Sisa-sisa Surga Flora Fauna Morowali Terancam PSN Nikel

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 17 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pengembangan kawasan industri nikel yang dikembangkan PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) menjadi ancaman serius bagi kawasan bernilai konservasi tinggi di Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Demikian menurut laporan terbaru Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER) yang dipublikasikan akhir Agustus lalu.

Menurut laporan tersebut, pengembangan kawasan industri dengan ekspansi hingga dua puluh ribu hektare ini juga berada di lanskap yang kompleks. Lanskap itu terdiri dari hutan sekunder, hutan ultrabasa, pesisir, mangrove, serta perbukitan karst yang menyimpan jaringan gua dan sumber air penting bagi masyarakat.

Proyek yang sering dikenal dengan kawasan industri IHIP (Indonesia Huabao Industrial Park) ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Luas rencana pengembangannya sekitar 7.376 hektare energi utama dari PLTU batu bara captive berkapasitas 3×250 MW.
Dari hasil riset AEER, kawasan yang dikembangkan oleh PT BTIIG menyimpan 58 jenis tumbuhan dan 64 jenis satwa liar. Banyak di antaranya endemik dan terancam punah. Lebih dari separuh, tepatnya 3.945 hektare, dari keseluruhan areal proyek BTIIG adalah kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (High Conservation Value).

Kawasan ini menyimpan hutan ultrabasa dan karst yang unik, habitat vital untuk spesies dilindungi, serta daerah penyangga tata air dan pencegah erosi. Tak kalah penting, beberapa kawasan ini juga merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Wana. Kawasan gua aktif seperti Gua Kumapa pun bernilai penting sebagai ruang spiritual dan sosial  mereka.

Bukit kapur yang ditambang oleh PT BTIIG. Foto: AEER.

“Sebagian besar wilayah yang masuk ke dalam rencana BTIIG adalah Hutan Sigendo. Hutan ini menjadi rumah bagi anoa dan babirusa. Ironisnya, sebagian kawasan direncanakan untuk lokasi penumpukan tailing,” kata Riski Saputra, peneliti AEER, dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, pada 29 Agustus 2025.

 Dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 seharusnya menjadi tonggak penting dalam perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Apalagi IBSAP 2025–2045 selaras dengan RPJPN 2025-2045, RPJMN 2025–2029, dan komitmen global melalui Kunming–Montreal Global Biodiversity Framework. Peluncuran tiga dokumen strategis mengenai keanekaragaman hayati Indonesia pada 19 Agustus lalu oleh Bappenas seharusnya juga menandakan bahwa penguatan implementasi IBSAP sudah harus dimulai.
Dalam diskusi tersebut, Perencana Muda di Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Anggi Pertiwi Putri menyebutkan bahwa visi besar IBSAP sampai 2045 adalah mengurangi ancaman keanekaragaman hayati, pemanfaatannya dengan rambu-rambu berkelanjutan dan penguatan tata kelola.

“Dalam konteks mencegah fragmentasi berlebih yang mengancam keanekaragaman hayati, IBSAP diharapkan dapat memperkuat integrasi dan ketahanan kelestarian ekosistem, menjaga perencanaan tata ruang yang lebih efektif serta memperhatikan keanekaragaman hayati tingkat ekosistem, spesies dan genetik,” kata Anggi.

AEER menegaskan, keanekaragaman hayati perlu diintegrasikan dalam semua aspek pembangunan dan berharap dokumen IBSAP menjadi inisiatif yang penting dari pemerintah untuk mulai memperhatikan aspek ini. Pengelolaan keanekaragaman hayati berbasis lanskap tidak hanya relevan untuk konservasi, namun juga dapat berkontribusi pada pencapaian target FOLU Net Sink 2030 karena pembukaan lahan akan ditekan.

Keenam kategori High Conservation Value atau HCV menjadi acuan penting bagi perlindungan lingkungan di sektor industri ekstraktif. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle), hasil identifikasi HCV harus dianggap valid dan mengikat sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya.

Maka dari itu, AEER merekomendasikan PT BTIIG untuk tidak melakukan perluasan ke wilayah yang dikategorikan sebagai area konservasi tinggi seluas 3.945 hektare. AEER juga mendesak PT BTIIG untuk menghormati dan, melibatkan masyarakat lokal di semua tahapan pembangunannya, serta mempublikasikan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Selain itu, AEER mengingatkan agar pemerintah melakukan pemetaan secara menyeluruh terhadap HCV di Kabupaten Morowali yang menjadi pusat industri nikel. Perlindungan kawasan tersebut harus dipastikan tanpa menghilangkan akses masyarakat. Pada saat yang sama, AEER mendorong masyarakat lokal untuk memperkuat kontrol sosial melalui partisipasi publik yang aktif.