Titik Panas Karhutla Terdeteksi di 231 Konsesi Perusahaan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Karhutla

Jumat, 01 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Musim kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali datang. Sejumlah areal Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di sejumlah provinsi di Indonesia terpantau menghasilkan titik panas atau hotspot.

Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam rentang waktu 1-28 Juli 2025, terdapat sebanyak 20.788 hotspots di Indonesia. Secara tingkatan, titik api ini terkategorisasi level tinggi dengan jumlah 639 hotspots, level sedang dengan jumlah 19.656 hotspots dan level rendah dengan jumlah 493 hotspots

Menurut hasil overlay atau tumpang susun dengan areal konsesi HGU sawit dan PBPH, Walhi menemukan sebanyak 373 hotspots dengan level tinggi berada di HGU perkebunan atau izin kehutanan (PBPH) yang dipegang 231 perusahaan. Bahkan dari beberapa perusahaan yang terdapat hotspot di konsesinya adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya. 

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan karhutla berulang di konsesi perusahaan ini adalah bukti tunduknya negara pada perusahaan pembakar hutan dan lahan. Menurut Uli, hingga saat ini pemerintah tidak berani mengevaluasi 969 perusahaan sawit yang puluhan tahun beroperasi di wilayah gambut dan hutan seluas 5,6 juta hektare,” kata Uli, dalam sebuah pernyataan tertulis yang disiarkan pada 29 Juli 2025.

Kebakaran di area konsesi perkebunan sawit milik PT Kumai Sentosa, Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Agustus 2019. Saat ini proses penegakan hukum terhadap PT KS sedang berlangsung atas kasus kebakaran seluas 2.600 hektare itu. Foto: Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK

Bahkan, lanjut Uli, ada cukup banyak perusahaan yang telah diputus bersalah oleh pengadilan, namun tidak ada proses eksekusi putusan yang jelas dan tidak pernah dicabut izinnya, dan alhasil tahun ini kembali terbakar. Impunitas dan ketertundukan negara inilah, yang menurut Uli, menjadi akar persoalan karhutla.

“Selama pemerintah tidak menjawabnya, selama itu juga karhutla akan terus terjadi,” ujar Uli. 

Uli juga menambahkan bahwa fakta adanya ratusan perusahaan beroperasi di ekosistem gambut dan hutan ini, serta impunitas yang selalu diberikan pemerintah pada korporasi pembakar hutan adalah bentuk kegagalan Undang-Undang (UU) Kehutanan, sehingga revisi UU Kehutanan saat ini harusnya menjadi momentum untuk mengubah total UU Kehutanan, bukan hanya revisi tambal sulam yang tidak mampu menjangkau persoalan karhutla.   

Hasil pantauan Walhi Sumatera Selatan (Sumsel), sepanjang Juni 2025 terdapat 85 hotspots berada di konsesi kebun kayu (Hutan Tanaman Industri/HTI) dan HGU milik 16 perusahaan. Bahkan semua perusahaan tersebut selalu terbakar atau terdapat hotspot di dalam konsesinya setiap tahunnya.

Bila dirinci, 58 hotspots berada di konsesi HTI milik 11 perusahaan, yaitu PT Esa Dinamika di Kab. Muratara (berulang), PT Paramita Mulia Langgeng di Kab. Muratara (berulang), PT Bumi Persada Permai di Kab. Muba (berulang), PT Sentosa Bahagia Bersama di Kab. Muba, PT Tiesco Cahaya Permai di Kab. Muba (berulang), PT Tiesco Cahaya Permai di Kab. Muba (berulang), PT Wahana Lestari Makmur Sukses di Kab. Muba (berulang), PT MHP di Kab. Musi Banyuasin (berulang), PT MHP di Kab. Musi Rawas (berulang), PT MHP di Kab. Pali (berulang), PT MHP Kab. Lahat (berulang), dan PT MHP di Kab. Muara Enim (berulang).

Sedangkan 27 hostpots lainnya berada di HGU sawit milik 5 perusahaan, yaitu PT Hasil Musi Lestari di Kab. Musi Rawas, PT London Sumatra di Kab. Muratara (berulang), PT Muara Bibit Lestari di Kab. Musi Rawas (berulang),  PT Muara Bibit Lestari di Kab. Musi Rawas (berulang),  PT Padang Bolak Jaya di Kab. Lahat (berulang), dan PT Trans Pacific Agro Industri di Kab. Banyu Asin (berulang).   

“Karhutla adalah kejahatan lingkungan luar biasa (extra ordinary egologycal crime), karena itu dibutuhkan penanganan yang serius dan terukur oleh negara. Penanganannya tidak cukup hanya dengan tindakan apel siaga, water booming, hujan buatan dan penyegelan semu tanpa ada sanksi yang berarti,” kata Yuliusman, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.  

Kemudian di Sumatera Barat (Sumbar), dalam rentang April hingga Juli 2025 tercatat sebanyak 1.225 titik hotspots di Sumbar terpantau citra satelit (NASA SNPP). Karhutla ini tersebar di beberapa wilayah kabupaten di Sumbar, di antaranya Solok, 50 Kota, Pesisir Selatan, Agam.

Sejak 23 Juli hingga 21 September 2025, Gubernur Sumbar resmi menetapkan status Siaga Darurat Karhutla selama 60 hari, berdasarkan SK. Gubernur Sumbar No. 360‑416‑2025. Luas karhutla yang terdampak tersebar di 10 kecamatan dan 22 nagari. Beberapa di antaranya Kecamatan Pangkalan Koto Baru 500 hektare, Kecamatan Harau 227,48 hektare.

Sebanyak 36 hotspots ditemukan di konsesi perusahaan PT Citalaras Indonesia (7 hotspots), HGU Husdi Gunawan (10 hotspots), PT Sumatera Jaya Agro Lestari ( 8 hotspots), PT Sapta Sentosa Jaya Abadi (8 hotspots), dan PT Sukses Jaya Wood (3 hotspots). 

Kepala Divisi Penguatan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar, Tommy Adam, menuturkan karhutla di Sumbar selalu terulang di lokasi yang sama, bahkan meluas di beberapa kabupaten lain. Biasanya terjadi beriringan dengan alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi sawit.

“Ini adalah kejahatan yang sistematis terstruktur dan masif. Seharusnya penegak hukum tak berhenti menangkap pelaku-pelaku kecil. Tapi juga menangkap pemodal, serta pelaku pembiaran tersebut dengan Pidana UU Kehutanan,” kata Tommy. 

Di Kalimantan Selatan (Kalsel), hingga akhir Juli 2025, terpantau terdapat 120 titik hotspots di wilayah Kalsel. Berdasarkan klasifikasi tingkat keparahan, 115 titik tergolong sedang, 4 titik tergolong tinggi, dan 1 titik tergolong rendah.

Dari temuan ini, titik hotspot dengan kategori tinggi teridentifikasi berada dalam wilayah konsesi PT Subur Agro Makmur, sebuah perusahaan perkebunan sawit yang sebelumnya juga tercatat berulang kali mengalami insiden kebakaran lahan di wilayah operasionalnya.

Rekam jejak kebakaran di area konsesi sawit memang menjadi sorotan Walhi Kalsel. Salah satu contohnya, pada 2023, PT Palmina Utama yang juga bergerak di sektor perkebunan sawit, telah dikenai sanksi administratif oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) akibat terbukti lalai dalam pencegahan dan pengendalian karhutla di areal konsesinya.

Sementara itu, pada 2024 hingga pertengahan tahun ini, ancaman karhutla di Kalsel masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang masih cukup tinggi di sejumlah wilayah, bahkan beberapa daerah justru masih terdampak banjir.

Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah adalah Kecamatan Jejangkit, yang hingga kini masih dalam masa pemulihan pascabanjir. Akibat genangan air yang baru mulai surut, sebagian besar petani di daerah tersebut belum dapat memulai musim tanam padi, sehingga mempengaruhi siklus pertanian setempat.

“Situasi ini menggarisbawahi pentingnya mitigasi bencana yang terintegrasi antara kebakaran dan banjir sebagai dua sisi krisis ekologis yang saling berkelindan. Selain menyoroti kelalaian dalam pengelolaan izin konsesi, fakta ini juga menunjukkan bagaimana perubahan iklim dan degradasi ekosistem memperparah kerentanan masyarakat lokal,” kata Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel. 

Rafiq menambahkan, kejadian karhutla yang berulang di wilayah konsesi, serta banjir berkepanjangan di wilayah lain, harus dibaca sebagai manifestasi nyata dari krisis iklim dan krisis tata kelola lingkungan. Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum, meninjau kembali izin-izin konsesi di wilayah rawan, serta mendorong restorasi ekosistem sebagai bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Kemudian di Kalimantan Barat (Kalbar), sepanjang Mei hingga mendekati akhir Juli 2025, terdapat 8.644 hotspots yang terpantau di seluruh wilayah Kalbar. Menurut Walhi Kalbar, titik panas ditemukan di seluruh wilayah kabupaten dan kota dengan 5 wilayah tertinggi yaitu Sanggau 1.816 hotspots, Mempawah dan Sambas masing-masing 1.190 hotspots, Landak 807 hotspots, Ketapang 657 hotspots.

Terdapat 2.652 hotspots terpantau di sejumlah konsesi perusahaan, dengan hotspot terbanyak berada di konsesi PT Perkebunan Nusantara XIII (124 titik), PT Kapuas Palm Industri (108 titik), PT Sumatera Unggul Makmur (106 titik), PT Global Kalimantan Makmur (103 titik), PT Mitra Austral Sejahtera (89 titik), dan PT Peniti Sungai Purun (60 titik). 

Sementara itu jika di-overlay dengan peta PBPH, terdapat 1.061 hotspots yang berada pada 54 konsesi. Dengan terbanyak berada di PT Finantara Intiga (143 titik), PT Duta Andalan Sukses (102 titik), PT Fajar Wana Lestari (88 titik), PT Inhutani Nanga Pinoh (72 titik), PT Kanya Resources (71 titik), PT Mayawana Persada (57 titik), PT Citra Mulia Inti (43 titik) dan PT Gambaru Selaras Alam (41 titik). 

Walhi juga menemukan kebakaran lahan gambut di Kalbar masih terjadi di 2025, identifikasi hotspot yang berada di kawasan hidrologis gambut (KHG), ditemukan 2.353 titik. Hotspots ini berada di 36 konsesi perkebunan kelapa sawit, dengan terbanyak pada PT Sumatera Unggul Makmur (89 titik), PT Peniti Sungai Purun (53 titik), PT Mitra Andalan Sejahtera (18 titik), PT Muara Sungai Landak (17 titik), PT Bumi Perkasa Khatulistiwa (16 titik), PT Sebukit Internusa (14 titik), PT Buluh Cawang Plantation (13 titik), dan PT Condong Garut (8 titik). 

“Karhutla sudah agenda peringatan tahunan, sayangnya bukan peringatan yang membanggakan, justru sebagai bentuk kegagalan pemerintah menyelesaikan persoalan,” kata Andre Illu, Kepala Divisi WKR, Pendidikan dan Pengorganisasian Walhi Kalbar.

Andre bilang, setelah karhutla hebat pada 2015, pemerintah menyatakan berkomitmen memulihkan kerusakan gambut akibat karhutla serta melindungi gambut yang masih sehat, tapi setiap tahun kebakaran gambut masih terjadi. Adapun penanganan kasus kejahatan lingkungan dalam konteks karhutla, lanjut Andre, seringkali menyasar individu, jarang menyentuh korporasi.

Sementara perlindungan gambut mestinya menyeluruh, meskipun beberapa perusahaan melakukan penataan air di konsesi, namun pembukaan kanal di lahan gambut menyebabkan hidrologis pada KHG menjadi rusak, terutama pada kawasan masyarakat yang terkena dampak.

“Musim kemarau masih akan panjang, ini baru awal, tapi Kota Pontianak sudah terkena dampak kabut asap dan kualitas udara yang tidak sehat. Jika tidak ada upaya yang benar-benar serius, negara hanya menegaskan kelalaiannya dalam memenuhi hak warga atas lingkungan yang baik dan sehat,” ucap Andre.

Di Riau, rentang Januari-Juli 2025 sekitar 1.000 hektare hutan dan lahan di Riau telah terbakar. Hal ini yang kemudian menyebabkan status bencana Riau meningkat dari tahun sebelumnya menjadi tanggap darurat karhutla.

Berdasarkan hasil analisis spasial Walhi Riau melalui satelit Aqua dan Terra dengan confidence level di atas 70% menunjukkan sepanjang periode 1 Mei-24 Juli 2025 terdapat 310 titik panas yang tersebar di 9 kabupaten/kota Provinsi Riau dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir menempati urutan teratas.

Hasil analisis ini juga memperlihatkan titik api berada dalam areal kerja 8 perusahaan perkebunan kayu dan kelapa sawit yaitu PT Perawang Sukses Perkasa, PT Citra Buana Inti Fajar, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Selaras Abadi Utama, PT Diamond Raya Timber, CV Bhakti Praja Mulia, PT Ruas Utama Jaya, dan PT Jatim Jaya Perkasa. Lebih parahnya, perusahaan yang telah dijatuhi hukuman pidana, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) kembali terbakar di tahun ini.  

Setidaknya dari titik api yang ditemukan di konsesi perusahaan di atas, PT RAPP (APRIL&Partner), PT SRL (APRIL&Partner), dan PT DRT (Barito Grup) adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan PT Jatim Jaya Perkasa (Wilmar Grup) telah diputus bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terkait kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup dan kebakaran hutan dan lahan berdasar putusan Mahkamah Agung kembali ditemukan titik api dalam areal kerjanya.

Selain itu, hasil analisis media Walhi Riau juga menemukan Perusahaan Milik Asing (PMA) asal Malaysia, PT Adei Plantation Industry (KLK Grup) kembali terbakar. Perusahaan ini telah dua kali dijatuhi hukuman pidana atas kasus yang sama, yaitu pada tahun 2016 dan 2020.   

“Kami mendesak penegak hukum menetapkan perusahaan yang areal kerjanya terbakar sebagai tersangka karhutla. Kemudian penegakan hukum juga harus paralel dengan evaluasi perizinan. Bahkan perusahaan yang berulang kali menjadi pelaku karhutla dan memiliki catatan pelanggaran lingkungan hidup lainnya sudah layak dicabut perizinannya,” ujar Boy Jerry Even Sembering Direktur Eksekutif Walhi Riau. 

Beralih ke Aceh, Walhi menemukan terdapat sebanyak 235 hotspots, dengan 11 persen atau 26 titik terpantau berada dalam konsesi HGU 5 perusahaan, yaitu PTPN (18 titik), PT Beutami sebanyak (2 titik), PT Karya Tanah Subur (1 titik), PT Setya Agung (1 titik), dan PT Watu Gede Utama (4 titik).  

“Hasil temuan kami, sangat ironis, justru titik panas paling banyak muncul di lahan milik negara sendiri. PTPN, sebagai perusahaan plat merah, semestinya jadi teladan pengelolaan lahan, bukan penyumbang risiko karhutla. Ketika PTPN, perusahaan milik negara, abai menjaga konsesinya dari kebakaran, pesan yang tersisa adalah negara lalai menjaga hutan dan lahan miliknya sendiri,” kata Afifuddin Acal Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WalhiAceh.

Parahnya, lanju Afifuddin, hotspot level tinggi itu berada di perusahaan plat merah sebanyak 5 kejadian. Ia berpendapat, sebagai pemegang HGU, pemerintah seharusnya berkewajiban menjaga lahannya dari kebakaran. Jika titik panas terus muncul di sana, maka ini bukan kelalaian biasa, ini potensi kejahatan lingkungan oleh perusahaan milik negara.

“Harusnya perusahaan plat merah itu harus menjadi contoh untuk pemegang konsesi HGU lainnya untuk menjaga atau mengendalikan Karhutla, bukan malah mereka yang banyak terjadi Karhutla. Kalau kejadian seperti ini, perusahaan negara ini tidak hanya lalai, tapi patut diperiksa dan diproses hukum,” ujarnya.

Afif bilang, titik panas paling banyak berada di Areal Peruntukan Lain (APL) atau non kawasan hutan sebanyak 136 titik. Hutan dengan fungsi lindung, produksi dan konservasi juga terdapat hotspot di dalamnya, dengan masing-masing sebanyak 37 titik,  43 titik dan 19 titik.

 Afif menuturkan, data ini mengindikasikan bahwa kebakaran tidak hanya terjadi di area terbuka atau tidak dijaga, tetapi juga telah merambah ke kawasan hutan lindung, konservasi, bahkan taman nasional.

“Sebaran titik panas di zona-zona yang seharusnya dilindungi ini menjadi alarm keras bagi otoritas kehutanan dan penegak hukum untuk memperkuat pengawasan dan penindakan,” kata Afif.

Afif menambahkan, lemahnya kontrol di APL dan HGU mengindikasikan celah besar dalam pengawasan pemanfaatan lahan. Jika dibiarkan, potensi kebakaran hutan dapat meluas, mengancam kehidupan masyarakat, keanekaragaman hayati, serta memperparah krisis iklim.

Sementara Karhutla di Aceh sepanjang 2024 tercatat mencapai 7.257,35 hektare, menjadikannya sebagai kejadian terburuk dalam lima tahun terakhir. Angka ini melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan 2023 yang hanya seluas 1.936,86 hektare.

Ledakan Karhutla tersebut menempatkan Aceh pada peringkat keempat tertinggi di Sumatera pada 2024, dan peringkat ke-12 di Indonesia. Memasuki 2025, hingga akhir Juli, luas karhutla di Aceh memang tercatat menurun menjadi 354 hektare.

Namun secara peringkat, Aceh justru naik ke posisi ketiga di Sumatera, dan peringkat ke-8 secara nasional. Artinya, meskipun luasan kebakaran menurun, tingkat kerawanan dan penyebaran hotspot tetap tinggi.

“Penurunan luas bukan berarti persoalan selesai. Jika hotspot masih muncul setiap pekan dan menyasar kawasan lindung hingga konsesi negara, maka itu bukan keberhasilan, melainkan kegagalan yang ditunda,” katanya

Kondisi ini, imbuh Afif, menunjukkan bahwa Aceh masih berada dalam bayang-bayang krisis ekologi yang serius. Tingginya kasus karhutla tahun lalu serta konsistensi munculnya hotspot tahun ini menjadi indikator bahwa sistem pencegahan dan pengawasan kebakaran belum berjalan efektif.

Berikutnya di Kalimantan Tengah (Kalteng), dari hasil analisis Walhi, menggunakan analisis VIIRS NOAA pada periode 1 Juli-28 Juli 2025, tercatat sebanyak 446 hotspots tersebar di 14 kota/kabupaten. Paling banyak hotspots berada di Lamandau (75 titik), Gunung Mas (66 titik), Katingan (56 titik), Kapuas (52 titik), dan Kotawaringin Timur (46 titik).  

Temuan hotspot pada konsesi perkebunan sawit terindikasi sebanyak 119 titik yang tersebar di 51 konsesi. Di antaranya ada 6 perusahaan yang terjadi karhutla berulang, baik di dalam dan areal luar sekitar konsesi pada 2015, 2019, 2023, dan 2024 yakni PT Maju Aneka Sawit, PT Borneo Subur Prima, PT Rimba Sawit Utama Planindo, PT Borneo Eka Sawit Tangguh, dan PT Katingan Mujur Sejahtera. 

 Kemudian temuan hotspot pada PBPH kebun kayu, sebanyak 34 titik yang tersebar di 14 konsesi hutan tanaman industri. PT Ramang Agro Lestari memiliki hotspot sebanyak 8 titik dan terindikasi kejadian karhutla berulang pada 2019 dan 2023. 

Manager Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, Janang Firman,  mengatakan analisis yang Walhi lakukan menunjukkan bahwa kerentanan karhutla di Kalteng cukup tinggi, terutama di area konsesi perkebunan sawit dan kebun kayu. Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan mitigasi dan pemetaan area rawan untuk skema antisipasi dan penanganan intensif.

“Negara tidak boleh lalai, mengingat Karhutla kerap terjadi tiap tahun, seperti pada 2015, 2019, dan 2023. Potensi kebakaran tahun ini juga besar. Penegakan hukum pun harus adil, tanpa tebang pilih, rakyat kecil jangan terus menjadi korban, sementara korporasi luput dari sanksi tegas,” ucap Janang. 

Karhutla juga menjadi ancaman serius di Jambi. Berdasarkan hasil pemantauan Walhi melalui sistem Fire Information for Resource Management System (FIRMS) milik NASA menggunakan sensor VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) pada satelit Suomi NPP (N21) tercatat sebanyak 578 hotspots selama periode Juli 2025.

Dari jumlah tersebut, 114 titik panas berada dalam kawasan konsesi 33 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 66 titik lainnya tersebar di konsesi PBPH yang dipegang 8 perusahaan. Menurut Walhi Jambi, keberadaan hotspot di konsesi ini kembali menegaskan bahwa karhutla bukan semata terjadi karena aktivitas masyarakat, tetapi dominan berlangsung di area yang dikelola oleh korporasi besar pemegang izin konsesi. 

Walhi Jambi menemukan HGU perusahaan sawit yang memiliki titik panas tertinggi antara lain Ex. PT Bahari Gembira Ria 21 titik, PT Ari Kirana Lestari 11 titik, PT Muaro Kahuripan Indonesia 17 titik dengan Fire Radiative Power (FRP) tertinggi sebesar 40,13 dan tingkat kepercayaan tinggi, yang mengindikasikan kuat adanya kebakaran aktif. Hal ini terkonfirmasi oleh masyarakat jaringan Walhi Jambi di lapangan bahwa terjadi kebakaran di wilayah tersebut dengan perkiraan luasan 270 hektare.

Kemudian PT Dharma Tanjung Sawita 8 titik dan PT Tujuh Kaki Dian 7 titik. Selain itu, puluhan perusahaan lainnya tercatat memiliki titik panas meskipun dalam jumlah lebih kecil. Ini mengindikasikan bahwa karhutla terjadi secara sistemik dan berulang di berbagai korporasi.

Sementara pada sektor kehutanan (PBPH), pemantauan Walhi Jambi menemukan PT Wira Karya Sakti (WKS) menghasilkan 33 titik, mayoritas terjadi berulang di lokasi yang sama, dan nilai FRP sebesar 14,29 di Kabupaten Batanghari, PT Limbah Kayu Utama 12 titik, dengan FRP 23,39, juga pada level kepercayaan tinggi.

Perusahaan lain seperti PT Alam Bukit Tiga Puluh, PT Hijau Artha Nusa, PT Malaka Agro Perkasa, dan lainnya turut teridentifikasi sebagai lokasi hotspot. Sebaran titik-titik panas ini menunjukkan kelalaian atau bahkan indikasi kesengajaan dalam pengelolaan lahan yang berujung pada kebakaran.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa temuan ini mencerminkan kegagalan struktural negara dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap korporasi yang terus mengulangi pelanggaran lingkungan.

“Setiap tahun kita mendapati pola yang sama: kebakaran terjadi di wilayah yang itu-itu saja, milik korporasi yang sama, dan hingga kini tidak ada penindakan serius. korporasi melanggar, dan rakyat yang harus menanggung sesaknya asap dan rusaknya lingkungan. Kami menegaskan bahwa karhutla adalah kejahatan ekologis yang tidak boleh dimaklumi,” kata Oscar.

Temuan ini, lanjut Oscar, menunjukkan kegagalan sistematis dalam pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas korporasi di sektor perkebunan dan kehutanan. Pemerintah Provinsi Jambi dan aparat penegak hukum tidak bisa terus abai melihat berulangnya karhutla di area konsesi yang sama, apalagi dengan tingkat kepercayaan data yang tinggi dari sistem pemantauan.

“Kami mendesak agar korporasi yang wilayah konsesinya terindikasi terbakar segera diperiksa dan ditindak tegas, termasuk pencabutan izin jika terbukti lalai atau sengaja membakar. Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga soal hak hidup rakyat yang terancam oleh asap dan kehancuran ekologis,” ucap Oscar.