Hutan Terus Dibuka, Risiko Infeksi Zoonosis Meningkat

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Senin, 18 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Saat malam tiba di hutan Panama, masa oposum dimulai. Hewan berkantung yang menghabiskan siang hari dengan tidur di pohon ini memanjat batang pohon dan mencari buah, katak, atau telur di tanah. Hewan omnivora ini juga sering kali membawa parasit berbahaya—patogen penyakit Chagas.

Penyakit Chagas disebabkan oleh parasit bersel tunggal Trypanosoma cruzi. Vektor utamanya adalah serangga predator penghisap darah, yang biasanya menularkan patogen melalui tinja atau urin ketika mereka menggigit manusia atau hewan untuk mencari makanan yang mengandung darah. Selain manusia, lebih dari 180 spesies hewan liar dan domestik dapat menjadi inang, sehingga pemberantasan penyakit ini menjadi sangat sulit.

Sebuah studi baru oleh Universitas Ulm yang diterbitkan dalam jurnal One Health kini menunjukkan bahwa semakin banyak manusia melakukan intervensi terhadap alam, semakin banyak hewan inang yang terinfeksi Trypanosoma cruzi, membuat risiko penyebaran penyakit tropis semakin besar. 

“Hasil penelitian kami menunjukkan bagaimana manusia memengaruhi keanekaragaman hewan liar—dan bagaimana hilangnya keanekaragaman hayati mengubah dinamika patogen,” kata penulis utama Magdalena Meyer dari Institute of Evolutionary Ecology and Conversation Genomics di Ulm University melalui situs institusi tersebut. 

Oposum, satwa marsupial yang paling rentan terinfeksi parasit Trypanosoma cruzi, yang menyebabkan penyakit zoonosis Chagas.

Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana penggunaan lahan dan perubahan keanekaragaman hayati dapat berkontribusi terhadap penyebaran patogen zoonosis.

Studi ini menganalisis mamalia kecil di berbagai habitat: dari hutan hujan alami hingga perkebunan kayu komersial. Para peneliti mengamati lebih dari 800 mamalia kecil di 23 lokasi di wilayah sekitar Terusan Panama—di hutan hujan yang masih asli, di pulau-pulau yang dilindungi, di petak-petak hutan yang terfragmentasi, dan di monokultur jati.

Para peneliti menemukan bahwa komposisi komunitas satwa liar berubah. Di habitat yang terganggu, yang paling dominan adalah oposum yang mampu beradaptasi. Karena hewan berkantung merupakan inang yang sangat rentan, patogen Chagas juga mendapat manfaat dari hal ini.

“Meningkatnya penyebaran oposum meningkatkan bahaya penularan patogen ke ternak, hewan peliharaan, atau manusia,” kata Meyer. Pada saat yang sama, para ilmuwan mengamati bahwa keragaman genetik spesies inang lainnya—tikus berduri—menurun di habitat yang terganggu. Hal ini juga mendukung penyebaran patogen.

Menurut Meyer, hasil penelitian ini mempunyai implikasi langsung terhadap perlindungan kesehatan: jutaan orang di seluruh dunia terkena penyakit Chagas, khususnya kelompok masyarakat miskin di Amerika Latin. Namun, penyakit tropis yang terabaikan ini hanya mendapat sedikit perhatian internasional.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia, 6 hingga 7 juta orang terinfeksi penyakit Chagas di seluruh dunia, dan sekitar 75 juta orang tinggal di wilayah berisiko—terutama di Amerika Latin. Jika tidak diobati, infeksi ini dapat menyebabkan masalah jantung atau pencernaan yang parah, yang dapat mengancam jiwa.

Meskipun ada obat yang efektif pada tahap awal penyakit ini, vaksinnya belum ada. Penyakit ini kini sedang menyebar—didukung oleh perubahan iklim, yang menciptakan kondisi lingkungan baru di mana serangga predator ini dapat menjadikan dirinya sebagai vektor.

“Penelitian kami secara mengesankan menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam makna pendekatan One Health,” kata Simone Sommer, pemimpin studi tersebut. “Perlindungan terbaik terhadap penyebaran penyakit-penyakit tersebut adalah pelestarian ekosistem utuh dengan keanekaragaman hayati alaminya.”