upaya serius, emisi ini dapat meningkat hampir tiga kali lipat pada 2060.

“Dari hasil pemodelan kami, pada 2050 jarak tempuh per kapita diperkirakan melonjak hingga dua kali lipat. Tanpa strategi dekarbonisasi sektor transportasi, lonjakan ini akan memperburuk kemacetan, kenaikan impor bahan bakar minyak, dan polusi udara yang memperparah krisis kesehatan dan beban fiskal,” kata Fabby.
Sebagai catatan, 24 persen emisi tersisa berasal dari transportasi barang yang belum dilakukan intervensi khusus dalam kajian ini. Peningkatan pangsa transportasi umum hingga 40 persen berkontribusi paling besar dengan potensi pengurangan emisi sebesar 101 juta ton. Sementara itu adopsi kendaraan listrik hingga 66 juta mobil dan 143 juta motor diperkirakan menurunkan emisi hingga 210 juta ton pada tahun yang sama.
Laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025 mengidentifikasi 80 persen emisi dari sektor transportasi berasal dari subsektor transportasi jalan. Kondisi ini dipicu oleh tingginya mobilitas dengan mobil penumpang pribadi, angkutan barang, dan sepeda motor. Akibatnya, emisi dari transportasi jalan didominasi oleh mobil (35%), diikuti angkutan barang (30%), sepeda motor (28%), dan bus (6%).
Di sisi lain, survei Badan Pusat Statistik (BPS) pengguna jalan pada 2023 mencatat, mayoritas pengguna memilih motor karena dianggap lebih cepat dan andal. Sementara 42 persen pengguna mobil mementingkan kenyamanan. Studi lain juga menunjukkan, ketika penghasilan seseorang meningkat di atas Rp 4 juta per bulan, penggunaan sepeda motor dan transportasi umum justru menurun, sedangkan penggunaan mobil pribadi meningkat.
“Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, transportasi umum masih belum menjadi pilihan yang menarik. Para komuter atau mereka yang rutin bepergian ke tempat kerja memandang keterbatasan akses, waktu tempuh yang tidak menentu, dan keterlambatan menjadi faktor yang membuat mereka enggan menggunakan kendaraan umum,” ujar Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham R F Surya.
Ilham mengatakan, implementasi tiga strategi tersebut harus inklusif dan berkeadilan. Di antaranya pengembangan kota yang terintegrasi dengan transportasi publik untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh. Selain itu, manajemen perjalanan juga perlu, melalui kombinasi kebijakan hari bebas kendaraan, sistem ganjil-genap, congestion pricing, dan kebijakan kerja dari rumah.
Sementara, pemerintah juga perlu mendorong perluasan dan peningkatan layanan transportasi publik, seperti bus raya terpadu TransJakarta. Perluasan infrastruktur transportasi di luar Pulau Jawa juga penting untuk mengurangi ketimpangan akses, seperti dengan memperluas jaringan kereta dan bus raya terpadu di kota-kota lain.
Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR, Faris Adnan Padhilah menyebut implementasi ketiga strategi ini berpotensi menurunkan emisi puncak pada 2030 sebesar 18 persen, dari 201 juta ton ke 164 juta ton karbon dioksida. Penerapannya yang konsisten dapat mempercepat pencapaian emisi nol di sektor transportasi pada 2060 atau lebih cepat.
“Implementasi pendekatan dan strategi ASI secara bersamaan akan memberikan dampak positif, seperti mengurangi kendaraan pribadi, mendorong transportasi publik, menekan konsumsi bahan bakar fosil, dan mempercepat adopsi teknologi rendah emisi,” katanya.