Darurat Mangrove: Di Jawa Barat Dipunahkan, di Banten Dimuliakan
Penulis : Tim Betahita
Lingkungan
Selasa, 29 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ingatan tentang tsunami pada 2018 belum bisa meninggalkan benak warga Banten. Aljani, warga Cigorondong, Kecamatan Sumur, Pandeglang, mengenang rumahnya yang rusak diterjang gelombang saat malam nahas itu. “Sebagian harta benda keluarga kami hilang, tak ada jejak,” kenangnya, seperti diceritakan kepada Betahita pada awal Juli lalu.
Jasiman dan Yosep mengalami nasib serupa. Kedua warga Panimbangjaya, Panimbang, itu bahkan harus menyaksikan korban jiwa bergeletakan di sepanjang jalan pasca gelombang menghantam desa-desa di pesisir Selat Sunda. Trauma itu membuat ketiganya berharap, sekaligus cemas, akan peristiwa yang sama di masa depan.
Kekhawatiran itu wajar. Desa-desa di pesisir Banten langsung menghadap ke Samudra Hindia dan Selat Sunda, lokasi Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. Kondisi geografis ini pula yang membuat wilayah tersebut rentan bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
Tidak ada satupun yang menginginkan tragedi itu terulang. Harapan ini pula yang memantik kegiatan tim peneliti Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), yang mengambil inisiatif untuk menanam dan merehabilitasi mangrove di sepanjang pesisir Banten.

“Kondisi geografis itu membuat potensi bencana, terutama tsunami, tetap ada. Artinya mitigasi perlu kita buat. Mangrove sendiri diketahui, jika kondisinya baik dengan kerapatan yang tebal, dapat mereduksi energi gelombang hingga 50-70 persen,” kata dosen dan peneliti Untirta Adi Santoso, yang juga merupakan koordinator saat inisiatif itu dimulai.
“Ketika rehabilitasi berhasil, ke depan ada sabuk-sabuk hijau pengaman pantai dari gelombang tsunami. Di sisi lain beberapa titik terjadi abrasi, pantai terkikis, laut makin mendekat area pemukiman. Ini jadi kekhawatiran masyarakat, dan ini pun menjadi bagian dari aktivitas kami,” katanya.
Untuk melaksanakan program tersebut, Untirta bekerja sama dengan Yayasan Kehati. Pertama-tama tim peneliti melakukan survei di desa-desa pesisir Banten untuk mengetahui karakteristik pesisir, sejarah ekosisten, dan titik-titik potensial untuk rehabilitasi. Cigorondong dan Panimbang–yang terdampak paling parah saat tsunami 2018–masuk daftar. Adapun Ujungjaya, yang dulunya menjadi lokasi penambangan pasir, juga masuk dalam program.
Temuan menarik lainnya, rumah-rumah warga yang minim kerusakan dari bencana ternyata dibentengi oleh mangrove. Salah satu rumah warga bernama Euis, misalnya, hanya kemasukan air tanpa kerusakan berarti. “Setelah ditelusuri, ternyata rumah Anjani ini langsung berhadapan dengan laut, sedangkan rumah Euis dilindungi oleh hutan mangrove,” kata Adi.
Warga menanam bibit mangrove di pesisir Banten. Dok. Istimewa
“Kita prihatin karena pasca tsunami Selat Sunda 2018 itu, wilayah pesisir yang tidak punya mangrove atau rusak, mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan wilayah pesisir yang punya mangrove. Ini membawa kita mengadakan program ini, dengan wilayah lokus utama pesisir selatan Sunda,” ujarnya.
Ambisi menanam 14 hektare mangrove
Setelah menentukan lokasi rehabilitasi, penanaman bibit mangrove pun dimulai pada 2022. Adi mengatakan total target awal seluas 14 hektare. Dalam proses tersebut, warga ikut terlibat dalam melakukan penanaman, perawatan, serta monitoring mangrove yang telah ditanam.
Namun pekerjaan itu tidak hanya sebatas mangrove, tim peneliti juga turut bekerja dengan mengembangkan ekonomi masyarakat, termasuk pembuatan garam, keripik dari gulma lokal yang tumbuh di mangrove bernama daun jeruju, pengembangan ekowisata dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove.
Hingga saat ini program tersebut telah berhasil menanam mangrove seluas delapan hektare. Pada 2024, target lokasi program bertambah termasuk desa Mekarsari dan Kertamukti, dan diharapkan berjalan hingga 2027.
Ekosistem mangrove yang setelah rehabilitasi di desa Ujungjaya, Sumur, Pandeglang. Dok. Istimewa
Tantangan
Kini tunas-tunas mangrove sudah mulai terlihat di pesisir Banten. Laju pertumbuhannya berbeda di masing-masing lokasi. Di Ujung Jaya, yang areanya terlindung, mangrove tumbuh bagus dan tingginya sudah lebih dari dua meter sejak awal periode penanaman.
Sementara itu di Cigorondong, Kertamukti, dan Mekarsari, yang berhadapan dengan laut, tantangannya lebih berat. Menurut Adi, ketinggiannya saat ini berada di 1-1,5 meter dengan kepadatan yang jarang. Adi memperkirakan, di desa-desa ini, bibit yang selamat dari gelombang sekitar 30-50 persen.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, tim rutin melakukan perawatan, dan setiap mangrove yang gugur karena gelombang, langsung disulam dengan bibit yang baru.
Cuaca ekstrem dan hujan deras menjadi salah satu tantangan terbesar. Mangrove di pesisir Ujungjaya dan Cigorondong juga harus menghadapi terjangan arus dan ombak Selat Sunda yang ganas saat musim barat. Terkadang, alat pemecah ombak dan pengaman di setiap bibit mangrove seperti bambu dan sabut kelapa pun ludes terseret air.
Perempuan di desa-desa Banten terlibat dalam rehabilitasi mangrove dengan membuat alat pemecah ombak alami dari bambu dan sabut kelapa. Dok. Istimewa
“Kita menanam di pesisir, dan kita benar-benar mengandalkan kemampuan hidup bibit mangrove bertahan dari gelombang, curah hujan, terjangan arus. Sehingga setiap tempat punya progres berbeda.”
“Namun tim tak pernah patah semangat untuk terus mencari cara untuk membangun benteng alami pesisir dengan berbagai ide dan inovasi,” kata Adi.
Monitoring perkembangan mangrove di pesisir Banten. Dok. Istimewa