Sidang Kriminalisasi 11 Warga Maba Diminta Setop
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Kamis, 21 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi massa dan mimbar rakyat digelar Solidaritas Lawan Kriminalisasi bersama Koalisi Maba Sangaji di depan gedung PT Position, di Jakarta, pada 20 Agustus 2025. Aksi dilakukan demi mendesak Pengadilan Negeri (PN) Soasio, agar segera menghentikan dan membebaskan 11 masyarakat adat Maba Sangaji, yang dikriminalisasi dan kini ditahan di Rutan Tidore.
Warga beranggapan, sedari awal ke-11 warga ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polda Maluku Utara, lalu pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini bermula pada 18 Mei 2025, saat sekitar 27 masyarakat Maba Sangaji melakukan ritual adat secara damai dan memberikan surat keberatan dan tuntutan adat, karena PT Position dinilai telah merusak dan merampas tanah, hutan, dan sungai masyarakat adat. Ritual adat tersebut kemudian dibubarkan secara represif oleh aparat gabungan dan berbuntut penetapan 11 orang sebagai tersangka.
Sebelas masyarakat adat tersebut dijerat dengan pasal dalam KUHP tentang pemerasan dan pengancaman, UU Darurat karena membawa senjata tajam, serta UU Minerba yakni menghalangi dan merintangi pertambangan. Kini kasus kriminalisasi tersebut sampai ke tahap persidangan di PN Soasio, Tidore Kepulauan.

Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Prinsip Anti-SLAPP yang sudah diakui dalam Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Bahkan Anti-Slapp diatur dalam Perma 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
“Jika aparat kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak mempertimbangkan Anti-Slapp, maka sudah seharusnya PN Soasio mempertimbangkan dan menghentikan kasus ini berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2023 sebagaimana menjadi pedoman bagi hakim untuk mengadili perkara tersebut,” kata Wildan dari Trend Asia yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Maba Sangaji, dalam sebuah keterangan tertulis, 20 Agustus 2025.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), eksploitasi tambang nikel di Halmahera terus mengalami perluasan. Hingga saat ini, ada 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 655.581,43 hektare di Maluku Utara, 62 IUP di antaranya dengan luas 239.737,35 hektare adalah tambang nikel yang tersebar di Halmahera Timur, Tengah, dan Selatan. Seluruh operasi tambang tersebut telah menghancurkan hutan, mencemari sungai dan laut, dan menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya, bahkan suara penolakan rakyat direspons dengan tindakan kriminalisasi dari perusahaan tambang melalui TNI dan Polri.
Hema Situmorang dari Jatam, mengatakan apa yang dialami 11 warga Maba Sangaji, terjadi juga di berbagai wilayah operasi tambang lainnya. Perusahaan tambang datang tanpa persetujuan warga, kampung dihancurkan, setelah untung lalu pergi. Sedangkan yang merasakan dampak buruknya adalah warga yang tinggal di sekitar tambang.
“Jika, ada warga yang berani menolak dan bersuara akan dihajar, diancam, dan dikriminalisasi. Padahal PT Position memiliki setumpuk catatan yang bermasalah, mulai dari izin yang diperoleh tanpa sepengetahuan warga, melakukan penambangan di kawasan hutan adat dan hutan lindung, sampai dengan mencemari Sungai Sangaji,” kata Hema, yang sekaligus Juru Kampanye Aksi.
Hema melanjutkan, selain PT Position, ada sejumlah aktivitas tambang lainnya yang mencemari Sungai Sangaji, yaitu PT Wana Kencana Mineral, PT Nusa Karya Arindo dan PT Weda Bay Nickel yang menjadi bagian dari PT IWIP. Dampak masifnya operasi tambang di Halmahera, telah mengakibatkan permasalahan terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari Masyarakat adat, termasuk hilangnya akses terhadap air bersih akibat pencemaran sungai, rusaknya lahan pertanian, dan terancamnya sumber penghidupan.
Solidaritas Lawan Kriminalisasi bersama Koalisi Maba Sangaji menuntut PN Soasio segera menghentikan perkara a quo karena alasan SLAPP berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Kemudian, memulihkan hak serta kemampuan sebelas warga Maba Sangaji dengan harkat dan martabatnya dalam kedudukan yang semula.
Selanjutnya, izin PT Position dan seluruh tambang yang merampas tanah merusak hutan dan sungai harus dicabut, dan Pemerintah Indonesia harus menghentikan seluruh pertambangan nikel di Maluku Utara karena telah merusak lingkungan hidup dan mengancam keselamatan rakyat.
Eksepsi 11 terdakwa ditolak
Sementara itu di Soasio, 11 pejuang lingkungan dari Maba Sangaji mengikuti sidang yang ketiga kalinya di PN Soasio dengan agenda pembacaan Putusan Sela pada perkara Pidana dengan No 109/PID.B/2025/PN SOS atas nama Sahil Abubakar dkk., dan pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan nomor perkara 99/PID.B/2025/PN SOS - 108/PID.B/2025/PN SOS.
Dalam perkara kali ini, majelis hakim menolak eksepsi tersebut. Padahal dalam eksepsi pengacara warga, yakni Tim Advokasi Anti Kriminalisasi, telah diterangkan bahwa JPU tidak cermat, jelas, dan lengkap dalam memberikan dakwaan kepada perkara 109/PID.B/2025/PN SOS.
Tim Advokasi melihat bahwa perbuatan pidana para terdakwa tidak diuraikan dengan jelas dan lengkap berdasarkan pasal yang didakwakan, bahkan JPU keliru dalam menerapkan pasal dakwaan. Maka jika demikian, hakim seharusnya memberikan putusan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b dan ayat (3) KUHAP.
Bahkan, dakwaan tersebut bertentangan dengan prinsip Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 66 UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam sidang, majelis hakim berpendapat bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan sebelas tahanan sebagai pejuang lingkungan. Majelis hakim saat membacakan Putusan Sela juga menyampaikan bahwa perkara terkait Anti-SLAPP akan diperiksa saat pemeriksaan sidang pokok.
“Oleh karenanya, kami mendorong hakim agar memakai Perma 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup saat agenda pemeriksaan pokok perkara nanti dan harus secara objektif melihat kasus ini serta memegang prinsip hak asasi manusia sebagai landasan,“ ucap Wetub, pengacara 11 warga Maba Sangaji.
Proses sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak JPU yaitu bagian keamanan PT Position dan saksi ahli dari Dinas Kehutanan Halmahera Timur. Pada pokoknya saksi bagian keamanan PT Position menjelaskan dalam keterangannya bahwa sebelas terdakwa membawa senjata tajam dan secara tidak langsung mengancam para pekerja sehingga aktivitas pertambangan dihentikan karena ada ancaman tersebut.
Pernyataan ini tidak sesuai dengan pernyataan lanjutannya, karena saksi juga menjelaskan bahwa sebelas terdakwa tidak melakukan kekerasan dengan membawa sajam. Ketidaksesuaian pernyataan ini juga terlihat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyatakan bahwa saksi merasa takut atas kehadiran warga tetapi dalam persidangan saksi memberikan pernyataan lain bahwa dia tidak takut dan merasa terancam.
“Artinya, ancaman dengan membawa sajam di BAP dan dakwaan JPU hanyalah alibi atau dibuat-buat. Kami melihat bahwa alasan ini sengaja dimunculkan untuk sengaja menjerat terdakwa dalam tindakan pidana. Inilah bentuk kriminalisasi,” kata Wetub.
JPU menghadirkan ahli dari Dinas Kehutanan Halmahera Timur. Ahli ini menerangkan bahwa lokasi ritual yang dilakukan oleh Para Terdakwa bukan merupakan hutan adat melainkan areal konsesi yang dikuasai oleh PT Position. Ahli mengabaikan fakta bahwa masyarakat adat telah terlebih dahulu hadir memanfaatkan hutan sebagai ruang hidup dan ekonominya, bahkan selama ratusan tahun lamanya.
"Hal ini memperjelas situasi di Halmahera Timur secara khusus, dan Maluku Utara dalam skala yang lebih luas, bahwa sistem hukum kita dan sistem ekonomi ekstraktif telah melupakan sejarah dan memilih pertambangan nikel, yang secara faktual telah merusak hutan dan ekosistem di dalamnya untuk kepentingan ekonomi segelintir orang. Alih-alih melindungi masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan, sebaliknya mereka disingkirkan secara paksa," ujar Wetub.