Sidang Perdana Warga Pari vs. Holcim Digelar di Swiss
Penulis : Kennial Laia
Iklim
Kamis, 04 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sidang gugatan iklim warga Pulau Pari melawan raksasa semen Holcim digelar perdana di Swiss. Dua penggugat hadir langsung menyuarakan dampak yang mereka alami.
Sidang tersebut digelar di Pengadilan Cantonal, Zug, Swiss, Rabu, 3 September 2025. Dalam gugatannya, empat warga Pari mendesak perusahaan asal Swiss tersebut untuk mengurangi emisi serta menanggung biaya adaptasi masyarakat terhadap krisis iklim.
Asmania, yang mewakili warga penggugat, mengatakan warga di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, mengalami kerugian akibat krisis iklim. Di antaranya, hasil tangkapan ikan menurun, banjir rob merusak rumah dan mencemari sumber air bersih, jumlah wisatawan yang terus berkurang, hingga penyusutan daratan pulau yang diprediksi hanya tersisa sepertiga pada 2050.
“Setiap ton karbon dioksida yang dikurangi sangat berharga bagi kami. Setiap pendanaan yang membantu kami beradaptasi dan memperbaiki kerusakan sangat berarti bagi masa depan kami. Oleh karena itu, kami memohon kepada hakim agar tuntutan kami dikabulkan,” kata Asmania, yang hadir di sidang secara langsung, Rabu, 3 September 2025.

Warga menuntut Holcim untuk mengurangi emisi sebesar 69 persen pada 2040 sesuai target Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) untuk menjaga suhu bumi di bawah 1.5C, menghentikan tambahan emisi baru, serta memberikan kompensasi finansial kepada warga terdampak. Holcim juga diminta menanggung biaya adaptasi warga agar dapat melindungi diri dan tempat tinggal mereka.
Menurut data Walhi Jakarta, Holcim menghasilkan lebih dari 7 miliar ton emisi karbon dioksida sejak 1950. Holcim sendiri merupakan perusahaan terbesar di dunia.
Kuasa hukum penggugat Cordelia Bähr mengatakan, gugatan terhadap Holcim didasarkan pada hukum perdata Swiss yang menegaskan siapapun yang hak pribadinya dilanggar secara tidak sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk melindungi dirinya. Lalu dia dapat meminta ganti rugi finansial, menghentikan pelanggaran yang sedang terjadi, atau menetapkan bahwa pelanggaran tersebut tidak sah jika terus menimbulkan gugatan.
Tak hanya itu, gugatan iklim terhadap Holcim juga sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Iklim Swiss yang disahkan pada 2023. Aturan tersebut mengatur bahwa tuntutan hukum secara perdata dalam konteks perubahan iklim dapat dilakukan.
“Namun, tugas pengadilan tidak hanya menetapkan hukum pada situasi yang telah diketahui, tetapi juga dapat menetapkan hukum baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan masyarakat yang terus berkembang,” kata Bähr.
Gugatan ini merupakan yang pertama di Swiss.
Gugatan ini turut melibatkan Walhi, European Centre for Constitutional and Human Rights (ECCHR), dan HEKS sebagai organisasi pendamping penggugat.
Respon Holcim
Dalam sidang tersebut, kuasa hukum Holcim, Felix Dasser, melemparkan koin sebesar CHF 4 atau setara Rp80.000 di hadapan persidangan. Dasser juga menyatakan, klaim keuangan terbatas yang diajukan penggugat tidak relevan.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitriah Tanjung yang turut hadir mengatakan, kuasa hukum Holcim, Stefanie Pfisterer dan Felix Dasser, menuding gugatan tersebut “diorkestrasi” organisasi pendamping warga. Di antaranya Walhi, European Centre for Constitutional and Human Rights (ECCHR), dan HEKS/EPER.
Suci menilai sikap kedua pengacara Holcim itu merupakan penghinaan terhadap penggugat yang sedang memperjuangkan keberlanjutan hidupnya dari ancaman krisis iklim.
“Hal ini sekaligus memperlihatkan arogansi Holcim sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia yang berusaha berkilah dan meremehkan penderitaan penggugat yang terdampak langsung oleh krisis iklim,” kata Suci di hadapan media massa setelah persidangan berlangsung.
“Tuduhan bahwa gugatan ini ‘diorkestrasi’ hanyalah kedok untuk menghindari tanggung jawab atas kerusakan nyata yang mereka timbulkan,” kata Suci.
Majelis hakim Pengadilan Cantonal Zug akan menyampaikan putusan resmi terhadap kasus ini dalam beberapa pekan ke depan. Sidang ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjuangan hukum transnasional. Untuk pertama kalinya, empat warga dari sebuah pulau kecil di Indonesia berdiri di hadapan pengadilan di Eropa, menuntut pertanggungjawaban salah satu korporasi besar dunia atas kontribusinya terhadap krisis iklim.
Jika gugatan dikabulkan, putusan hakim menjadi landasan hukum baru yang membuka jalan bagi warga dari negara-negara lain untuk menuntut tanggung jawab serupa dari perusahaan-perusahaan besar penyumbang emisi di dunia.