Masyarakat Adat Sihaporas Jadi Korban Kekerasan PT TPL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 22 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejumlah masyarakat adat di Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), menjadi korban dalam bentrok antara masyarakat adat dengan sekelompok pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL), pada Senin (22/9/2025) pagi. Kekerasan tersebut terjadi saat masyarakat adat Sihaporas menolak wilayah adatnya ditanami oleh pihak perusahaan kebun kayu itu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh para pekerja PT TPL, yang terdiri dari pekerja buruh harian lepas (BHL), petugas pengamanan (security), dan sejumlah warga diduga preman atau orang bayaran. Para pekerja PT TPL ini jumlahnya diperkirakan sebanyak 150 orang, dilengkapi pakaian seragam menggunakan helm dan potongan kayu panjang dan tameng.

Sementara masyarakat berkumpul di rumah bersama di buntu Pangaturan sekitar 30 orang. Di sana masyarakat mencoba menghadang pihak pekerja PT TPL dan menegosiasikan untuk diskusi, namun para pekerja dan pihak security PT TPL tidak mengindahkan.

Menurut Hengky Manalu, dari AMAN Tano Batak, para pekerja PT TPL melakukan kekerasan kepada masyarakat adat Sihaporas yang mencoba bertahan di lokasi, dengan cara mendorong, memukul dan melempar batu. Selain melakukan kekerasan, para pekerja PT TPL juga merusak posko, rumah dan sejumlah kendaraan bermotor milik masyarakat adat.

Seorang perempuan adat Sihaporas terluka akibat pemukulan yang diduga dilakukan oleh para pekerja PT TPL. Foto: AMAN Tano Batak.

“Para korban di Sihaporas sudah lebih dari 10 orang. Mereka sudah mundur. Rumah yang dijadikan tempat berjaga sudah dirusak dan juga ada yang dibakar,” kata Hengky, Senin (22/9/2025).

Salah seorang anggota Komunitas Adat Sihaporas yang mengalami luka-luka akibat kekerasan yang diduga dilakukan oleh para pekerja PT TPL. Foto: AMAN Tano Batak.

AMAN Tano Batak, lanjut Hengky, mengutuk dan mengecam kekerasan terhadap masyarakat adat Sihaporas. Hengky bilang, kekerasan terhadap masyarakat adat ini adalah kejadian yang berulang dari tahun ke tahun. Menurut Hengky kejadian ini adalah akumulasi konflik yang tidak diselesaikan oleh pemerintah.

Kekerasan terhadap masyarakat adat di Sihaporas, lanjut Hengky, harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk bertindak menghentikan potensi konflik. Karena saat ini terdapat ratusan pekerja TPL, yang menurut kabar, siap melakukan penyerangan terhadap masyarakat adat di Sihaporas.

Hengky mengatakan, pihaknya telah berkomunikasi dengan aparat kepolisian, dan ternyata sampai Senin (22/9/2025) siang, aparat kepolisian belum turun ke lapangan. AMAN mengimbau pemerintah dan kepolisian untuk segera bertindak dan memberi pengamanan.

“Padahal masyarakat adat hanya menjaga agar wilayah adatnya supaya tidak ditanami oleh pihak TPL. Tapi yang terjadi mereka mendapat kekerasan dari para pekerja TPL tanpa adanya diskusi,” ujar Hengky.

Tentang masyarakat adat Sihaporas

Masyarakat adat Sihaporas telah menghuni dan mewarisi tanah leluhur secara turun-temurun 11 generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita ‘mamukka huta’ memulai perkampungan sekitar awal 1800.

Masyarakat Sihaporas bukan penggarap, bukan pula pendatang. Buktinya, terdapat tujuh orang pejuang Veteran Kemerdekaan RI (LVRI)  pernah menggunakan tanah Sihapoas untuk kebun ubi dan tanaman pinus.

Belanda juga menerbitkan Peta Enclavetahun 1916 (29 tahun sebelum Indonesia Merdeka). Selama ini, masyarakat adat Sihaporas rutin menjalankan prinsip tanah adat, melakukan tradisi si Raja Batak dan leluhur.

Ragam ritual itu merupakan cara komunitas masyarakat adat Sihaporas menghormati dan merawat keterikatan sekaligus doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Mahakuasa dengan leluhur, dan dengan para mahluk penguhuni yang terlihat maupun tidak terlihat. 

Tujuh ritual adat yang diwarisi:

Pertama, Patarias Debata Mulajadi Nabolon adalah ritual pertama dari tujuh ritual yang diwariskan. Ini adalah pesta adat untuk memuji, memuliakan, dan menyampaikan persembahan kepada Sang Pencipta. Dengan diiringi musik tradisional gondang selama tiga hari dua malam, ritual ini digelar setiap empat tahun sekali.

Kedua, Raga-Raga Na Bolak Parsilaonan. Ini adalah ritual doa permohonan dan persembahan kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan diiringi musik tradisional gondang, ritual ini juga digelar setiap empat tahun sekali.

Ketiga, Mombang Boru Sipitu Suddut. Ini adalah ritual dia permohonan dan persembahan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja. Ritual ini digelar selama satu hari tanpa diiringi gondang.

Keempat, Manganjab. Ritual doa ini dilakukan untuk memohon kesuburan dan keberhasilan dalam usaha bertani, sekaligus memohon agar dijauhkan dari segala macam hama dan penyakit pada tanaman. Ritual ini diselenggarakan di ladang (perhumaan) sekali setiap tahun.

Kelima, Ulaon Habonaran i Partukkoan. Ritual doa melalui leluhur atau habonaran dan Raja Sisingamangaraja ini digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kampung dari segala macam mara bahaya dan penyakit.

Keenam, Pangulu Balang Parorot. Ritual ini dilakukan untuk berdoa kepada Sang Pencipta Alam melalui penjaga kampung dan hadatuaon supaya penduduk kampung diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala bala.

Ketujuh, Manjuluk. Ritual doa yang diselenggarakan sesaat sebelum mulai menanam ini dilakukan di gubuk atau ladang secara rutin.

Ketujuh ritual adat tersebut merupakan tradisi warisan yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Sihaporas. Tetua adat Mangitua Ambarita mengatakan bahwa tradisi leluhur adalah identitas yang akan diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Oleh karena itu masyarakat adat Sihaporas tetap melaksanakan ritual adat sesuai dengan waktu yang ditentukan setiap tahunnya.