Buku Foto Papua, Surga yang Dibisukan

Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA

Biodiversitas

Rabu, 13 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Greenpeace Indonesia meluncurkan buku foto "Surga yang Dibisukan" di KALA, Kalijaga, Jakarta Selatan, Selasa, 12 Agustus 2025. Peluncuran yang bertepatan dengan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus, ini menghadirkan ruang diskusi antara masyarakat adat Papua, akademisi, pemerintah, dan publik untuk membicarakan masa lalu, kondisi kini, dan masa depan Tanah Papua.


Orang tua saya tidak mewariskan harta, mereka hanya mewariskan hutan bagi saya.


Maria Amote, perempuan muda adat dari Suku Wambon, mengaku resah melihat ancaman terhadap hutan adat. “Orang tua saya tidak mewariskan harta, mereka hanya mewariskan hutan bagi saya. Kalau sudah tidak ada lagi hutan adat, saya tidak bisa lagi disebut sebagai perempuan adat. Lalu, bagaimana nanti dengan anak cucu saya?” ujarnya.

Kepala Kampanye Global Greenpeace untuk Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan selama dua dekade bekerja di Papua, pihaknya menyaksikan langsung perubahan lanskap.

Peluncurcan Buku Surga yang Dibisukan (Foto: Greenpeace)

“Alam Papua yang sebelumnya utuh perlahan terancam deforestasi yang semakin nyata. Di sisi lain, kami juga mendokumentasikan cara hidup masyarakat adat yang menjaga kelestarian alam. Semua yang ada di Papua bisa hilang jika tidak dijaga betul-betul. Menjaga Tanah Papua menjadi tanggung jawab kolektif berbagai pihak,” katanya.

Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup, Widhi Handoyo, menekankan pentingnya kolaborasi untuk mencari solusi perlindungan lingkungan yang sejalan dengan pengembangan potensi wilayah. Ia mencontohkan Raja Ampat yang memiliki fungsi lindung lebih dari 70 persen.

“Bayangkan jika satu wilayah saja memiliki fungsi lindung sedemikian besar. Prioritas pengembangan wilayahnya harus berbasis kondisi di lapangan, misalnya sektor perikanan dan pariwisata sesuai potensi utama yang dimiliki,” ujar Widhi.

Buku foto "Surga yang Dibisukan" berisi empat segmen: kisah budaya dan keseharian masyarakat adat, potret kekayaan biodiversitas Papua, ancaman kerusakan lingkungan, dan dokumentasi praktik baik untuk masa depan Papua. Sejumlah foto pilihan dipamerkan di area peluncuran.

Antropolog asal Papua, Enrico Kondologit, menyebut keragaman perspektif dalam buku ini penting untuk orang Papua sendiri. “Antropologi visual seperti ini adalah salah satu jawaban untuk memberikan informasi pada masyarakat Papua agar bisa mengambil langkah konkret untuk masa depan Papua,” ujarnya.

Enrico menambahkan, dokumentasi semacam ini penting karena tidak semua wilayah Papua memiliki akses informasi yang memadai. “Di Jayapura mungkin mudah mendapat informasi, tapi di daerah seperti Pegunungan Bintang atau perbatasan, informasi itu tidak terjangkau. Dokumentasi Greenpeace memberi tambahan data penting bagi kami untuk bertindak dan melakukan advokasi,” katanya. Ia berharap pameran serupa tak hanya digelar di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar Papua seperti Jayapura, Sorong, atau Merauke.

Acara peluncuran turut dimeriahkan penampilan grup musik Sunrise West Papua dan Navicula. Sore itu, Navicula membawakan lagu baru bertajuk Papua yang mereka dedikasikan untuk tanah dan masyarakat Papua.