Kritik di Ultah IWIP: Penaklukan Alam Berkedok Transisi Energi

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Selasa, 02 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), kawasan pengolahan logam berat terpadu di Halmahera Tengah, Maluku Utara, kembali menerima kritik dari pegiat lingkungan. Aktivitas industri tersebut dinilai telah merusak lingkungan, menimbulkan konflik sosial, serta menghilangkan penghidupan masyarakat adat dan komunitas lokal. 

Bulan lalu PT IWIP memasuki tahun ketujuh beroperasi di Maluku Utara, sejak diiniasi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kawasan industri seluas 4.027 hektare terdiri dari berbagai jenis industri, termasuk pemurnian dan peleburan ore nikel. 

“Lebih daripada itu, IWIP adalah manifestasi 'kolonialisme ekstraktif' yang tengah merampok dan menaklukkan Halmahera beserta pulau-pulau kecil lainnya yang mengandung bijih nikel,” kata Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji. 

Seluruh rangkaian operasi IWIP sarat akan penghancuran lingkungan hidup. Termasuk ruang produksi warga serta infrastruktur-infrastruktur ekologis yang merupakan syarat mutlak kehidupan,” katanya.  

Warga lingkar tambang Halmahera Tengah ini melakukan aksi protes di Kawasan Pesisir Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah pada Kamis (13/2/2025).

Menurut Julfikar, PT IWIP juga menerima berbagai keistimewaan, mulai dari penetapannya sebagai proyek strategis nasional, yang membuatnya menerima berbagai kemudahan bisnis, serta perluasan kawasan tiga kali lipat menjadi 13.784 hektare dari dalam RTRW 2024-2043. Teranyar, PT IWIP masuk ke  dalam prioritas nasional hilirisasi sumber daya alam unggulan. 

“Padahal, wilayah di mana IWIP beroperasi tadinya merupakan ruang pangan dan sumber air warga yang kemudian dirampas dan dihilangkan. Kesehatan warga pun turut ambruk. Pencaplokan dan ahli fungsi lahan secara besar-besaran membuat warga lokal kehilangan cara untuk memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri,” ujar Julfikar. 

“Operasi IWIP merampas lahan pertanian, menggusur kebun, dan mencemari sungai. Akibatnya, warga terpaksa bergantung pada pasokan pangan dari luar wilayah. Ironisnya, mereka harus merogoh kocek demi mendapatkan air bersih—yang tadinya warga bisa mengakses secara cuma-cuma,” kata Julfikar. 

Laporan Nexus3 Foundation bersama dengan Universitas Tadulako Mei lalu mengungkap,  logam berat tidak hanya mencemari lingkungan di wilayah sekitar kawasan IWIP, tetapi juga ikan dan manusia. Ini menjadi ancaman bagi kesehatan warga melalui rantai makanan. Penelitian yang sama mengungkap bahwa puluhan sampel darah pekerja dan warga sekitar IWIP mengandung merkuri dan arsenik dalam kadar melebihi ambang aman. 

Berdasarkan data yang dihimpun, sebanyak 17.747 orang—merupakan penduduk lokal , belum termasuk buruh—menjalani hidup paling dekat dengan pusat Industri PT IWIP. Wilayah-wilayahnya meliputi Desa Kulo Jaya, Lelilef Sawai, Lelilef Waibulan, Woejerana, Sawai Itepo, Woekob, Gemaf, serta Desa Sagea dan Kiya. 

Adapun kawasan IWIP dikelilingi oleh sejumlah konsesi tambang di pulau-pulau kecil yang masuk dalam kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, termasuk tambang nikel, batu gamping, dan batu bara. PT Weda Bay Nickel, misalnya, memiliki konsesi lebih dari 45.000 hektare menjadi pemasok utama ore nikel ke kawasan industri tersebut. 

Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea serta Warga Halmahera Tengah, mengatakan aktivitas pertambangan berbagai perusahaan telah merusak sawah warga karena sedimentasi tambang nikel. Sungai-sungai juga tercemar, hutan adat dibongkar, dan laut tercemar. 

“Bahaya ekologi juga tak terlepas membuntuti wilayah Sagea, Halmahera Tengah, yang kini menjadi salah wilayah yang terancam hancur. Bentang alam karst pada area tersebut dalam bayang-bayang kerusakan jika operasi tambang batu gamping tergelar. Pada saat yang sama, batu gamping tersebut diduga akan dipasok ke IWIP sebagai bahan pemurnian nikel,” kata Mardani.