RUU Perampasan Aset Tak Boleh Dibahas di Kamar Gelap
Penulis : Kennial Laia
Hukum
Jumat, 12 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset harus melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh lapisan masyarakat sipil. Menurut koalisi masyarakat sipil, hal ini penting untuk mencegah produk hukum yang hanya melayani kepentingan sejumlah elit. Pembahasannya pun tidak boleh serampangan.
Setelah banyaknya desakan, termasuk pada gelombang demonstrasi sepanjang 25 Agustus-30 September 2025, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU Perampasan Aset di program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Sebelumnya pada 2023, draf aturan ini juga masuk dalam prioritas namun tidak dilanjutkan dengan pembahasan.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah, yang termasuk dalam koalisi mengatakan, pembahasan RUU ini harus transparan dan melibatkan partisipasi bermakna dari publik.
"Maka, yang harus dilakukan oleh DPR adalah bukan untuk segera mengesahkan, melainkan perlu ada pembahasan dan membuka ruang publik agar mendapatkan masukan sehingga prinsip partisipasi bermakna dapat terpenuhi. Sebab, publik tidak mengetahui draf RUU mana yang nantinya akan dibahas oleh DPR," kata Wana kepada redaksi, Rabu, 10 September 2025.

“Dengan waktu yang tersisa saat ini, kami mendesak agar DPR dapat segera memublikasikan draf RUU terbaru agar publik dapat memberikan masukan. Hal ini untuk mencegah adanya pasal yang ditambahkan atau hilang demi mengakomodir kepentingan elit,” kata Wana.
“Keterbukaan juga menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan oleh DPR mengingat beberapa preseden pembahasan RUU tidak melibatkan partisipasi publik,” katanya.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra mengatakan, pembahasan RUU Perampasan Aset juga harus sejalan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP. Ini relevan karena adanya pasal-pasal bersinggungan dalam kedua produk hukum tersebut.
RUU perampasan aset dan kejahatan SDA
Roni juga mencatat, salah satu poin dalam draf terakhir RUU Perampasan Aset bahwa aturan itu berlaku bagi kejahatan dengan ancaman hukuman minimal empat tahun. "Ada kejahatan dengan ancaman pidana hanya dua tahun tapi jumlah kerugiannya besar," kata Roni.
Dia mendorong agar hal itu diubah menjadi minimal dua tahun, dengan nilai aset di atas Rp100 juta. Pasalnya banyak kejahatan di sektor ekonomi, sektor perizinan sumber daya alam, dan perdagangan satwa, yang ancaman hukuman rendah seperti dua tahun. Contohnya, tindak pidana seperti penangkapan ikan tengah laut yang rata-rata ancamannya di bawah dua tahun, serta kegiatan mengambil kayu di dalam hutan tanpa izin.
“Sehingga kejahatan-kejahatan di sektor sumber daya alam dapat diberlakukan mekanisme perampasan aset,” kata Roni.
Beberapa catatan Koalisi, kata Roni, DPR wajib membahas sejumlah poin. Di antaranya kejelasan lembaga pengelola aset rampasan dan pengawasan pengelolaan aset, aturan mengenai harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya (unexplained wealth order), jumlah aset yang dapat dirampas, Mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa, serta sistem pembuktian dalam perampasan aset hasil kejahatan.