7 Bulan di Prolegnas, RUU Masyarakat Adat Mirip Rekening Dormant
Penulis : Gilang Helindro
Hukum
Jumat, 01 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sudah tujuh bulan sejak Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, namun hingga kini belum terlihat kemajuan berarti di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menilai DPR belum menunjukkan komitmen kuat terhadap amanat konstitusi, terutama Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat.
Sejak awal tahun, Koalisi telah melakukan berbagai dialog dan audiensi dengan DPR dan pemerintah. Naskah akademik dan draf RUU versi masyarakat sipil telah diserahkan kepada pimpinan Baleg dan fraksi-fraksi DPR, serta dibahas dalam pertemuan dengan berbagai lembaga negara seperti Kemenkumham, Bappenas, Kemenko PMK, Kemendikbud Ristek, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Draf RUU yang diajukan masyarakat sipil mengusung pengakuan deklaratif terhadap Masyarakat Adat, mekanisme administratif sederhana untuk pengakuan wilayah adat, jaminan hak kolektif bagi perempuan dan anak adat, pembentukan lembaga perlindungan adat di tingkat nasional dan daerah, serta harmonisasi lebih dari 30 undang-undang sektoral yang dinilai tumpang tindih dan diskriminatif.
“Absennya payung hukum yang komprehensif membuat Masyarakat Adat terus mengalami kriminalisasi, perampasan wilayah, diskriminasi, bahkan kehilangan bahasa dan identitas budaya,” ujar Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat dalam keterangan resminya, dikutip Kamis, 31 Juli 2025.

Dalam rangka menggalang dukungan legislatif, Koalisi telah menemui sejumlah fraksi di DPR seperti PDIP, PKS, NasDem, PKB, PAN, Demokrat, serta anggota DPD RI. Menurut Koalisi, RUU ini bukan untuk menghidupkan feodalisme, melainkan demi keadilan konstitusional bagi kelompok warga negara yang paling terpinggirkan. Beberapa fraksi seperti PDIP dan PKS telah menyatakan dukungan dan membuka ruang kerja sama lanjutan.
Dari sisi eksekutif, Kemenkumham menyatakan siap mengawal harmonisasi lintas kementerian. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menilai RUU ini selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Sementara Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Prosedur (SNP) untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat.
Juru Bicara Koalisi, Abdon Nababan, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat penting tidak hanya untuk keadilan, tapi juga untuk kepastian berusaha dan pengurangan biaya ekonomi tinggi.
“Dari semua dialog kami dengan kementerian, lembaga, dan fraksi DPR, hampir semuanya mendukung. Maka, DPR seharusnya segera membentuk Panitia Kerja dan mengesahkan RUU ini sebagai RUU inisiatif DPR,” tegas Abdon.
Koalisi menyoroti lima alasan utama mengapa RUU ini mendesak untuk segera disahkan, yaitu: menjadi payung hukum tunggal, melindungi hak tenurial, menjamin hak kolektif termasuk bagi perempuan dan anak adat, memperkuat keadilan ekologis, serta memenuhi mandat konstitusi.
Sebagai bagian dari strategi komunikasi publik, Koalisi bersama Arungkala juga mengembangkan kampanye media digital untuk menjangkau masyarakat urban dan generasi muda, serta menyuarakan dampak negatif proyek strategis nasional seperti food estate terhadap sistem pangan adat.
Untuk memperkuat dukungan publik, Koalisi juga tengah mempersiapkan Aksi Budaya Serentak Nasional yang akan melibatkan ribuan Masyarakat Adat, seniman, akademisi, dan masyarakat umum sebagai bentuk solidaritas atas pengesahan RUU ini.