Penaikan Pungutan Batu Bara Bisa Atasi Ketimpangan Ekonomi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Selasa, 02 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah dinilai harus segera menaikkan pungutan produksi batu bara dan melakukan reformasi fiskal untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang kian melebar. Pasalnya, ketidakadilan ekonomi merupakan akar permasalahan yang memicu gelombang protes masyarakat dalam sepekan terakhir. Demikian menurut sejumlah pengamat dari kelompok masyarakat sipil.
Menurut kelompok masyarakat sipil, salah satu yang harus diperhatikan secara serius dalam persoalan ini adalah soal ketimpangan pendapatan, seperti yang baru-baru ini terungkap secara luas terkait pendapatan dan penghasilan anggota DPR dan pejabat pemerintah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka Gini Ratio—ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi dalam suatu populasi, khususnya dalam hal distribusi pendapatan atau kekayaan—Indonesia, khususnya lima tahun terakhir, relatif stagnan dengan data terakhir di angka 0,375 (Maret 2025).
Penting dicatat, angka ketimpangan yang riil jauh lebih tinggi dari data tersebut. Sementara itu, berdasarkan World Inequality Report 2022, ketimpangan pendapatan rata-rata antara 1 persen penduduk teratas dengan 50 persen yang terbawah di Indonesia mencapai lebih dari 73 kali lipat. Di saat yang sama, 1 persen penduduk teratas memproduksi emisi rata-rata lebih dari 30 kali lipat lebih banyak dari 50 persen penduduk terbawah di Indonesia.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya, mengatakan, gelombang protes yang sedang berlangsung merupakan peringatan dini adanya ketidakadilan ekonomi yang besar. Ketimpangan ini tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi, tapi juga melemahkan kohesi sosial dan menciptakan kebijakan yang bias mendukung kepentingan elite.

“Pemerintah harus segera mengoreksi ketidakadilan ekonomi dan menjadikannya kebijakan prioritas. Kenaikan pungutan produksi batu bara merupakan solusi cepat bagi tekanan fiskal saat ini yang harus disusul paket reformasi fiskal secara menyeluruh,” ujarnya, dalam sebuah keterangan tertulis, Senin (1/9/2025).
Menurut Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, 1 persen penduduk terkaya di Indonesia mendominasi peran sebagai pengambil kebijakan lewat sejumlah fungsi di pemerintahan, sementara masyarakat kerap menjadi korban kebijakan yang berdampak signifikan pada kondisi perekonomian. Reformasi fiskal menjadi salah satu kunci.
Sehingga, reformasi fiskal perlu diarahkan pada dua strategi utama. Pertama, meningkatkan penerimaan dari kelompok ekonomi teratas, bukan dari rakyat kecil. Kedua, meninjau kembali belanja negara yang selama ini justru memperkuat ketimpangan.
“Pemerintah mempunyai pilihan untuk memberlakukan pajak kekayaan progresif kepada 1 persen penduduk terkaya di Indonesia, dan juga pajak atas kepemilikan industri ekstraktif yang padat emisi karbon, merusak serta mencemari lingkungan. Langkah ini penting tak hanya untuk pemerataan kesejahteraan, tapi juga untuk membatasi kekuasaan oligarki yang kerap memengaruhi politik, kebijakan, dan hukum lewat kekuatan modal,” kata Ashov.
Untuk menambah penerimaan negara, Tata menambahkan, pemerintah harus segera melirik industri ekstraktif, yang kontribusinya masih sangat rendah dibandingkan potensinya. Langkah ini penting agar penerimaan negara lebih adil dan tidak lagi bergantung pada beban masyarakat kelas menengah dan bawah.
Kajian Sustain menunjukkan bahwa dengan menaikkan pungutan produksi batu bara—sektor ekstraktif yang meraih super normal profit—negara berpotensi memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp84,55 triliun hingga Rp353,7 triliun per tahun. Selain untuk pengembangan energi terbarukan, dana ini dapat digunakan untuk mendanai program-program perlindungan sosial, pendidikan, dan layanan publik yang lebih merata.
“Dalam jangka panjang, Pemerintahan Prabowo harus menempatkan ‘kesejahteraan berkelanjutan’ sebagai arah utama pembangunan—yakni kebijakan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan,” ucap Tata.
Ashov menegaskan, masalah lingkungan-iklim adalah masalah ketimpangan. Kebijakan lingkungan-iklim harus mengarah kepada kesetaraan yang lebih besar. Biaya untuk transisi yang berkeadilan haruslah ditanggung oleh elite dan korporasi pencemar.
“Pemerintah juga, atas nama rasa keadilan dan kohesi sosial, bisa mempertimbangkan untuk mengkompresi kesenjangan pendapatan. Publik yang semakin jengah dan benci kepada korupsi para petugas negara juga semakin kuat menyuarakan untuk segera dibahas dan ditetapkannya RUU Perampasan Aset,” ujar Ashov.