Mencari Sisa Surga di Teluk Weda (Bagian 2)
Penulis : April Perlindungan, Peneliti Auriga
PERJALANAN
Minggu, 27 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
GAGAL menemukan surga ikan di ring 1, kami mencari yang mungkin masih tersisa di ring 2. Kami pergi ke Sagea.
Walaupun di Sagea perlahan-lahan banyak berdiri bangunan semi permanen yang digunakan untuk lapak dagang dan jasa kos-kosan, desa induk di Kecamatan Weda Utara ini masih menunjukkan ciri khas desa pesisir, terutama dari ruangnya yang masih cukup tertata. Mengingat jaraknya hanya 10 km, di ring II kawasan IWIP, Sagea--dan tetangganya, Desa Kiya--boleh dibilang jadi “Benteng Terakhir” untuk menghadapi pencemaran tambang.
Di daratan, Sagea masih mempertahankan danau serta Goa Boki Maruru. Di sini kita bisa melihat keindahan stalaktit dan stalagmit dengan sungai bawah tanah yang jernih, khas wilayah karst.

Namun lokasi ini juga terancam. Sungainya dilaporkan telah sering keruh oleh aktivitas tambang. Hingga kini sudah terbit sekitar 6 izin Tambang di DAS Sagea, antara lain PT Harus Sukses Mineral, PT Weda Bay Nickel, PT Dharma Rosadi Internasional, PT First Pasific Mining, PT Gamping Mineral Indonesia dan PT Karunia Saga Mineral, sebagian besar izin terintegrasi dengan IWIP.
Lalu bagaimana dengan kondisi perairan Sagea?
Di sana ada Sentuli. Ia adalah lekukan pantai Sagea yang menjadi salah satu tempat tujuan para nelayan mencari ikan hingga kini, terutama bagi nelayan yang perahunya tanpa mesin. Jaraknya sekitar 2 km dari pemukiman.
Sama seperti tempat lain, sangat sulit mencari ikan dasar, sebab kondisi terumbu karang ditempat ini sudah tersedimentasi. Di Sentuli, para nelayan hanya bisa menangkap berbagai ikan permukaan yang setiap sore muncul di perairan ini.
Menuju Sentuli, tempat asal semua ikan di Sagea (Foto: Auriga)
Supriadi, aktivis Save Sagea, menjelaskan, sebelum tersedimentasi, terumbu karang di Sentuli sangat sehat. Berbagai macam ikan demersial seperti kerapu, kakap merah, kurisi begitu mudah ditemukan. Dulu para nelayan Sagea dan Kiya tidak perlu jauh–jauh mencari ikan. “Sekarang tidak berbeda dengan berbagai tempat di Teluk Weda, kita sulit mendapat ikan, terutama ikan demersial,” kata dia.
Menyoal penyebab sedimentasi, dia menuding tambang yang terintegrasi dengan IWIP sebagai sumber satu-satunya. Karena, "Tidak ada warga yang memiliki keahlian menambang atau membuka tambang ilegal," kata dia.
Mayoritas penduduk Sagea sejak lama mengandalkan hasil kebun dan perikanan sebagai pencaharian utama. Pada bulan Januari-hingga Agustus karena laut bergelombang, mereka pergi berkebun, kemudian mulai September ketika laut mulai teduh mereka pergi melaut.
Untuk mempertahankan pendapatan hasil perikanan, nelayan Sagea terpaksa menyiasatinya dengan membuat rumpon. Jarak rumpon rata-rata 10 kilometer dari garis pantai. Selain harus mengeluarkan biaya tambahan minyak menuju rumpon, biaya membuat rumpon juga tidaklah sedikit.
Hasan, nelayan Sagea menuturkan, membuat satu rumpon paling sedikit keluarkan biaya Rp3 juta. Menurutnya, di perairan Sagea saat ini terdapat 25 rumpon nelayan. Sebagian telah rusak bahkan hilang tertabrak kapal.
“Kalau tidak bangun rumpon, bisa jadi kami tidak dapat ikan,” kata Hasan.
Meski tidak separah Lelilef, pencemaran di Sagea juga dirasakan oleh para nelayan. Setidaknya, dua kilometer dari garis pantai Sagea, perairannya sudah tercemar sedimentasi yang bisa menghambat pertumbuhan bahkan merusak terumbu karang dan mangrove.
Kondisi tersebut terkonfimasi oleh data Bapeda Maluku Utara, bahwa terumbu karang di Maluku Utara seluas 107.434,2 ha sebagian besar dalam kondisi buruk. Hingga tahun 2022, Halmahera Tengah menempati urutan kedua (30%) terumbu karangnya rusak. Penyebab kerusakannya diidentifikasi akibat penangkapan ikan secara merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bom dan racun. Penyebab lainnya adalah terumbu karang sering digunakan untuk konstruksi bangunan di darat. Tidak disebutkan penyebab kerusakan lain, misalnya akibat tambang.
Menurut Dr. Abdul Motalib Angkotasan., S.Pi, M.Si, Dosen pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, sejauh ini belum ada studi mendalam soal kerusakan ekosistem esensial laut (terumbu karang) yang disebabkan oleh tambang nikel, termasuk di IWIP.
Namun, ia telah meneliti kerusakan terumbu karang oleh tambang nikel di Pulau Pakal Halmahera Timur. Menurutnya, tercatat nilai Total Suspended Solid dan Total Organic Matter yang tinggi. Kondisi ini mengancam kehidupan karang, menyebabkan perubahan habitat karena tingginya laju pertumbuhan alga akibat kelimpahan nutrien di perairan. Gambaran Pulau Pakal kondisinya bisa lebih para jika melihat eksploitasi material nikel di Weda, dilakukan secara besar besaran sejak tahun 2018.
Hal itu, diproyeksikan memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup ekosistem terumbu karang, karena perairannya mendapat tekanan dari masuknya material sedimen dari daratan. Di sisi lain, terjadi alih fungsi hutan mangrove di kawasan industri berkontribusi menurunkan peran dan fungsinya sebagai penyangga alami laju sedimentasi dari darat ke wilayah pesisir dan laut.
Jika laju industri nikel tidak bisa dihentikan, di masa depan surga ikan tersisa di Teluk Weda hanya tinggal cerita.