Amnesti untuk Politikus, Jeruji bagi Pembela Lingkungan Hidup
Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara
OPINI
Kamis, 07 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
PEMBERIAN amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong menyedot perhatian publik. Langkah ini banyak dipuji karena dinilai berani mengoreksi ketidakadilan, terutama dalam kasus Tom yang putusan pengadilannya dinilai tidak masuk akal. Namun di balik gegap-gempita ini, ada ironi besar yang luput dari perhatian, mengapa keberanian serupa tidak diberikan kepada para pembela lingkungan hidup--kelompok yang jelas-jelas dilindungi konstitusi?
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda.
Alih-alih dilindungi, para pembela bumi atau sering dipanggil sebagai pembela lingkungan hidup kerap dikriminalisasi. Data Auriga Nusantara melalui environmental defender mencatat setidaknya ada 133 pembela lingkungan hidup menghadapi ancaman dalam bentuk intimidasi, serangan fisik, hingga jerat hukum yang panjang dan melelahkan.
Kasus terbaru menimpa Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan IPB sekaligus pakar forensik kebakaran hutan dan lahan. Alih-alih didukung atas kontribusinya dalam mengungkap kejahatan lingkungan, ia justru harus menjalani persidangan karena keterangan ahli yang diberikannya dalam kasus kebakaran hutan.

Bambang Hero bukan kali ini saja digugat. Sebelumnya ia pun berulang kali dilaporkan ke meja hijau oleh perusahaan-perusahaan yang merasa terganggu kepentingannya. Bila seorang akademisi dengan rekam jejak internasional saja bisa dikriminalisasi, bagaimana nasib para aktivis akar rumput yang jauh lebih rentan?
Di sinilah relevansi amnesti menemukan tempatnya. Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan amnesti, bukan hanya sebagai instrumen politik, melainkan sebagai koreksi atas ketidakadilan struktural. Jika amnesti bisa diberikan karena sorotan publik atas kasus individual, logika keadilan mengharuskan langkah yang sama untuk mereka yang mempertaruhkan hidup demi kepentingan bangsa: melindungi tanah, hutan, dan air yang menopang hidup jutaan rakyat Indonesia.
Penggunaan amnesti bagi pembela lingkungan akan berdampak strategis. Pertama, memulihkan kepercayaan publik bahwa negara benar-benar hadir melindungi warga yang memperjuangkan hak konstitusional.
Kedua, mengirimkan pesan tegas bahwa pemerintah tidak lagi menoleransi praktik kriminalisasi terhadap mereka yang menjaga keberlanjutan lingkungan. Lebih jauh, ini juga akan menegaskan komitmen Indonesia pada agenda global mengenai keadilan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa viralitas kasus kerap menjadi faktor utama yang menggerakkan kekuasaan. Namun keadilan tidak boleh bergantung pada seberapa besar sorotan media atau seberapa kuat jejaring politik seseorang. Keadilan sejati harus berpihak kepada mereka yang memperjuangkan kepentingan publik, sekalipun suara mereka kerap terpinggirkan.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo seharusnya mempertimbangkan amnesti bagi para pembela lingkungan, termasuk bagi kasus-kasus seperti yang kini menimpa Bambang Hero. Sebab, melindungi mereka berarti melindungi masa depan Indonesia. Sejarah akan mencatat bahwa keberanian politik terbesar bukanlah ketika kekuasaan menolong mereka yang dekat dengan lingkaran elit, melainkan ketika kekuasaan berdiri di sisi rakyat yang mempertaruhkan segalanya demi bumi yang kita huni bersama.