Cenderawasih: Turun dari Surga, Mati di Karnaval
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Satwa
Kamis, 21 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Deru tambur dan tiupan terompet bergema di Lapangan Trisila, Jayapura, Senin, 18 Agustus 2025 siang. Ratusan peserta karnaval berbaris rapi, dari siswa sekolah, paguyuban, dan komunitas.
Busana warna-warni dengan motif nusantara berpadu dengan hiasan megah di kepala. Sorak-sorai penonton pecah ketika barisan anak sekolah lewat. Penyebabnya adalah karena anak-anak itu sebagiannya memakai mahkota menyerupai bulu cenderawasih, burung surga yang menjadi ikon Tanah Papua.
Bagi masyarakat Papua, cenderawasih bukan sekadar burung. Ia adalah lambang martabat, keindahan, dan keagungan.
Dalam upacara adat, burung cenderawasih menjadi pelengkap busana kepala suku hingga penari. Adapun mahkota cenderawasih hanya bisa dipakai oleh tetua adat atau raja.

Makna simbolik itu telah merambah ke panggung negara, seperti di Lapangan Trisila itu. Pada karnaval bertajuk Numbay Nusantara Carnival yang diselenggarakan Pemerintah Kota Jayapura ini, cenderawasih menari bukan di hutan rimba, melainkan dalam bentuk bangkai yang dipakai pelajar dan guru mereka.
Burung Dilindungi
Cenderawasih adalah satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang kini diperbarui lewat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024. Namun, perburuan dan perdagangan ilegal masih mengancam populasinya.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Johny Santoso mengakui praktik penggunaan hingga perdagangan mahkota berbahan bulu burung cenderawasih masih terjadi di Tanah Papua, bahkan hingga dibawa keluar daerah. Kepala BBKSDA Papua menegaskan perlunya keterlibatan masyarakat luas dalam pengawasan karena luasnya wilayah Papua tak mungkin hanya diawasi aparat.
“Masih ada mahkota cenderawasih yang digunakan di Papua sendiri, bahkan ada yang dibawa keluar. Upaya sosialisasi dan pengawasan terus kami lakukan, tapi peran serta masyarakat luas sangat dibutuhkan,” kata Kepala BBKSDA Papua saat ditemui di ruangan kerjanya, di Jayapura, Selasa, 19 Agustus 2025.
Menurutnya, kesadaran publik menjadi kunci, karena pengawasan tidak bisa dilakukan secara terus-menerus oleh aparat. Dia mengatakan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga telah berperan dalam kampanye pelestarian satwa endemik Papua tersebut. “Pemimpin di Tanah Papua juga pernah menyuarakan hal ini. Bahkan ada edaran Gubernur Papua tahun 2017 tentang larangan penggunaan cenderawasih,” ujarnya.
Meski begitu, peredaran satwa dilindungi masih sulit dihentikan. BBKSDA mengklaim dalam dua tahun terakhir ada dua kasus perdagangan ilegal cenderawasih yang sedang diproses oleh Balai Penegakan Hukum Kehutanan. “Upaya penegakan hukum sudah berjalan, tetapi harus diakui masih ada yang lolos dari pengawasan,” klaimnya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, yang menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1990, memperkuat sanksi bagi pelaku perdagangan satwa dilindungi. Hukuman kini ditetapkan minimal tiga tahun penjara dengan denda yang lebih tinggi.
BBKSDA Papua saat ini menerapkan lima klaster pengawasan peredaran satwa, yakni di pelabuhan, bandara, pasar-pasar, pemukiman, serta perairan dan pulau-pulau kecil. “Kami akan menggelar sosialisasi kembali September mendatang, sekaligus pengawasan terpadu,” ujarnya.
Sebagai langkah alternatif, kata dia lagi, pihaknya juga mendorong penggunaan mahkota replika. “Sekarang sudah banyak replika cenderawasih yang harganya ratusan ribu rupiah. Dalam acara resmi, kami sendiri memakai replika, bukan yang asli,” klaimnya.
Menurutnya, penindakan hukum akan difokuskan pada pengedar, sementara kepada masyarakat kecil pendekatannya lebih persuasif. “Kalau masyarakat hanya satu-dua ekor, biasanya kami lakukan pendekatan persuasif. Tapi untuk pengedar, itu jelas harus diproses hukum,” katanya.
Upaya separuh hati
Mama Tina adalah satu dari tiga penjual orang asli Papua yang berjualan mahkota cenderawasih asli di Kota Jayapura. Cenderawasih adalah burung endemik Papua dengan bulu yang teramat indah. Ada 28 jenis cenderawasih di Papua. Karena pemburuan dan konservasi lahan, burung ini populasinya terus menurun.
Kini burung dari surga itu dalam status dilindungi. Tapi Mama Tina menjualnya secara terang-terangan. Dia merasa sedang menjaga tradisi.
Mama Tina bercerita, mahkota dari bulu burung cenderawasih ada harganya, berbeda dengan mahkota dari bulu kasuari yang boleh dijual Rp300 ribu per buah. “Harga biasanya Rp3 juta. Kalau minta kurang, bisa Rp2,5 juta sampai Rp2 juta kita kasih,” kata Mama Tina.
Dia mengungkapkan, mahkota cenderawasih selalu laris saat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI. Pada HUT ke-78 yang lalu, ia paling kurang menjual 4 mahkota. Di luar bulan tersebut, katanya, permintaan berkurang.
“Pas momen 17-an semua jualan habis diborong. Bahkan sampai dengan rumbai-rumbai, semua habis. Tapi kalau hari biasa, susah habis. Kebanyakan satu mahkota baru bisa terjual dalam 1 bulan atau lebih,” ujar Mama Tina dikutip Lelemuku.com.
Namun, pegiat konservasi Papua, Rachmat Saleh, menilai upaya pemerintah masih setengah hati. Menurutnya, cenderawasih bukan sekadar burung, tetapi simbol kehidupan hutan dan identitas orang asli Papua. “Kalau cenderawasih punah, OAP akan kehilangan kebanggaan, identitas budaya, bahkan ikatan spiritual dengan tanah Papua,” kata Rachmat saat dihubungi melalui telepon selulernya.
Ia menyoroti praktik eksploitasi simbol cenderawasih untuk pariwisata dan kepentingan seremonial, sementara perlindungan habitatnya diabaikan. “Pemerintah sibuk menjadikan cenderawasih sebagai ikon, tapi tidak serius melindungi. Hutan tempat burung ini hidup malah dibuka untuk tambang, logging, dan proyek strategis nasional,” ujarnya.
Rachmat juga menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum. Menurutnya, masyarakat kecil kerap dituding sebagai pelaku utama, padahal hanya menjadi mata rantai paling bawah. “Ada jaringan besar di balik perdagangan cenderawasih, melibatkan pembeli, kolektor, hingga oknum aparat. Kalau hanya masyarakat kecil yang dihukum, itu ketidakadilan,” katanya.
Sebagai jalan tengah, sambungnya, ia mendorong penggunaan replika berkualitas tinggi buatan seniman Papua, yang tetap menghormati nilai budaya sekaligus mengurangi perburuan. “Replika bisa jadi solusi. Sementara itu, ekonomi masyarakat bisa diarahkan ke pariwisata berbasis konservasi, seperti birdwatching. Jadi hutan terjaga, burung hidup, budaya tetap lestari,” ujar Rachmat.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Johny Banua Rouw sependapat jika dari aspirasi yang terdengar selama ini terkait perlindungan satwa dilindungi khususnya Cenderawasih bisa mendapat tempat yang lebih kuat dalam bentuk produk hukum. Ia tak memungkiri bahwa jika melihat dengan kondisi terkini satwa dilindungi endemic Papua maka sudah waktunya diproteksi dengan aturan.
“Saya pikir saya sepakat bahwa ada yang harus kita proteksi dan menurut saya ini tidak sulit mengingat turunannya yakni undang – undang sudah ada yang mengatur, tinggal kita kawal dari regulasi daerah,” kata Johny Banua, Minggu, 10 Oktober 2021, usai menerima aspirasi kelompok muda peduli lingkungan di Jayapura dalam penutupan Aksi Muda Jaga Iklim di Pantai Holtekam, seperti dikutip Ceposonline.com.