PT TPL Diduga Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Jumat, 08 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi penggusuran masyarakat adat diduga kembali dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Korbannya kini Masyarakat Adat Natinggir di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Sumut).
Penggusuran itu terjadi pada Kamis (7/8/2025) pagi, saat ratusan karyawan dan petugas keamanan PT TPL memaksa menanami eukaliptus di lahan pertanian masyarakat. Anggota masyarakat yang berupaya menghentikan aksi tersebut mendapat berbagai tindakan kekerasan, hingga satu orang mengalami luka di bagian leher.
Tindakan PT TPL ini menuai kecaman dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Sebab, operasi usaha milik Taipan Sukanto Tanoto ini telah berulang kali menggusur komunitas-komunitas masyarakat adat di Tano Batak (Tanah Batak) di kawasan Danau Toba, untuk kebun kayu eukaliptus.
“Selain tindak kriminalitas terhadap masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya, penggusuran PT TPL disertai berbagai tindakan kekerasan yang semakin kejam dan tak terkendali,” kata Roki Pasaribu, Direktur Eksekutif KSPPM.

Roki menjelaskan, pihak TPL juga melakukan perusakan pemukiman Masyarakat Adat Natinggir dan kekerasan pada anak-anak serta pejuang agraria yang mendampingi Masyarakat Adat Natinggir. PT TPL melempari rumah-rumah masyarakat dengan batu, padahal anak-anak masyarakat adat sedang berada di rumah tersebut.
“Empat staf KSPPM yang sedang mendampingi di Natinggir turut menjadi sasaran TPL dalam penggusuran ini,” ujar Roki.
Roki menyebut, penggusuran ini menambah catatan dugaan kejahatan PT TPL kepada konstitusi agraria, serta memperparah krisis agraria yang ada di Sumatera Utara. PT TPL adalah satu perusahaan yang lebih dari 4 dekade memonopoli tanah seluas 291.263 hektare di Sumatera Utara, atas nama hutan tanaman industri merampas wilayah adat milik 23 komunitas masyarakat adat di 12 kabupaten, dengan total luasan 33.422,37 hektare.
Menurut Roki, penggusuran ini telah mengorbankan 470 masyarakat adat yang mempertahankan tanah adatnya. Perinciannya dua orang meninggal, 208 orang dianiaya, dan 260 orang dikriminalisasi. Belum lagi dugaan tindakan perbudakan modern yang dilakukan PT TPL kepada para pekerjanya.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menyebut usaha TPL ini dilaksanakan dengan melanggar konstitusi, sebab operasinya ilegal atau tidak dibenarkan secara hukum. Area konsesi di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektare, di dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektare, di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektare, di dalam Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektare, dan di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektare. Dari 188.055 hektar konsesi TPL, setidaknya 28% (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.
“Ironisnya lagi, hingga hari ini klaim kawasan hutan di Sumatera Utara hanya sebatas “penunjukan”, bukan “penetapan”, di mana Negara seharusnya melakukan penataan ulang tata batas dan mendapatkan persetujuan dari Masyarakat Adat yang lebih dulu beraktivitas di sana,” kata Dewi.
Dewi melanjutkan, oleh karena itu konsesi PT TPL penuh dengan kecacatan hukum, melalui proses mal-administrasi kehutanan, manipulasi proses, hingga abused of power. Dengan demikian keberadaan TPL dan operasinya adalah praktik ilegal yang dilakukan oleh badan usaha swasta dan difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia.
Di sisi lain, masih kata Dewi, Sumatera Utara merupakan salah satu episentrum konflik agraria di Indonesia akibat klaim HGU dan HTI oleh perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik negara. Kurun 1 dekade terakhir, Provinsi Sumatera Utara menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan konflik agraria tertinggi, setidaknya 275 letusan konflik agraria, di seluas 655.285,69 hektare, yang berdampak pada 227.239 rumah tangga (Catahu KPA 2015-2024).
“Karena itu, kami Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mendesak agar PT TPL segera menghentikan operasi ilegalnya; menghentikan penggusuran Masyarakat Adat Natinggir, serta berbagai tindak kekerasan yang mengancam keselamatan hidup Masyarakat Adat, termasuk bagi perempuan dan anak-anak,” kata Dewi.
Kemudian, Kapolres Resort Toba segera mengusut tuntas dan menindak tegas tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan PT TPL, dan Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL.
Selain itu Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim hutan negara dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak.
“Presiden Republik Indonesia segera melaksanakan reforma agraria; menyelesaikan konflik agraria, menata ulang monopoli penguasaan tanah akibat klaim sepihak kawasan hutan negara yang mencaplok tanah-tanah dan wilayah masyarakat adat,” ucap Dewi.