Proyek Strategis Nasional Bertentangan dengan HAM - Ahli

Penulis : Kennial Laia

Hukum

Jumat, 12 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Proyek strategis nasional (PSN) bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal tersebut disampaikan oleh ahli dalam sidang lanjutan gugatan masyarakat terhadap norma-norma yang mengatur proyek pelat merah tersebut dalam Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. 

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Herlambang Perdana Wiratraman hadir sebagai salah satu saksi ahli dalam sidang yang digelar Kamis, 11 September 2025 tersebut. Dalam keterangannya Herlambang menegaskan bahwa PSN bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

“PSN telah memakan korban begitu banyak, menyengsarakan warga, mengusir mereka dari kampung dan ruang hidupnya,” kata Herlambang. 

Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) PSN mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal yang mengatur PSN dalam Omnibus Law Juli lalu. Sebanyak 21 penggugat–warga terdampak, individual/akademisi, dan delapan organisasi masyarakat sipil kredibel–meminta hakim di Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal bermasalah yang memberikan kemudahan dan percepatan bagi proyek infrastruktur yang dilabeli PSN serta menyebut PSN sebagai kepentingan umum. 

Elisabet Ndiwaen menyampaikan protes karena kehilangan hutan oleh PSN dalam acara Konsolidasi Solidaritas Merauke, 14 Maret 2025. Dokumentasi: Sophia Nusantara

Dalam sidang untuk mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak pemohon tersebut, turut hadir kuasa hukum presiden serta perwakilan dari sejumlah kementerian. Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya hadir memberikan keterangan kembali tidak hadir. 

Dalam keterangannya, Herlambang mengatakan norma-norma PSN dalam Undang-Undang Cipta Kerja mencerminkan politik-hukum yang mengistimewakan struktur kapitalisme negara. “Frasa seperti kemudahan dan percepatan PSN menunjukkan karakter hukum yang ramah pada liberalisasi pasar. Ini bagian dari politik hukum pengistimewaan dalam logika kapitalisme,” katanya. 

“Masalah ini dapat dilihat dari pelaksanaannya di berbagai daerah yang memicu berbagai praktik perampasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Tapi sudah bermasalah dengan konsep. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya norma-noma paradoks yang tertuang dalam undang-undangnya,” kata Herlambang. 

Sementara itu antropolog dari Agrarian Resouce Center (ARC) Dianto Bachriadi menyebut PSN dibangun di atas “kesesatan logika pertumbuhan ekonomi”. Pemerintah, katanya, memaknai pembangunan hanya sebatas pertumbuhan fisik infrastruktur, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis.

“Saya tidak menemukan makna strategis dalam PSN sebagaimana digagas dalam hukum. Yang dimaksud strategis yang yang keliru,” jelas Dianto, yang juga merupakan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2012-2017 ini. 

Menurut Dianto, norma PSN dalam Undang-Undang Cipta Kerja bermasalah karena sejumlah faktor. Di antaranya menyamakan percepatan PSN dengan kepentingan umum; memasukkan proyek komersial dalam kategori kepentingan umum; serta membuka peluang PSN dimiliki atau dikuasai swasta, bukan negara.

“Ketika Undang-Undang Cipta Kerja terbit, PSN tidak lagi sepenuhnya dikuasai pemerintah atau BUMN. Ia dapat diserahkan ke swasta, termasuk dalam hal pengadaan tanah. Artinya, negara menyerahkan ruang hidup rakyat ke logika keuntungan investor,” kata Dianto.

Saksi Sukri: Rempang bukan tanah kosong

Sukri, saksi warga yang terbang jauh-jauh dari Pulau Rempang, Batam, mengatakan pemerintah keliru menyebut kampungnya itu sebagai tanah kosong. “Saya lahir di Rempang, begitu juga bapak dan nenek moyang saya. Rempang bukan tanah kosong, ada penghuninya sejak lama,” kata Sukri. 

“Sebelum PSN masuk, kami hidup sejahtera dari kebun, sehari bisa mendapatkan hingga Rp170 ribu per orang. Banyak anak Rempang kuliah dengan biaya mandiri, tetapi semua itu hilang sejak kehadiran PT Makmur Elok Graha,” ujar warga Sembulang Hulu, Kecamatan Galang ini. 

Perusahaan yang dimaksud adalah pihak yang mengembangkan Kawasan Rempang Eco City bersama BP Batam. PT Makmur Elok Graha merupakan bagian dari Artha Graha Group yang dimiliki Tomy Winata. 

Dalam kesaksiannya Sukri turut menceritakan pengalaman warga Rempang saat aparat gabungan TNI, Polri, dan BP Batam memaksa masuk pada 7 September 2023.

"Pasca kejadian 7 September, waktu itu tim terpadu berusaha masuk ke Rempang dengan menggunakan kekerasan, di mana warga kami ditembaki dengan gas air mata. Dan para tim terpadu tidak hanya menembak masyarakat dengan gas air mata, tetapi mereka menembaki rumah-rumah warga, sekolah-sekolah dari SD serta SMP, sehingga terjadilah pemukulan,” kata Sukri.

“Hari tersebut merupakan peristiwa berdarah bagi kami,” ujarnya. 

Majelis hakim minta pemerintah hadirkan data konkret

Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani kembali menyatakan permintaan agar pemerintah menghadirkan data konkret mengenai klaim manfaat PSN.

“Harap disediakan data terkait pertumbuhan ekonomi, impact PSN dalam konteks pertumbuhan, dibandingkan sebelum dan sesudah PSN. Kami butuh perbandingan apple to apple, termasuk data investasi lima hingga 10 tahun terakhir sebelum dan sesudah Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Arsul.

Sidang selanjutnya akan digelar Senin, 22 September 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, saksi para pemohon, serta ahli dan saksi presiden.