RUU Kehutanan: Forum Dialog Konservasi Ajukan 5 Agenda ke DPR
Penulis : Yosep Suprayogi
Hutan
Selasa, 15 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) mendorong lima agenda strategis tata kelola hutan Indonesia dalam revisi UU 41/1999 tentang Kehutanan. Lima agenda strategis ini diharapkan dapat menjadi awal perubahan paradigmatik dan progresif dalam penyelenggaraan kehutanan. "Selama ini (penyelenggaraan kehutanan) jauh lebih bernuansa produksi dan eksploitasi daripada perlindungan hutan sebagai penyangga kehidupan," kata Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI Muhamad Burhanudin, yang mewakili FDKI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi IV DPR RI tentang revisi UU 41/1999 tentang Kehutanan, Selasa (15/07/2025).
Dalam RDPU, Burhanudin menyampaikan hasil kajian FDKI atas Matriks Uji Konsep Revisi UU Kehutanan DPR. Hasil kajian tersebut merupakan rumusan dari serangkaian Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan FDKI bersama sejumlah perwakilan Komisi IV DPR, pakar hukum dan kehutanan dari berbagai perguruan tinggi (UGM, UI, IPB University, Universitas Mataram, Universitas Pattimura), berbagai organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan, serta perwakilan masyarakat, antara Maret-Juli 2025.
“Revisi UU Kehutanan tidak bisa sekadar menambal regulasi lama. Kita membutuhkan perubahan paradigma, dari kuasa negara yang sentralistik yang lebih mengutamakan eksploitasi untuk kepentingan produksi, menuju tata kelola hutan berbasis hak masyarakat adat, prinsip keadilan ekologis, dan integritas tata kelola,” ujar Burhanudin.
Matriks Uji Konsep FDKI menggarisbawahi lima agenda perubahan utama. Perubahan pertama terkait pengakuan tegas atas hutan adat dan hak masyarakat adat, dengan penetapan status hutan menjadi hutan negara, hutan hak, dan hutan adat yang selaras dengan Putusan MK 35/2012 dan pengakuan wilayah adat berbasis fakta sosial budaya, bukan administratif semata.

Perubahan kedua tentang reklasifikasi fungsi hutan menjadi hutan permanen dan hutan dicadangkan. Hutan permanen ditetapkan secara sah, tidak dapat dikonversi, termasuk hutan adat, kawasan konservasi, dan lindung. Adapun hutan dicadangkan adalah kawasan yang belum ditetapkan permanen, dapat dialokasikan ulang secara adil dan partisipatif.
Perubahan berikutnya menyangkut penetapan ambang batas ekologis di setiap wilayah. Menurut FDKI, ambang batas minimum luas kawasan hutan minimal 30% dari luas daratan provinsi—kecuali di pulau-pulau kecil (<2.000 km2), kawasan pesisir, dan daerah aliran sungai (DAS) yang sebagian besar bahkan secara keseluruhan—kawasan berhutannya harus dilindungi. Ambang batas ini bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi, termasuk untuk kepentingan proyek strategis negara (PSN).
Keempat, perubahan dalam reformasi perizinan dan pencegahan korupsi dengan memperketat perizinan kehutanan, kewajiban untuk transparan, dan partisipatif. Izin tersebut harus bisa dicabut jika terbukti terjadi korupsi, pelanggaran ruang, atau konflik dengan masyarakat adat atau lokal. “Skema perizinan korporasi dengan perhutanan sosial juga harus dipisahkan,” sebut FDKI.
Terakhir, FDKI meminta adanya penguatan inventarisasi, data terbuka, dan partisipasi publik. Menurut FDKI, inventarisasi hutan wajib partisipatif dan melibatkan masyarakat lokal/adat, data kehutanan wajib diperbarui setiap tahun dan tersedia secara terbuka, dan harus ada sanksi administratif hingga pidana bagi instansi yang lalai memperbarui data.
Di tempat yang sama, Difa Syafira dari ICEL mengatakan, hasil kajian FDKI juga menyoroti sejumlah kelemahan dalam draft uji materi Revisi UU Kehutanan versi DPR. Salah satunya adalah narasi bahwa “seluruh hutan dikuasai oleh negara” yang bertentangan dengan Putusan MK 35/2012. Selain itu, tidak ada pembatasan pelepasan kawasan hutan di wilayah yang telah berada di bawah ambang batas ekologis.
“Draf uji materi DPR juga masih minim perlindungan hak masyarakat adat dan belum menjamin keterbukaan informasi,” ungkap Difa.
Sementara itu, Ayut Enggeliah dari Sawit Watch menambahkan, dengan 54% kawasan hutan Indonesia saat ini dialokasikan untuk fungsi produksi, lanjut dia, revisi UU Kehutanan adalah momentum koreksi besar. “Tidak cukup bicara konservasi secara normatif. Kita butuh hutan permanen yang dilindungi tegas dan perizinan yang bersih dari korupsi,” ujar Ayut.
Ayut mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik di parlemen maupun eksekutif, untuk melihat revisi UU Kehutanan sebagai langkah strategis membangun masa depan Indonesia yang adil secara ekologis. “UU Kehutanan yang baru harus dapat dijadikan sebagai pedoman baru penghormatan keadilan ekologis dan budaya dalam tata ruang kehutanan, serta menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan bangsa,” kata Ayut.
FDKI merupakan sebuah forum dialog, kajian, dan advokasi terhadap isu dan kebijakan di sektor lingkungan hidup di Indonesia. Anggota forum ini adalah Sawit Watch, Yayasan KEHATI, Garda Animalia, Yayasan Penabulu, Perkumpulan HUMA, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Oceans Justice Initiative (IOJI), Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia Parlimentary Centre (IPC), Yayasan PILI, dan Sajogjo Institute.