Koalisi: Geothermal is Killing Us!

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 18 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Suara teriakan orasi sejumlah warga bersama aktivis lingkungan dan bentangan spanduk bertuliskan “Geothermal is Killing Us! Geothermal Isn’t a Renewable Energy, Geothermal is a New Style of Oppression”, mewarnai pembukaan Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-11, yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC), Rabu (17/9/2025).

Suara teriakan mereka terdengar semakin keras, saat mereka didorong, dipukul dan ditarik paksa keluar dari ruang pertemuan. Padahal mereka hanya ingin menyampaikan fakta-fakta tentang proyek geothermal di Indonesia, yang selama ini diabaikan bahkan ditutup-tutupi oleh pemerintah.

Aksi yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Lembaga Terranusa Indonesia, Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) dan Jaringan Advokasi Tanah Adat (Jagad) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil ini merupakan respons atas upaya pemerintah Indonesia yang terus menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi—yang justru menghadirkan petaka bagi warga dan lingkungan.

Menurut Christiano, dari Terranusa Indonesia, sekaligus perwakilan warga Poco Leok, sikap penyelenggara IIGCE ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya menutup telinga dari suara warga, tetapi juga aktif menyingkirkan kebenaran yang tidak sesuai dengan narasi transisi energi yang mereka bangun.

Sejumlah aktivis bersama warga terdampak proyek geothermal melakukan aksi orasi dan membentangkan spandung pada IIGCE yang digelar di JCC, Rabu (17/9/2025). Foto: Koalisi Masyarakat Sipil.

“Ketika suara korban dianggap ancaman, maka transisi itu bukan solusi, melainkan proyek kekuasaan yang menindas,” kata Christiano, dalam sebuah keterangan tertulis, Rabu (17/9/2025).

Koalisi menguraikan, saat ini Kementerian ESDM telah menetapkan 356 prospek tambang panas bumi di jalur cincin api Indonesia yang sangat rentan terhadap risiko bencana. Per September 2025, sebanyak 63 wilayah daratan Indonesia ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang mencaplok 3.570.769 hektare, sebagian besar berada di kawasan hutan.

Konvensi Geothermal Internasional yang sejak 2018 dihelat di Indonesia, bagi Koalisi adalah arena berkumpulnya para pelaku perusakan lingkungan dan kemanusiaan. Mereka berkumpul dalam forum ini untuk kembali merayakan brutalitas aparatus penjaga kekuasaan terhadap warga korban proyek ideologis panas bumi. Sekaligus menyusun agenda untuk melancarkan rencana penyemaian bencana terorganisir dan memperluas kerusakan ruang hidup warga sejak industri tambang panas bumi masuk ke kampung-kampung warga.

Christiano mengatakan, warga Poco Leok, Mataloko, dan beberapa wilayah lingkar tambang panas bumi lainnya datang ke konferensi tersebut untuk menyatakan bahwa industri tambang panas bumi (geothermal) bukanlah solusi untuk perubahan iklim.

“Sebaliknya, dalih pemerintah yang menyatakan pembangunan panas bumi sebagai solusi mitigasi iklim yang rendah karbon justru mengorbankan keselamatan hidup warga,” katanya.

Eksploitasi bentang alam dan air, kerusakan kualitas udara dan air yang meracuni tubuh manusia, serta pendudukan paksa atas ruang-ruang hidup warga adalah sejumput bukti industri tambang panas bumi adalah industri kotor. Maka, menjaga kampung halaman dari agresi dan operasi industri tambang panas bumi ini merupakan bagian terpenting dan tak tergantikan.

Perampasan ruang dan penyemaian bencana

Koalisi menguraikan, rampasan hutan dan kebun milik komunitas adat untuk berbagai proyek ekstraktif di tubuh kepulauan Indonesia turut merampas kedaulatan komunitas adat. Perampasan ini tak dapat hanya dibaca sebagai sekadar pengambilalihan  lahan, melainkan penghancuran sistem kehidupan yang telah terbangun secara kolektif dan lintas generasi. Komunitas adat yang selama ini menjaga hutan, mata air, dan situs-situs sakral dipaksa menyerahkan ruang hidupnya melalui skema perizinan yang tidak transparan dan manipulatif.

Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, mengatakan, ketika ruang adat dirampas, maka kedaulatan komunitas pun ikut dilucuti—mereka kehilangan hak untuk menentukan cara hidup, sistem nilai, hingga arah kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip lokal. Negara, alih-alih menjadi pelindung, justru memfasilitasi bahkan menjadi aktor perampasan dengan mengesahkan proyek melalui regulasi yang mengabaikan partisipasi bermakna.

“Dalam konteks ini, pemaksaan kehadiran proyek panas bumi dapat dipandang sebagai bentuk kolonialisme baru yang menghapus identitas, merusak relasi ekologis, dan meminggirkan komunitas dari sejarahnya sendiri. Dampak destruktif itu nyata di berbagai lokasi operasi tambang panas bumi,” kata Alfarhat.

Menurut catatan Koalisi, di Sorik Marapi, Mandailing Natal, selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) telah menewaskan delapan orang dan 350 orang lainnya keracunan terpapar gas H2S. Di Dieng Wonosobo, operasi PT Geo Dipa telah menewaskan dua orang, dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang.

Tampak wellpad V, yang dioperasikan oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Foto: Walhi Sumut.

Selanjutnya, di Pengalengan, Jawa Barat, operasi ekstraksi panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola PT Stars Energy menyebabkan satu kampung bernama Cibitung hilang. Peristiwa pada 5 Mei 2015 itu juga menyisakan luka dan trauma bagi lebih dari 200 warga Cibitung.

Dalam kejadian itu terdapat enam warga yang tewas tertimbun, tiga warga dinyatakan hilang hingga saat ini, enam orang luka berat, tujuh luka ringan, dan ratusan jiwa terpaksa menjadi pengungsi di kampung halaman sendiri. Di hari nahas tersebut, hujan yang sangat lebat memicu tanah longsor yang menyebabkan pipa panas bumi meledak.

“Meski mengalami kebocoran berulang, tak ada upaya dari Kementerian ESDM untuk menghentikan operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Mandailing Natal dan PT Geo Dipa di Dieng,” ucap Alfarhat.

Kementerian yang dikomandoi oleh Bahlil Lahadalia ini tak pernah satu kali pun menunjukkan keseriusan untuk mengevaluasi seluruh proyek panas bumi di Indonesia yang kerap mengalami kebocoran dan menghentikan seluruh operasinya. Juga tak pernah berupaya mengevaluasi secara serius seluruh operasi proyek panas bumi di lokasi dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi.

“Ini menunjukkan nalar pemerintah yang lebih mengutamakan keuntungan finansial dibandingkan nyawa dan keselamatan warga,” ujar Alfarhat.

Aliansi juga mencatat, di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal kerap mengeluarkan semburan lumpur di kebun-kebun milik warga, yang meluas hingga radius 2.000 m2. Bau belerang menguasai udara. Setiap dini hari, warga dipaksa menghirup aroma belerang dalam setiap tarikan napas. Manifestasi lumpur panas tersebut juga memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.

Di tengah gencarnya promosi panas bumi sebagai sumber energi terbarukan, masyarakat Indonesia perlu mengetahui bahwa eksplorasi dan ekstraksi panas bumi untuk pembangkitan listrik bukanlah tanpa risiko serius. Berbagai proyek tambang panas bumi telah berulang kali terbukti memicu gempa picuan yang terus disangkal pemerintah. Banyak ilmuwan internasional yang berhasil membuktikan adanya korelasi antara aktivitas ekstraksi panas bumi dengan gempa dan telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah internasional untuk menjadi rujukan.

“Jatam telah berulang kali memperingatkan ihwal keterkaitan aktivitas ekstraksi panas bumi dengan kejadian gempa picuan. Namun, Kementerian ESDM tak pernah menggubris dan berbagai instansi pemerintah lainnya ikut menyangkal, bahkan abai,” kata Alfarhat.

Hingga saat ini, imbuh Alfarhat, tak ada satu pun penyelidikan ilmiah tentang keterkaitan aktivitas panas bumi dengan gempa, seperti yang terjadi pada gempa Cianjur pada 2022 lalu, dilakukan dengan sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Itu menunjukkan pemerintah benar-benar abai dan menyangkal adanya potensi mara-bahaya besar dari aktivitas ekstraksi panas bumi yang mengancam keselamatan warga.

Utak-atik kebijakan, kekerasan dan kriminalisasi

Koalisi beranggapan, demi memberikan karpet merah seluas-luasnya untuk proyek panas bumi, pemerintah menghalalkan berbagai macam cara culas, salah satunya lewat utak-atik regulasi. Ini terlihat dari upaya melegalkan pertambangan panas bumi di dalam kawasan hutan konservasi dengan mengeluarkan panas bumi dari kategori pertambangan. Upaya ini terlacak dari perubahan UU Panas Bumi melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi pada 17 September 2014 yang mencabut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

Menurut Koalisi, hal yang paling krusial dari undang-undang terbaru tersebut adalah dikeluarkannya usaha panas bumi dari kategori industri pertambangan. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.46/ Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Peraturan ini diperbarui lewat Peraturan Menteri LHK No.4 Tahun 2019 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat berbicara dalam pembukaan IIGCE yang digelar di JCC, pada Rabu (17/9/2025). Foto: Kementerian ESDM.

Belakangan, pemerintah menegaskan aktivitas panas bumi sebagai aktivitas jasa lingkungan lewat penerbitan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada akhir Desember lalu.

“Dengan kata lain, pemerintah hendak menjadikan aktivitas ekstraksi panas bumi sebagai aktivitas jasa lingkungan, yang sederajat dengan aktivitas ekowisata terbatas di dalam kawasan hutan konservasi,” kata Alfarhat.

Alfarhat melanjutkan, penerbitan rangkaian regulasi tersebut pada prinsipnya mengabaikan proses ekstraksi panas bumi yang termasuk dalam aktivitas penambangan. Produksi energi panas bumi dapat didefinisikan sebagai proses di mana cairan panas bumi yang bernilai ekonomis diidentifikasi, ditempatkan, diekstraksi dan diproses, untuk kemudian digunakan dalam pembangkitan listrik, atau dalam aplikasi langsung non-listrik.

Dalam analogi ini, ekstraksi cairan panas bumi tepat jika dipandang sebagai proyek penambangan lainnya, dengan panas menggantikan bahan bakar mineral sebagai sumber daya yang bernilai ekonomis. Pertambangan dan produksi panas bumi juga memiliki ketergantungan terhadap konsep aksesibilitas dan ekstraksi.

Upaya pemanfaatan panas bumi berbeda dengan jasa lingkungan kehutanan lainnya yang tidak memerlukan proses eksplorasi, eksploitasi dan ekstraksi. Untuk memanfaatkan panas bumi diperlukan upaya eksplorasi terlebih dahulu untuk dieksploitasi dan diekstraksi guna mentransfer energi panas tersebut ke permukaan dalam wujud uap panas, air panas, atau campuran uap dan air serta unsur-unsur lain yang dikandung panas bumi.

Christiano mengatakan, di Flores, pemerintah bermain siasat untuk meluaskan proyek panas bumi di sekujur tubuh Pulau Nusa Bunga tersebut dengan terlebih dahulu menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017. Setelah itu, sejarah mencatat berbagai penolakan warga atas proyek yang hendak merampas ruang hidup mereka, hanya menimbulkan trauma dan luka bagi warga melalui serangkaian pola intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi berulang.

“Warga yang menolak eksplorasi dianggap anti-pembangunan, dikriminalisasi, dan dihadapkan pada intimidasi dari aparat negara yang melindungi korporasi alih-alih rakyat,” ujar Christiano.

Masyarakat adat Poco Leok yang menolak wilayah adatnya dirampas untuk pembangunan PLTP Ulumbu, bentrok dengan aparat yang datang mengamankan rombongan PT PLN ke wilayah Poco Leok, Sabtu (25/11/2023). Foto: Koalisi Advokasi Poco Leok.

Kekerasan ini, sambung Christiano, bukan insiden terpisah, melainkan bagian dari pola sistematis yang mengamankan kepentingan bisnis sambil membungkam hak konstitusional warga untuk menyatakan pendapat, menjaga tanah leluhur, dan menolak kehancuran ekologis yang dibungkus dalam narasi kemajuan.

Di Poco Leok, NTT. Penolakan warga terhadap rencana perluasan PLTP Ulumbu telah berlangsung lama bukan kepalang. Pada 17 Juli 2025, hanya berselang beberapa hari (4 Juli 2025) setelah hasil investigasi Satgas Geothermal dipublikasikan, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, secara mendadak mengunjungi Poco Leok.

“Kunjungan yang seharusnya membawa penyelesaian konflik justru kembali menghadirkan wajah lama kekuasaan. Arogan, represif, dan anti terhadap suara masyarakat adat,” kata Christiano.

Christiano mengungkapkan, sejak tiga tahun terakhir, pola pengawalan bersenjata kerap mengiringi pengukuran lahan, pemasangan patok, hingga berbagai aktivitas proyek geothermal. Masyarakat adat Poco Leok, yang sebelumnya hidup damai, dipaksa menjalani keseharian mereka di bawah ancaman kriminalisasi.

“Selama tiga tahun terakhir, teror bukan sekadar ancaman. Intimidasi, kekerasan fisik, dan kriminalisasi telah menimpa sedikitnya 22 warga Poco Leok, termasuk jurnalis yang meliput konflik ini. Namun bukan perlindungan yang hadir, melainkan arogansi kekuasaan yang menempatkan rakyat sebagai ancaman,” kata Christiano.