COP30: Aliansi Rakyat Rumuskan Tuntutan Keadilan Iklim

Penulis : Gilang Helindro

Iklim

Jumat, 08 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) akan menggelar Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025 pada 26–28 Agustus di Jakarta. Forum politik rakyat berskala nasional ini mengangkat tema “Gerakan Rakyat, Solusi Rakyat: Mengukuhkan Keadilan Iklim dari Lokal ke Global”, dengan tujuan merumuskan tuntutan rakyat atas keadilan iklim serta mendorong keterlibatan publik dalam pembentukan RUU Keadilan Iklim dan agenda Konferensi Iklim COP30 di Brasil.

Untuk memperkuat kolaborasi, ARUKI mengundang media dalam pertemuan di Kantor Eksekutif Nasional WALHI pada Selasa (5/8). Pertemuan ini menjadi ruang berbagi informasi dan memperluas jejaring untuk mengangkat perspektif masyarakat sipil dalam narasi keadilan iklim. Menurut catatan ARUKI, dalam satu dekade terakhir terjadi lebih dari 28.000 bencana iklim yang berdampak pada 38 juta jiwa dan menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun antara 2020–2024.

“Temu Rakyat untuk Keadilan Iklim atau ICJS ini adalah forum politik rakyat, terutama mereka masyarakat rentan, untuk dapat mengekspresikan, menyuarakan dan menggagas solusi yang ditawarkan kepada negara untuk memastikan terwujudnya keadilan iklim” ujar Dewy, Ketua Panitia Pelaksana ICJS, dikutip Kamis, 7 Agustus 2025.

ICJS 2025 juga menyoroti pentingnya pembahasan RUU Keadilan Iklim sebagai kerangka hukum nasional untuk merespons krisis iklim secara adil dan inklusif. Zainal Arifin dari YLBHI menilai bahwa hukum lingkungan yang ada saat ini belum menyentuh akar persoalan seperti ketimpangan struktural dan relasi kuasa.

ARUKI mengundang media dalam pertemuan di Kantor Eksekutif Nasional WALHI pada Selasa (5/8). Foto: Istimewa/Aruki.

“Misalnya, pembabatan hutan di Kalimantan untuk kepentingan industri tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga mengubah arus laut yang menyebabkan desa-desa pesisir di wilayah lain ikut tenggelam. Ini adalah contoh nyata dampak lintas wilayah yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan teknokratik semata. Kita butuh kerangka hukum yang adil dan berpihak pada rakyat,” tambah Zainal.

Difa Safira dari ICEL menekankan pentingnya regulasi yang menjamin hak-hak masyarakat terdampak, transparansi pendanaan, dan partisipasi publik dalam seluruh proses kebijakan iklim.

Partisipasi kelompok rentan menjadi fokus utama ICJS. Forum ini secara khusus membuka ruang bagi penyandang disabilitas, masyarakat pesisir, dan kelompok terpinggirkan lainnya. Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyoroti minimnya perhatian terhadap disabilitas dalam kebijakan iklim.

"Kami, penyandang disabilitas, sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari pembicaraan iklim, padahal kami menghadapi risiko yang jauh lebih besar saat iklim terjadi, musalnya ketika terjadi bencana. Harapannya, ICJS ini meng-highlight pengalaman-pengalaman disabilitas yang selama ini jarang diperbincangkan.” ujar Yeni.

Erwin Suryana dari KIARA menyatakan bahwa krisis iklim merupakan kenyataan sehari-hari bagi masyarakat pesisir. ICJS 2025 direncanakan dihadiri 500–1.000 peserta dari berbagai komunitas seperti masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, hingga anak muda, dengan agenda pleno, lokakarya tematik, panggung rakyat, dan aksi bersama.

“Kami hidup berdampingan dengan laut, tapi sekarang laut kian mendekat dan merampas ruang hidup kami. Krisis iklim bukan sekadar isu global bagi kami, ini kenyataan kami sehari-hari. Jadi perlu ada ruang yang dapat mengakomodasi kondisi kami dan mendorong solusi yang nyata,” tambah Erwin.