Ritual Adat Leba Manu: Menjaga Air, Mengutuk Geotermal PLN
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Rabu, 30 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat adat di Golewa Selatan, Ngada, Nusa Tenggara Timur, menggelar ritual adat untuk mengutuk proyek pembangkit listrik geotermal yang dikhawatirkan akan merusak sumber mata air dan pertanian di wilayah tersebut. Proyek tersebut juga dinilai akan memperuncing konflik sosial yang sudah terjadi akibat perebutan sumber mata air.
Reksino Wago, tokoh pemuda adat desa Laja, Kecamatan Golewa Selatan, mengatakan air yang akan disedot dari sungai bernama Tiwu Bala itu ditujukan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Mataloko. Padahal sungai itu menjadi tumpuan bagi sumber air, ritual adat, irigasi persawahan, dan pertanian bagi sejumlah desa di kecamatan tersebut.
“Saat ini di sungai sudah dipasang pipa penyedotan, sepanjang sembilan meter dan tinggi enam meter, yang jaraknya sekitar lima kilometer dari titik pengeboran. Ini tetap terjadi meski kami sudah protes menolak,” kata Reksino, yang juga merupakan ketua Umat Muda Katolik Santo Yoseph Laja, kepada redaksi, Selasa, 29 Juli 2025.
Reksino mengatakan masyarakat juga tidak menerima sosialisasi dari PLN selaku pengelola PLTP Mataloko maupun pemerintah daerah. Sejak dicanangkan, masyarakat pun aktif menolak, termasuk dua kali protes di depan kantor bupati dan DPRD Ngada. Menurut Reksino, analisis dampak lingkungan PLTP Mataloko hanya mencantumkan desa Mataloko sebagai sumber air untuk operasinya. "Nama sungai Tiwu Bala tidak dicantumkan di amdal itu," katanya.

Aksi terbaru yang digelar Minggu, 27 Juli 2025 tersebut, diawali dengan upacara ekaristi, diikuti oleh sekitar 500 warga dari tujuh stasi (komunitas umat Katolik) Paroki Santo Yosep Laja. Warga kemudian menuju sungai Tiwu Bala untuk ritual adat Leba Manu–sebuah ungkapan tolak bala dan isyarat kutukan terhadap segala bentuk tindakan yang merugikan masyarakat dan merusak alam. Dalam kesempatan tersebut warga juga menyalakan seribu lilin sebagai simbol perlawanan.
Kutukan bagi pihak yang merusak alam
“Masa Ine Ame, Ebu nusi pu’u ulu ana kolo, eko ago lowa, se Golewa selatan, Dewa Zeta Nitu Zale, Pater Hermens, Pater Yan Hudek. Kazi ba wiwi sala, wiwi nga wisi, bo lema leko, lema nga beta,” ujar tetua adat Dominikus Sua dalam ritual tersebut.
Rapalan itu berarti: “Wahai leluhur, leluhur kami yang menguasai kampung dan seluruh Golewa Selatan, Tuhan yang di atas dan di bawah, leluhur misionaris kami Hubertus Hermens dan Yan Hudec, lidah siapa yang menipu dan putar belit, lidahnya akan putus dan terlepas.”
“Bagi kami, warga Golewa Selatan, air merupakan sumber dan jantung kehidupan. Air dari Tiwu Bala juga merupakan penjaga identitas dan martabat kami sebagai masyarakat adat. Air ini menjaga kebun, sawah, dan ladang kami selama beratus-ratus tahun,” kata Koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geothermal Flores Pater Felix Baghi.
“Dalam budaya kami, siapa pun yang melanggar hukum adat ini akan menanggung risiko secara moral dan sosial. Maka, kami berharap kutukan ini berlaku bagi PLN jika masih bersikeras akan mengambil air dari Tiwu Bala,” kata Felix.
Masyarakat adat di Golewa Selatan, Ngada, NTT, menyalakan seribu lilin sebagai simbol perlawanan terhadap PLTP Mataloko. Dok. Istimewa
Air untuk semua lini kehidupan
Selain menjadi mata air, sungai Tiwu Bala juga menjadi sumber utama pengairan untuk lebih dari 400 hektare sawah yang dikelola ribuan petani di Golewa Selatan. "Perlu dicatat bahwa Golewa Selatan merupakan kantong produksi padi kabupaten Ngada. Ia adalah “lembah sikhem” (tanah penuh susu dan madu) wilayah Ngada bagian selatan," kata Reksino.
Air juga menjadi simbol identitas dan budaya dan sangat erat kaitannya dengan kehidupan spiritual masyarakat adat dan relasinya dengan alam. “Setiap tahun kami mengadakan ritual adat seperti meko. Upacara ini wajib kami lakukan. Ada juga upacara adat ipu. Dua-duanya kami lakukan di sungai Tiwu Bala,” ujar Reksino.
Meko adalah perayaan adat yang memohon Tuhan Pelindung untuk kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, sedangkan pui merupakan upacara syukur atas hasil panen dan kehidupan dan penghormatan terhadap leluhur.
“Karena itu, merampas air sungai Tiwu Bala demi proyek energi berarti merampok hajat hidup orang banyak dan memperluas kerusakan ekologis,” kata Ketua Forum Peduli Lingkungan Paroki Santo Yosep Laja, Nikolaus Ago.
Reksino mengatakan, debit air sungai Tiwu Bala telah mulai berkurang akibat adanya perebutan mata air di desa-desa, termasuk untuk irigasi maupun holtikultura. Dia khawatir penyedotan air untuk PLTP Mataloko akan memperparah konflik sosial serta semakin memperkecil debit sungai tersebut.
Reksino mengatakan: “Kekhawatiran kami terhadap rencana penyedotan air juga bukan tanpa alasan: sejarah kegagalan proyek PLTP Mataloko membuktikan bahwa proyek geoteermal yang dirancang tanpa keterlibatan masyarakat bisa berujung pada kerugian lingkungan, konflik sosial, dan trauma kolektif.”
"Sungai Tiwu Bala adalah pengingat ciptaan Tuhan. Kita dipanggil menjaga alam, bukan mengeksploitasinya,” kata Pater Felix Baghi, Koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geothermal Flores dan Dosen IFTK Ledalero.
Aksi tersebut menyerukan kepada PLN dan korporasi untuk tidak menyedot air di Tiwu Bala untuk kepentingan proyek geotermal. Mereka juga menuntut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia untuk menghentikan operasi dan rencana pengembangan PLTP Mataloko.
Foto udara PLTP mataloko, salah satu proyek panas bumi yang dikembangkan PLN di Flores. Dok. PLN